Pada saat ini alfabet Latin adalah
aksara yang paling banyak dipakai di
dunia untuk menuliskan berbagai
bahasa. Beberapa negara mengadopsi dan memodifikasi alfabet Latin sesuai dengan
fonologi bahasa mereka, karena tidak semua
fonem dapat dilambangkan dengan huruf Latin. Beberapa usaha modifikasi tersebut antara lain dengan menambahkan huruf baru (contoh:
J,
W), penambahan diakritik (contoh:
Ñ,
Ü), penggabungan huruf/
ligatur (modifikasi bentuk, contoh:
ß,
Æ,
Œ). Beberapa negara mengatur penggunaan
dwihuruf
dalam bahasa resmi mereka, yang melambangkan suatu fonem yang tidak
dapat dilambangkan oleh alfabet Latin, misalnya “Th” (untuk bunyi /θ/
dan /ð/), “Ng” atau “Nk” (untuk bunyi /ŋ/), “Sch” atau “Sh” (untuk bunyi
/ʃ/), “Ph” (untuk bunyi /ɸ/ dan /f/).
Dipercaya bahwa
bangsa Romawi Kuno mengadopsi sebuah varian dari
alfabet Yunani di
Cumae, sebuah
koloni bangsa Yunani di
Italia Selatan, pada abad ke-7 SM. (
Gaius Julius Hyginus dalam
Fab. 277 menyebutkan legenda bahwa
Carmenta, seorang
sibila Kimmeri, menyerap lima belas huruf Yunani menjadi alfabet Latin, yang diperkenalkan lewat Latium oleh putranya,
Evander, sekitar 60 tahun sebelum
perang Troya, namun tidak ada jejak sejarah mengenai kisah ini.) Alfabet Yunani Kuno sendiri pada mulanya berasal dari
abjad Fenisia. Dari alfabet Yunani di Cumae, terciptalah
alfabet Etruska dan selanjutnya bangsa Romawi mengadopsi 21 huruf dari 26 huruf dalam alfabet Etruska, sebagai berikut:
Huruf ⟨C⟩ adalah varian bentuk
gama di Yunani Barat, namun sama-sama dipakai untuk melambangkan bunyi /ɡ/ dan /k/, kemungkinan karena pengaruh
bahasa Etruska, yang kurang memiliki
konsonan plosif.
Kemudian, sekitar abad ke-3 SM, huruf ⟨Z⟩ — yang tidak diperlukan untuk
menuliskan bahasa Latin yang lazim — digantikan oleh huruf ⟨G⟩ yang
baru, berasal dari bentuk ⟨C⟩ yang telah dimodifikasi dengan menambahkan
garis vertikal kecil. Sejak saat itu, ⟨G⟩ melambangkan bunyi /ɡ/ (
konsonan plosif bersuara), sementara ⟨C⟩ melambangkan /k/ (
konsonan plosif nirsuara). Huruf ⟨K⟩ amat jarang digunakan, misalnya dalam beberapa kata seperti
Kalendae, seringkali ejaannya tergantikan oleh ⟨C⟩.
Setelah penaklukkan
Yunani oleh Romawi pada abad pertama SM, alfabet Latin memungut (atau mengadopsi kembali) huruf Yunani ⟨Y⟩ dan ⟨Z⟩ untuk menuliskan
kata serapan dari
bahasa Yunani, sehingga ditempatkan di akhir susunan alfabet. Sebuah usaha oleh Kaisar
Claudius yang memperkenalkan tiga
huruf tambahan tidak berhasil. Maka dari itu pada masa klasiknya, alfabet Latin hanya mengandung 23 huruf:
Beberapa nama huruf tersebut dalam bahasa
Latin masih diragukan. Bagaimanapun, umumnya bangsa Romawi tidak
menggunakan nama-nama tradisional seperti dalam
alfabet Yunani (yang pada dasarnya diturunkan dari rumpun abjad Semitik:
Fenisia,
Ibrani,
Suryani,
Arab). Untuk huruf-huruf yang melambangkan
konsonan plosif (B, C, G, dsb.), bangsa Romawi menambahkan bunyi
vokal
/eː/ dalam penamaannya (kecuali ⟨K⟩ dan ⟨Q⟩, yang memerlukan vokal
berbeda agar dapat dibedakan dengan ⟨C⟩) dan nama-nama untuk huruf yang
melambangkan konsonan malaran dapat memakai bunyi lugas atau konsonan
yang diawali dengan bunyi /e/. Huruf ⟨Y⟩ saat diperkenalkan mungkin
disebut “hy” /hyː/ seperti dalam bahasa Yunani, sementara nama
upsilon
masih belum digunakan, namun kemudian diubah menjadi “i Graeca” (huruf I
Yunani) karena penutur bahasa Latin kesulitan membedakan bunyi vokal
/y/ dengan /i/. ⟨Z⟩ diberi nama sesuai namanya dalam bahasa Yunani,
zeta.
