Dalam catatan sejarah (kitab Fiqhus Sunnah : Syaikh Sayyid
Sabiq juz I), perintah mengerjakan ibadah puasa sebagaimana tertera dalam QS.
Al-Baqarah : 183 di atas, turun secara jelas pada tahun 2 Hijrah atau
bertepatan dengan tahun 623 M. dengan demikian perintah puasa bagi umat islam
telah dilaksanakan 1434 tahun yang lalu atau 1386 tahun jika dihitung dengan
perhitungan masehi yakni sejak 623 M hingga 2015 M.
Selain itu QS. Al-Baqarah 183 di atas memberikan gambaran
bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat universal artinya ibadah
puasa pernah juga diwajibkan atas umat terdahulu (agama samawi lainnya), dengan
syariat atau tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda. Atas dasar itu, Prof Dr.
Mahmud Syaltut dalam kitabnya “Islam : Aqidah wa syariah” (juz I) mengatakan
bahwa puasa merupakan ibadah yang paling tua usianya karena pernah diwajibkan
Allah SWT atas bangsa-bangsa terdahulu. Perintah puasa itu ada didalam
perjanjian lama, perjanjian baru dan didalam semua kitab suci lain. Satu contoh
puasa Nabi Daud AS dilaksanakan secara selang seling setiap 2 hari sekali.
Bahkan kaum penyembah berhalapun menjalankan puasa
Puasa dalam kitab-kitab suci itu sangat sulit. Puasa yang
paling mudah di berikan kepada umat Nabi Muhammad SAW Bahkan menurut riwayat
yang ada, pada awalnya puasa ini sangat sulit. Selama periode awal, para
sahabat Rasulullah SAW hanya diperbolehkan membatalkan puasanya antara maghrib
dan isya. Setelah Isya mereka diperintahkan untuk berpuasa kembali sehingga
mereka berpuasa selama 22 jam. Kemudian Allah membuatnya lebih ringan.
Muncul pertanyaan, bagaimana sikap kita terhadap syariat
puasa ummat terdahulu.? Dalam hal ini, menurut Prof. DR. Abu Su’ud, Agama Islam
masih mentolerir perilaku puasa yang sudah dilakukan ummat terdahulu (sebelum
Islam Nabi Muhammad SAW datang), dengan catatan tidak diniatkan sebagai ibadah.
Namun demikian, ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa segala bentuk puasa
non Islam harus tidak dilakukan, kecuali untuk kepentingan kesehatan, karena
ada kemaslahatan didalamnya. Hal yang lebih penting bagi penulis adalah
bagaimana puasa dapat dihayati tidak hanya sebagai media pendekatan diri kepada
Allah SWT (hablum min Allah) semata, namun pada saat yang sama puasa perlu
dijiwai maknanya sebagai sarana memperkuat jalinan hubungan kemanusiaan (hablum
minannas).
Hakikat dan Tujuan Puasa:
Dikisahkan oleh Imam Al– Ghazali, pada zaman Nabi SAW, ada
dua orang perempuan yang sangat kepayahandalam melakukan puasa. Mereka begitu
lapar dan dahaga, hampir-hampir pingsan. Mereka minta izin untuk berbuka. Nabi
SAW menyuruh mereka muntah. Segera orang-orang melihat kedua wanita itu
memuntahkan darah dan daging busuk. Ketika orang-orang menyaksikan peristiwa
tersebut merasa heran, lantas Nabi SAW bersabda seketika: ” Mereka berpuasa
dari apa yang di haramkan oleh Allah SWT (yakni makan dan minum), tetapi mereka
membatalkanpuasanya dengan yang diharamkan oleh Allah SWT. Mereka duduk-duduk
sambil menggunjingkan kejelekan orang lain. Itulah daging busuk yang mereka
makan.”
Dilain kisah, pada suatu hari Rasulullah mendengar seorang
perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan
itu sedang berpuasa. Rasulullah mengambil makanan dan berkata padanya”
Makanlah!”. Perempuan itu berkata ; ”Saya sedang berpuasa ya Rasulullah
“.Mendengar itu, Rasulullah menjawab: ”Bagaimana mungkin engkau berpuasa,
padahal engkau telah memaki-maki jariyah (budak)mu. Puasa bukan hanya menahan
makan dan minum saja. Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai penghalang
(selain makan dan minum), juga dari hal-hal tercela, yaitu perkataan dan
perbuatan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang puasa, alangkah
banyaknya yang lapar (Ma qallasa-shawwam,wa ma aktsaral-jawwa’)”. Ucapan
Rasulullah yang terakhir ini menyimpulkan perbedaan “puasa” dengan “ melaparkan
diri”.
