Pengertian Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman
Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir
tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah
seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no.
17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan
perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan
syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci,
berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang
berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara
kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui
hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu
wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil
yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri
(yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan
lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai
hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf– memiliki
keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah
Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan
seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk
menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak
beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak
memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka
berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari
keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para
hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah
satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al
Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan
keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan
menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran
dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu.
(lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala
aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk
memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur.
Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan
kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah
timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang
memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta
hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung
hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta
Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati
kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk
satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun
bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah.
Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan
Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan.
Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya.
Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan
hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan
dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman
dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang
bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap
pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti
hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut
sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan
negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan
yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang
baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan
hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek
kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada
empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita
Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang
benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita
menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab
Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi,
pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada
Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa
Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka
kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan
masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci
satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya
adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no.
1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga
diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa
‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?”
Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat,
beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa
Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi
berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab,
“sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya
kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya
beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah
shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita
tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita
merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum
tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang
bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya
didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum
yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas
dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat
Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum
syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi
sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka
adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya
wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat)
dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi
shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat
Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad
6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari
harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak
mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang
seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama
muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal
dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya
hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya,
dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita
meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu
permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as
Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
Dasar (dalil).
Masalah yang akan diqiyaskan.
Hukum yang terdapat pada dalil.
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang
diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau
alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran.
Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain
khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer.
Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada
minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam
perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun
lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul
Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).