Huruf kursif Romawi Kuno,
juga disebut huruf kursif kapital, adalah bentuk tulisan tangan
sehari-hari, yang digunakan untuk keperluan bisnis bagi para pedagang,
untuk pembelajaran alfabet Latin bagi para anak-anak, dan untuk
menuliskan titah oleh
Kaisar Romawi. Gaya penulisan yang lebih resmi berdasarkan pada
Capitalis Monumentalis,
sementara huruf kursif digunakan untuk penulisan yang lebih cepat dan
informal. Huruf ini lazim digunakan sejak sekitar abad pertama SM hingga
ke-3 M, namun mungkin kemunculannya lebih awal daripada masa tersebut.
Huruf ini merupakan dasar bagi
huruf Unsial, suatu jenis huruf kapital yang digunakan pada abad ke-3 hingga ke-8 M oleh para juru tulis Latin dan Yunani.
Huruf kursif Romawi Baru,
juga dikenali sebagai huruf kursif kecil, digunakan sejak abad ke-3
hingga ke-7 M, dan menggunakan bentuk huruf yang lebih mudah dikenali di
masa kini; ⟨a⟩, ⟨b⟩, ⟨d⟩, dan ⟨e⟩ mengambil bentuk yang lebih familier,
dan huruf lainnya proporsional antara satu sama lain. Huruf ini
berkembang hingga
Abad Pertengahan sebagai
aksara Merovingian dan
Carolingian.
A
A adalah huruf pertama dalam alfabet
Latin. Dalam bahasa Inggris huruf ini dibaca [eɪː]; bentuk jamaknya
aes.[1] Huruf ini berasal dari huruf Yunani Α (alfa) dan sering
digunakan sebagai lambang vokal depan terbuka tak bulat. A juga sering
digunakan sebagai indikasi sesuatu yang bermakna “awal” atau “terbaik”.
Berdasarkan sejarahnya. Huruf A dapat
ditelusuri ke sebuah piktogram kepala seekor sapi jantan dalam hieroglif
Mesir atau abjad Proto-Sinaitik.[2] Sekitar tahun 1600 SM huruf dalam
abjad Fenisia mempunyai bentuk linear yang menjadi dasar bagi
bentuk-bentuk berikutnya. Namanya tampaknya sangat erat berkaitan dengan
alef dalam abjad Ibrani.
Ketika bangsa Yunani kuno mengadopsi
abjad, mereka tidak menggunakan konsonan celah suara (bunyi hamzah) yang
dikandung huruf ini dalam bahasa Fenisia dan bahasa-bahasa Semit
lainnya, karena itu mereka menggunakan tanda ini untuk vokal /a/, dan
mempertahankan namanya dengan perubahan kecil (alfa). Dalam
prasasti-prasasti Yunani yang paling awal setelah Zaman Kekelaman
Yunani, yang terjadi pada abad ke-8 SM, huruf ini dituliskan terbaring,
tetapi dalam alfabet Yunani berikutnya, huruf ini pada umumnya mirip
dengan huruf besar A modern, meskipun berbagai variasi setempat dapat
dibedakan dengan memperpendek salah satu kakinya, atau dengan sudut
tempat garis melintang diletakkan.
Bangsa Etruska membawa alfabet Yunani ke
dalam peradaban mereka di Jazirah Italia dan membiarkan huruf ini tidak
berubah. Kemudian orang-orang Romawi mengadopsi alfabet Etruska untuk
menulis bahasa Latin, dan huruf yang dihasilkan kemudian dilestarikan
dalam alfabet Latin modern yang digunakan untuk menulis banyak bahasa,
termasuk bahasa Inggris.