Dalam definisi Ahli Fiqh (fuqaha), puasa (shawm) adalah
menahan diri dari segala perkara yang merusaknya (baik makan, minum, atau
dorongan nafsu)dengan tujuan sebagai salah satu sarana mendekatkan diri kepada
Allah SWT(al-imsak anil –mufthirat al-ma’hudat. Dalam definisi tentang shaum
(puasa) tersebut, ada kata “al-imsak”. dalam bahasa arab, kata dasar
“amsaka/al-imsak“, artinya menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu
(self-restraint). Sedangkan “imsak bi” artinya berpegang teguh kepada sesuatu
yang dijadikan gantungan atau pegangan. Zainal Abidin (cucu Nabi SAW) berkata
:”wa la umsiku illa billahi”(Aku tidak perpegang teguh kecuali pada tali Allah
SWT)”
Hakikat puasa sesungguhnya terletak pada “Imsak ‘an”
(menahan diri) dan “imsak ‘bi”(berpegang teguh kepada Allah dan rasul_Nya).
Kita dapat saja ber-imsak ‘an tapi tidak ber-imsak bi . Kita menahan diri dari
makan dan minum, tapi bukan karena berpegang teguh kepada ajaran Tuhan. Bisa
saja kita hanya ingin melangsingkan tubuh, mempercantik diri. hal tersebut
berarti kita tidak berpuasa. Kita sedang diet. Boleh jadi kita ber-imsak ‘bi,
kelihatannya seperti berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-Sunnah, tetapi kita
tidak ber- imsak ‘an, Idealnya, orang yang ber –imsak ‘bi, dengan sendiriya berimsak
‘an meski kenyataannya tidak. Ada sementara kita mengaku “ Ahlul Qur’an“ atau
berpegang teguh dengan ajaran Al – Qur’an, namun pada saat bersamaan kita tidak
mampu menahan diri dari menyalahkan pendapat atau paham lain. Kita sulit
memahami pendapat orang lain.
Hal tersebut sama kasusnya dengan menahan lapar dan dahaga
dari terbit Fajar sampai tenggelam matahari. Kita kelihatannya berpegang teguh
dengan ketentuan puasa. Namun, kita sulit menahan diri dari memfitnah,
mengumpat dan memaki – maki. Kata Rasullah SAW anda bukan “Al- Sawam” ( orang
yang berpuasa ); anda hanyalah Al – Jawwa ( orang lapar ). Lebih parah lagi ada
saja orang yang tidak ber-imsak’an, apalagi ber-imsak’bi.
Inilah manusia yang hanya mempertuhankan hawa nafsunya, ia
tidak mempunyai nilai – nilai yang menjadi “ way of life “ dalam hidupnya. Ia
mengalami kekosongan hidup yang menurut ahli jiwa ia mengalami existensial
vacuum. Hidupnya sama sekali tidak bermakna bagaikan layang – layang putus
talinya. Orang semacam ini dalam optik Al – Quran ( surat QS Al – Tiin : 5 )
memiliki derajat lebih rendah dari binatang ternak sekalipun ( Asfala safiliin
).
Pada akhirnya dan yang menjadi harapan kita bersama, ada
juga umat islam yang berusaha menjalankan segalanya secara maksimal dalam
berpuasa yaitu ber – imsak’an ( menahan diri) dan sekaligus ber – imsak ‘ bi (
berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul- Nya), merekalah orang – orang
yang benar – benar berpuasa “ Al – Sawwam “. Mereka adalah orang – orang yang
mendapatkan predikat “Taqwa “, sebuah predikat bergensi di hadapan Allah SWT
yang diantaranya diperoleh karena menjalankan ibadah puasa dalam arti yang
sebenarnya. Pribadi takwa ( muttaqin ) yang menjadi tujuan puasa.
Menurut Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya “ The Holy
Qur’an “ adalah pribadi yang memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari
kejahatan. Dengan predikat itu juga, memungkinkan manusia dapat mewujudkan
perilaku yang luhur, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Karena puasa mengandung banyak rahasia dan
jutaan hikmah, sudah sepantasnyalah kalau kita menyambut kedatangan bulan suci
ramadhan 1436 H dengan penuh rasa gembira. Dengan kegembiraan itu, akan membuat
kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusu’, tawadhu, dan ikhlas selama
sebulan penuh. Bukan dianggap sebagai beban berat sehingga mencari – cari
alasan agar tidak berpuasa