Selamat Datang Di Kampus Ceria.. MADRASAH IBTIDAIYAH MUHAMMADIYAH KAYUTREJO " Mandiri Santun Cerdas " (Mimka MSc) Status Terakreditasi ~ Terimalah Salam Kami Asalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarokaatuh, Mimka Selalu ada yang baru. "Silaturrohmi Alumni, Menjalin Ukhuwah Dunia Akhirat; Mempersiapkan Siswa - Siswi Madrasah yang Mandiri, Santun dan Cerdas

Selasa, 19 November 2024

Milad ke-112 Muhammadiyah, Sejarah dan Pesan Haedar Nashir untuk Seluruh Kader


 

Sejarah Singkat Muhammadiyah

Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan pada tanggal 18 November 1912 di Kauman, kota Yogyakarta. Pendirian Muhammadiyah diawali oleh keberadaan Sekolah Rakyat bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada awal tahun 1912. Madrasah ini mengadakan proses belajar-mengajar pertama kali di dengan memanfaatkan ruangan berupa kamar tamu di rumah KH. Ahmad Dahlan yang memiliki panjang 6 meter dan lebar 2.5 meter, berisi tiga meja dan tiga kursi panjang serta satu papan tulis. Pada saat itu ada sembilan santri yang menjadi murid di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.

 

Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tanpa bantuan dan sumbangan dana orang lain. KH. Ahmad Dahlan mengandalkan harta bendanya untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam modern yang dibayangkannya.

 

Seiring waktu, kala berdiskusi dengan para santri dan muridnya dari Kweek School Jetis, KH. Ahmad Dahlan mendapat dorongan tambahan agar membentuk organisasi yang diharapkan akan menjaga keberlanjutan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Organisasi itu bernama Muhammadiyah, dengan harapan agar para anggotanya dapat meneladani Nabi Muhammad Saw.

 

Meskipun gagasan dan usulan untuk mendirikan Muhammadiyah banyak didorong oleh beberapa orang santri dan muridnya, atas dasar aturan yang berlaku, hanya nama-nama yang telah cukup usia yang dapat dimasukkan sebagai pendiri. Dalam Statuten atau Anggaran Dasar Muhammadiyah yang diajukan kepada Pemerintah Hindia-Belanda disebutkan bahwa tanggal berdiri organisasi ini adalah 18 November 1912.

 

Setelah melewati proses pengajuan yang sulit dan memakan waktu lama, dengan terbitnya Besluit pada 22 Agustus 1914 No.81, akhirnya Muhammadiyah sebagai Badan Hukum diakui oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

 

Pada masa awal pendirian, aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda membatasi ruang dan gerak Muhammadiyah. Namun, dalam Kongres Boedi Oetomo yang diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1917, pendiri Muhammadiyah ini menyatakan bahwa organisasi ini perlu berdiri tidak saja di Yogyakarta, tapi juga di seluruh Jawa, dan bahkan di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan di berbagai tempat di nusantara.

 

Setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Hindia-Belanda, KH. Ahmad Dahlan menjadi leluasa dalam memperluas misi dakwahnya. KH. Ahmad Dahlan pergi berceramah di berbagai tempat dan mengajak kaum muslimin untuk mengamalkan Islam yang membebaskan umatnya dari kejumudan, kebodohan, dan berorientasi pada amal saleh.

Pesan Haedar Nashir untuk Seluruh Kader

KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah sejak tahun 1912 dan berakhir ketika wafat pada 1923. Dari awal hingga setengah abad berikutnya, kepemimpinan di Muhammadiyah dilanjutkan oleh Kyai Haji Ibrahim pada tahun 1923 hingga 1931. Kemudian Kyai Haji Hisyam pada 1931 hingga 1936, Kyai Haji Mas Mansyur pada 1936 hingga 1942, dan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1942 hingga 1953.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyampaikan, milad ke-112 merupakan sebuah momentum untuk refleksi. Hal itu dilakukan dalam rangka evaluasi (muhasabah) dan sekaligus proyeksi (maudhu'ah) atas seluruh program serta gerakan yang dilakukan Persyarikatan sejauh ini.

Gerakan Islam ini, menurut Haedar Nashir, tidak kenal lelah dalam upaya memakmurkan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal. Melalui lini pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan seluruh praksis usahanya selama ini, Muhammadiyah membuktikan orientasi pada ikhtiar memakmurkan bangsa dan negara Indonesia.

Demikian halnya dengan seluruh usaha yang dilakukan 'Aisyiyah maupun seluruh komponen di lingkungan Persyarikatan. Semuanya bergerak untuk mewujudkan kemakmuran kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta yang berorientasi rahmatan lil ‘alamin.

"Kemakmuran dalam dimensi kesejahteraan dan kemajuan yang bersifat utuh dan menyeluruh, yakni lahir dan batin, material dan spiritual, serta duniawi dan ukhrawi," ujar Haedar Nashir dalam pidato milad ke-112 Muhammadiyah, Senin (18/11/2024).

Agar kesinambungan dapat terus terjaga, peran pemimpin menjadi esensial di lingkungan Persyarikatan. Haedar mengingatkan, kepemimpinan yang ideal harus selalu hadir di seluruh tubuh Muhammadiyah, mulai dari level pusat, daerah, cabang dan ranting hingga kader per kader.

Ini pun sudah digariskan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Menurut sosok yang berjulukan Sang Pencerah itu, pemimpin Muhammadiyah dituntut menjadi pemimpin kemajuan Islam.