Dalam bahasa Inggris, “a” biasanya
melambangkan bunyi vokal depan hampir terbuka takbulat (IPA: /æ/;
seperti pada kata pad), vokal belakang terbuka takbulat (IPA: /ɑː/;
seperti pada kata father), atau diftong /eɪ/ seperti pada kata ace dan
major, karena efek Pergeseran Vokal Besar-besaran.
Pada kebanyakan bahasa yang menggunakan
sistem alfabet Latin, “a” melambangkan bunyi vokal depan terbuka
takbulat (/a/). Dalam Alfabet Fonetik Internasional, variasi huruf “a”
mengindikasikan berbagai vokal yang berbeda-beda pula. Dalam sistem
X-SAMPA, huruf besar “A” menandakan vokal belakang terbuka takbulat dan
huruf kecil “a” menandakan vokal depan terbuka takbulat.
“A” adalah huruf ketiga yang paling sering
digunakan dalam bahasa Inggris, dan yang kedua terbanyak digunakan
dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Dalam suatu studi, rata-rata, sekitar
3.68% huruf yang digunakan dalam bahasa Inggris cenderung kepada ‹a›,
sedangkan angka 6.22% untuk bahasa Spanyol dan 3.95% untuk bahasa
Perancis.[3]
“A” seringkali digunakan untuk menunjukkan
sesuatu atau seseorang dengan kualitas atau status yang lebih baik dan
bergengsi: A-, A atau A+, hasil terbaik yang diberikan oleh guru/dosen
kepada tugas siswa/mahasiswa; nilai A untuk restoran yang bersih, dsb.
B
B adalah huruf kedua dalam alfabet Latin.
Dalam bahasa Latin dan bahasa lain pada umumnya (termasuk bahasa
Indonesia), huruf ini biasanya melambangkan konsonan dwibibir, khususnya
fonem [b], konsonan letup dwibibir bersuara.
Berdasarkan sejarahnya. ‹B› berasal dari
sebuah piktogram denah sebuah rumah dalam aksara hieroglif Mesir atau
aksara Proto-Sinaitik. Sekitar tahun 1050 SM, huruf itu dikembangkan
dalam abjad Fenisia menjadi bentuk linear dan bernama beth.
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai
alfabet Latin, huruf B menandakan konsonan letup dwibibir brsuara (/b/).
Dalam bahasa Estonia, Islandia, dan juga transkripsi bahasa Tionghoa, B
tidak bersuara, tetapi masih dibedakan dari huruf P, yang dipanjangkan
menjadi /pp/ dalam bahasa Estonia, dan dihembuskan pula menjadi /pʰ/
dalam bahasa Tionghoa dan Islandia. Dalam bahasa Fiji, B dipranasalisasi
menjadi /mb/, sementara dalam bahasa Zulu dan bahasa Xhosa menjadi
konsonan letup-balik /ɓ/, berbanding dwihuruf Bh yang melambangkan /b/.
Bahasa Finlandia hanya memakai huruf b untuk kata pinjaman.
Dalam huruf IPA dan X-SAMPA, huruf /b/
menandakan konsonan letup dwibibir bersuara. Adanya bentuk variasi huruf
b yang menandakan konsonan dwibir berkaitan, seperti konsonan
letup-balik dwibibir bersuara dan konsonan getar dwibibir. Dalam
X-SAMPA, huruf besar B menandakan konsonan desis dwibibir bersuara.
C
C adalah huruf ketiga dalam alfabet Latin.
Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut ce sedangkan dalam bahasa
Inggris disebut cee, dibaca [siː].[1] Dalam bahasa Latin, huruf ini
melambang fonem /k/, konsonan letup langit-langit belakang tak bersuara,
sedangkan dalam bahasa Indonesia dan Melayu huruf ini melambangkan
fonem /tʃ/, konsonan gesek pascarongga-gigi tak bersuara.
Berdasarkan sejarahnya. ‹C› dan ‹G›
berasal dari huruf yang sama. Bangsa Semit menamakannya gimel (Arab:
jim). Lambangnya diadaptasi dari hieroglif Mesir yang berbentuk umban
tongkat, yang mungkin merupakan arti dari nama gimel itu sendiri.
Kemungkinan lainnya adalah lambang itu menggambarkan unta, yang dalam
rumpun bahasa Semit disebut gamal.
Dalam Bahasa Etruska, konsonan letup
(eksplosif) tidak mempunyai penyuaraan kontrastif, jadi huruf Yunani Γ
(Gamma) diadaptasi ke dalam alfabet Etruska untuk mewakili fonem /k/.
