Akhir akhir ini permainan klasik bernama ‘Latto-Latto’
kembali populer. Kini, hampir di setiap daerah permainan tersebut dimainkan
oleh anak-anak, dewasa, hingga orangtua.
Latto-Latto (bahasa Makassar) atau Etek-etek (bahasa Jawa)
adalah sebuah permainan dua bola clakers (bola keras berbahan plastik) seukuran
bakso yang digantung oleh dua utas tali.
Cara memainkannya adalah dengan mengayunkan tali itu
sehingga dua bola berbenturan dan mengeluarkan suara ketukan.
Meski nampak mudah, permainan ini butuh keahlian dan
konsentrasi tinggi untuk mempertemukan kedua bola plastik tersebut. Selain itu,
tidak mudah pula untuk mempertahankannya.
Asal Mula Latto-Latto
Berbagai sumber mencatat bahwa Latto-Latto pertama kali
lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat. Awalnya permainan ini menggunakan
kaca berbentuk bulat yang dibenturkan dan menimbulkan bunyi. Karena berbahaya
ketika pecah, maka bola kaca diganti dengan bola plastik.
Di Indonesia, Latto-latto sempat populer pada tahun 1970-an
dan tahun 1990-an. Kini, di berbagai daerah Latto-latto bahkan diperlombakan
karena dianggap menantang.
Meski populer, namun tidak sedikit keluhan terhadap
permainan ini. Pasalnya, suara ketukan yang ditimbulkan Latto-latto cukup
nyaring dan kadang muncul di waktu-waktu beristirahat. Lantas bagaimanakah
hukumnya menurut Muhammadiyah?
Mubah, Sepanjang Tidak Mafsadat dan Tidak Mengandung Unsur
Perjudian
Dalam wawancara pada Selasa (3/1), Wakil Ketua Lembaga
Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, Agus Tri Sundani menjelaskan bahwa permainan
Latto-Latto tidak haram sepanjang tidak melalaikan, tidak membahayakan, dan
tidak mengandung unsur judi.
“Semua permainan itu sebenarnya pada hukum asalnya adalah
mubah. Tapi akan bisa menjadi haram kalau memang mengandung unsur perjudian
atau hal yang membahayakan bagi si pemain sendiri. Jadi kalau dilihat dari
hukum asalnya, jelas permainan itu adalah mubah atau boleh. Tidak ada dalil
yang mengharamkan,” jelasnya.
Namun, Agus berpesan bahwa orangtua perlu menghimbau
anak-anak mereka yang memainkan Latto-latto untuk tidak larut dalam keasyikan
hingga lalai beribadah dan belajar. Termasuk tidak memainkannya di jam-jam
ketika orang beristirahat, misalkan di tengah malam.
“Pertama, memang permainan itu jangan sampai melalaikan dari
ibadah itu sendiri. Jadi kalau sudah waktu-waktu kosong boleh dimainkan,” kata
dia.
“Himbauan orangtua juga perlu. Kita kecil dulu kan juga
sering bermain. Tapi memang harus diarahkan jangan sampai melalaikan ibadah,
melalaikan belajar, dan lain sebagainya. Waktu bermain juga perlu
diperhatikan,” tegasnya. ( sumber muhammadiyah.or.id )