Sejarah Singkat Muhammadiyah
Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan pada
tanggal 18 November 1912 di Kauman, kota Yogyakarta. Pendirian Muhammadiyah
diawali oleh keberadaan Sekolah Rakyat bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah
Islamiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada awal tahun 1912. Madrasah ini
mengadakan proses belajar-mengajar pertama kali di dengan memanfaatkan ruangan
berupa kamar tamu di rumah KH. Ahmad Dahlan yang memiliki panjang 6 meter dan
lebar 2.5 meter, berisi tiga meja dan tiga kursi panjang serta satu papan
tulis. Pada saat itu ada sembilan santri yang menjadi murid di Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan tanpa bantuan dan sumbangan dana orang lain. KH. Ahmad Dahlan mengandalkan
harta bendanya untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam modern yang
dibayangkannya.
Seiring waktu, kala berdiskusi dengan para santri dan muridnya dari
Kweek School Jetis, KH. Ahmad Dahlan mendapat dorongan tambahan agar membentuk
organisasi yang diharapkan akan menjaga keberlanjutan Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah. Organisasi itu bernama Muhammadiyah, dengan harapan agar
para anggotanya dapat meneladani Nabi Muhammad Saw.
Meskipun gagasan dan usulan untuk mendirikan Muhammadiyah banyak
didorong oleh beberapa orang santri dan muridnya, atas dasar aturan yang
berlaku, hanya nama-nama yang telah cukup usia yang dapat dimasukkan sebagai
pendiri. Dalam Statuten atau Anggaran Dasar Muhammadiyah yang diajukan kepada
Pemerintah Hindia-Belanda disebutkan bahwa tanggal berdiri organisasi ini
adalah 18 November 1912.
Setelah melewati proses pengajuan yang sulit dan memakan waktu
lama, dengan terbitnya Besluit pada 22 Agustus 1914 No.81, akhirnya
Muhammadiyah sebagai Badan Hukum diakui oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Pada masa awal pendirian, aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah
Hindia-Belanda membatasi ruang dan gerak Muhammadiyah. Namun, dalam Kongres
Boedi Oetomo yang diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1917,
pendiri Muhammadiyah ini menyatakan bahwa organisasi ini perlu berdiri tidak
saja di Yogyakarta, tapi juga di seluruh Jawa, dan bahkan di Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, dan di berbagai tempat di nusantara.
Setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia-Belanda, KH.
Ahmad Dahlan menjadi leluasa dalam memperluas misi dakwahnya. KH. Ahmad Dahlan
pergi berceramah di berbagai tempat dan mengajak kaum muslimin untuk
mengamalkan Islam yang membebaskan umatnya dari kejumudan, kebodohan, dan
berorientasi pada amal saleh.
Pesan Haedar Nashir untuk Seluruh Kader
KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah sejak tahun 1912 dan berakhir
ketika wafat pada 1923. Dari awal hingga setengah abad berikutnya, kepemimpinan
di Muhammadiyah dilanjutkan oleh Kyai Haji Ibrahim pada tahun 1923 hingga 1931.
Kemudian Kyai Haji Hisyam pada 1931 hingga 1936, Kyai Haji Mas Mansyur pada
1936 hingga 1942, dan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1942 hingga 1953.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyampaikan, milad ke-112 merupakan sebuah momentum untuk refleksi. Hal itu dilakukan dalam rangka evaluasi (muhasabah) dan sekaligus proyeksi (maudhu'ah) atas seluruh program serta gerakan yang dilakukan Persyarikatan sejauh ini.
Gerakan Islam ini, menurut Haedar Nashir, tidak kenal lelah dalam
upaya memakmurkan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal.
Melalui lini pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan seluruh praksis
usahanya selama ini, Muhammadiyah membuktikan orientasi pada ikhtiar
memakmurkan bangsa dan negara Indonesia.
Demikian halnya dengan seluruh usaha yang dilakukan 'Aisyiyah
maupun seluruh komponen di lingkungan Persyarikatan. Semuanya bergerak untuk
mewujudkan kemakmuran kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta yang
berorientasi rahmatan lil ‘alamin.
"Kemakmuran dalam dimensi kesejahteraan dan kemajuan yang
bersifat utuh dan menyeluruh, yakni lahir dan batin, material dan spiritual,
serta duniawi dan ukhrawi," ujar Haedar Nashir dalam pidato milad ke-112
Muhammadiyah, Senin (18/11/2024).
Agar kesinambungan dapat terus terjaga, peran pemimpin menjadi
esensial di lingkungan Persyarikatan. Haedar mengingatkan, kepemimpinan yang
ideal harus selalu hadir di seluruh tubuh Muhammadiyah, mulai dari level pusat,
daerah, cabang dan ranting hingga kader per kader.
Ini pun sudah digariskan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri
Muhammadiyah. Menurut sosok yang berjulukan Sang Pencerah itu, pemimpin
Muhammadiyah dituntut menjadi pemimpin kemajuan Islam.