Pun dalam Alfabet Yunani Barat, mulanya Gamma mengambil bentuk dalam
alfabet Etruska Awal, kemudian dalam Etruska Klasik. Selanjutnya dalam
bahasa Latin huruf itu mengambil bentuk C pada alfabet Latin klasik.
Huruf Latin Awal menggunakan C untuk konsonan /k/ dan /ɡ/, tetapi selama
abad ketiga SM, satu huruf yang diubah, telah diperkenalkan sebagai
lambang bunyi /ɡ/, dan C sendiri ditetapkan untuk melambangkan bunyi
/k/. Penggunaan huruf C (dan variasinya yaitu G) menggantikan sebagian
besar penggunaan K dan Q. Oleh karena itu, pada masa kuno dan
sesudahnya, G telah dikenal setara secara fonetik dengan Gamma, dan C
sama dengan Kappa, dalam alih aksara kata-kata Yunani ke dalam ejaan
Latin, seperti pada kata KA∆MOΣ, KYPOΣ, ΦΩKIΣ, dalam surat-surat Romawi
ditulis CADMVS, CYRVS, PHOCIS.
Aksara lain mempunyai huruf-huruf mirip
dengan bentuk C tetapi tidak sama dalam penggunaan dan asal mulanya,
khususnya huruf Sirilik Es, yang berasal dari suatu bentuk huruf Yunani
sigma, dikenali sebagai “lunar sigma” karena bentuknya menyerupai bulan
sabit.
Ketika alfabet Romawi diperkenalkan di
Britania Raya, C hanya melambangkan bunyi /k/ dan nilai huruf ini
dipertahankan dalam kata serapan seluruh bahasa Keltik kepulauan: dalam
bahasa Welsh, Irlandia, dan Gaelik, C melambangkan bunyi /k/. Penulisan
bahasa Inggris Kuna atau “Anglo-Saxon” yang dipelajari dari bangsa Kelt,
sesungguhnya dari Irlandia; maka dari itu C dalam bahasa Inggris Kuna
juga pada mulanya melambangkan /k/; kata dalam bahasa Inggris Modern
seperti kin, break, broken, thick, dan seek, semuanya berasal dari
bahasa Inggris Kuna yang ditulis dengan C: cyn, brecan, brocen, Þicc,
dan séoc. Tetapi selama periode bahasa Inggris Kuna, /k/ sebelum vokal
depan (/e/ dan /i/) mengalami palatalisasi, berubah menjadi bunyi [tʃ]
pada abad kesepuluh, meskipun C masih digunakan, seperti pada kata
cir(i)ce, wrecc(e)a. Sementara itu di daratan benua Eropa, perubahan
fonetik serupa juga terjadi (contohnya dalam bahasa Italia).
Dalam bahasa Latin Rakyat, /k/
dipalatalisasi menjadi [tʃ] di Italia and Dalmatia; di Perancis dan
semenanjung Iberia, bunyinya menjadi [ts]. Meskipun demikian C masih
digunakan sebelum vokal depan (E, I) dengan nilai bunyi yang berbeda.
Kemudian, fonem /kʷ/ dalam bahasa Latin (ditulis sebagai QV) tidak
terbibirkan sehingga menjadi bunyi /k/, berarti bahasa-bahasa Roman
mengandung bunyi /k/ sebelum vokal depan. Di samping itu, bahasa
Normandia menggunakan huruf Yunani K sehingga bunyi /k/ dapat
dilambangkan oleh K maupun C, yang kemudian dapat melambangkan bunyi /k/
maupun /ts/ tergantung apakah mendahului vokal depan atau tidak. Kaidah
menggunakan C dan K diterapkan pada penulisan bahasa Inggris setelah
penaklukan Normandia, mengakibatkan pengejaan kembali kata-kata Inggris
Kuna. Sementara ejaan kata candel, clif, corn, crop, cú, dalam bahsa
Inggris Kuna masih lestari, Cent, cæ´ (cé´ ), cyng, brece, séoce,
sekrang (tanpa perubahan bunyi) dieja Kent, keȝ, kyng, breke, dan seoke;
bahkan kemudian cniht (knight) diubah menjadi kniht dan þic (thick)
diubah thik atau thikk. Ejaan cw dalam Inggris Kuna teragntikan oleh qu
dari bahasa Perancis sehingga kata cwén dan cwic menjadi queen dan
quick.
Bunyi [tʃ] yang merupakan palatalisasi
bunyi /k/ Inggris Kuna telah berkembang, juga muncul dalam bahasa
Perancis, terutama seperti aturan /k/ sebelum ‹a› dalam bahasa Latin.
Dalam bahasa Perancis bunyi itu ditulis Ch, seperti pada kata champ
(dari bahasa Latin camp-um) dan pengejaan ini diperkenalkan ke dalam
bahasa Inggris. Dalam Injil Hatton, ditulis sekitar tahun 1160, tertulis
pada Matius i-iii, child, chyld, riche, mychel, untuk kata cild, rice,
mycel, dari versi Inggris Kuna yang disalin. Dalam hal ini, C dalam
bahasa Inggris Kuno tergantikan oleh K, Qu, Ch, tetapi selain itu, C
dengan nilai bunyi baru yaitu /ts/ sebagian besar datang dari kata-kata
Perancis seperti processiun, emperice, grace, dan disubtitusikan untuk
ejaan Ts dalam beberapa kata-kata Inggris Kuno, seperti miltse,
bletsien, dan milce, blecien dalam bahasa Inggris Pertengahan.
Cetakan kisah drama tragedi Romeo dan
Juliet pada tahun 1597 (abad ke-16), dengan ejaan yang menyerupai ejaan
bahasa Inggris masa kini. Huruf C digunakan di tengah dan awal kata
dengan nilai bunyi berbeda. Tidak ditemukan penggunaan huruf J karena
digantikan oleh huruf I, demikian pula huruf V karena digantikan oleh
huruf U, variasi huruf V.
Pada akhir abad ke-13 di Perancis dan
Inggris, bunyi (konsonan gesek) /ts/ tidak tergesekkan sehingga menjadi
bunyi /s/ (desis); dan semenjak itu C melambangkan bunyi /s/ sebelum
vokal depan, baik secara etimologis, seperti pada lance, cent, atau
(bertentangan dengan etimologi) untuk menghindari ambigu karena
penggunaan “etimologis” S untuk bunyi /z/, seperti pada kata ace, mice,
once, pence, defence. Maka untuk menunjukkan etimologi, ejaan bahasa
Inggris lebih memilih penulisan advise, devise, daripada advize, devize,
sementara advice, device, dice, ice, mice, twice, dan lain-lain tidak
mencerminkan etimologi; contoh lebih lanjut adalah hence, pence,
defence, dsb., yang tidak mengandung keperluan etimologis terhadap huruf
C. Generasi sebelumnya juga menulis sence untuk kata sense. Maka dari
itu, di masa kini rumpun bahasa Roman dan bahasa Inggris memiliki ciri
umum yang diwarisi dari bahasa Latin Rakyat, yaitu C yang memiliki nilai
bunyi “keras” ([k]) dan “lembut” (biasanya konsonan afrikat atau
frikatif) tergantung vokal yang mengikutinya.
Dalam ortogafi bahasa Inggris, Perancis,
Spanyol dan Portugis, C menandakan nilai “lembut” sebelum E atau I, dan
selain itu melambangkan nilai “keras” dari bunyi /k/. Seperti beberapa
hal lainnya yang bertentangan dengan ejaan bahasa Inggris, terdapat pula
beberapa pengecualian: “soccer” dan “Celt” adalah kata-kata yang
mengandung bunyi /k/.
Pelafalan nilai “lembut” berbeda-beda
menurut bahasa. Dalam ortografi bahasa Inggris, Perancis, Portugis, dan
Spanyol di Amerika Latin dan Spanyol Selatan, nilai bunyi C lembut
adalah /s/. Dalam bahasa Spanyol yang dituturkan di Spanyol Utara dan
Tengah, nilai bunyi C lembut adalah konsonan desis gigi tak bersuara
(/θ/). Dalam bahasa Italia dan Romania, nilai C lembut adalah [tʃ],
konsonan gesek pascarongga-gigi tak bersuara, seperti pelafalan C dalam
bahasa Indonesia.
D
D adalah huruf keempat dalam alfabet
Latin. Dalam bahasa Indonesia disebut de (dibaca [ˈde]), sedangkan dalam
bahasa Inggris dan Melayu disebut dee (dibaca [ˈdiː]). Dalam bahasa
Latin dan bahasa Indonesia, huruf ini melambangkan fonem /d/, konsonan
letup rongga-gigi bersuara.
Huruf Semitik Dâlet kemungkinan besar
berkembang dari logogram yang bermakna “ikan” atau “pintu”. Terdapat
berbagai hieroglif Mesir yang mungkin mengilhaminya. Dalam bahasa
Semitik, Yunani Kuno, dan Latin, huruf ini melambangkan konsonan /d/;
dalam huruf Etruska pula huruf ini seolah-olah tidak diperlukan, tetapi
masih dilestarikan (lihat huruf B). Huruf Yunani yang setara dengannya
adalah: Δ (besar) atau δ (kecil) (Delta).
Bentuk huruf kecil “d”, yang terdiri dari
satu lekukan dan satu garis vertikal yang tinggi, berkembang dari
perubahan bervariasi pada bentuk huruf besar “D”. Dalam penulisan pada
zaman dahulu adalah suatu kelaziman untuk memulai lekukan pada kiri
garis vertikal, sehingga menghasilkan suatu serif di atas lekukan itu.
Serif ini disambung manakala bagian lain huruf ini dikurangi,
menghasilkan suatu tangkai bersudut dan lengkungan. Kemudian tangkai
bersudut ini berubah menjadi tangkai vertikal.
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai
alfabet Latin, huruf d melambangkan bunyi /d/, tetapi dalam alfabet
bahasa Vietnam, huruf ini dibaca /z/ di utara dan /j/ (seperti “y” dalam
“ya”) di selatan.
Dalam bahasa Jerman, huruf d berbunyi /d/
(konsonan letup rongga-gigi bersuara), tetapi berubah menjadi /t/
(konsonan letup rongga-gigi tak bersuara) jika di akhir kata.
Dalam bahasa Fiji, huruf ini melambangkan konsonan hambat pranasal /nd/.
Dalam beberapa bahasa yang mana konsonan
hambat tak bersuara tanpa hembusan berlawanan dengan konsonan hambat tak
bersuara berhembusan, d melambangkan /t/ tanpa hembusan, sementara t
juga berbunyi /tʰ/ berhembusan. Contoh-contoh bahasa berkenaan meliputi
bahasa Islandia, bahasa Gaelik Scot, bahasa Navajo, dan alih aksara
pinyin untuk bahasa Mandarin.
Dalam angka Romawi, D memiliki nilai 500,
berasal dari setengah ↀ (bernilai 1000; tapi di kemudian hari, M dipakai
sebagai lambang 1000), sehingga D berarti 500 (angka) atau tahun 500.
E
E adalah huruf Latin yang kelima. Dalam
bahasa Inggris, namanya dibaca [iː]. Huruf E paling banyak digunakan
dalam bahasa Inggris.[1] Huruf ini biasanya melambangkan bunyi vokal tak
bulat depan hampir tertutup.
Menurut sejarahnya E diperoleh dari huruf
Yunani epsilon yang kira-kira identik bentuknya (Ε, ε) dan fungsinya.
Menurut etimologi, huruf hê Semitik kemungkinan melambangkan bentuk
manusia yang bersembahyang atau bersorak (hillul, ‘kegembiraan’), dan
juga mungkin berdasarkan suatu hieroglif Mesir yang serupa bentuknya
tetapi berbeda bunyi dan kegunaannya. Dalam abjad Semitik, huruf ini
mewakili bunyi /h/ (dan /e/ dalam kata asing), dalam bahasa Yunani hê
menjadi Εψιλον (Epsilon) yang mewakili bunyi /e/. Orang-orang Etruska
dan Romawi Kuno juga menggunakan huruf ini sedemikian, maka munculah
huruf Romawi “E”. Meskipun bahasa Inggris pertengahan menggunakan E
sebagai lambang bunyi /e/ panjang dan pendek, oleh sebab Peralihan Vokal
Besar-besaran, kegunaannya dalam bahasa Inggris agak berbeda. Bunyi
/eː/ (dalam “me” atau “bee”) menjadi /iː/, sementara /e/ pendek (seperti
bed) bertahan sebagai vokal madya.
Seperti huruf vokal Latin lainnya, ‹e›
muncul dengan nilai bunyi yang panjang dan pendek. Pada mulanya
perbedaan terletak pada panjangnya vokal, namun kemudian ‹e› pendek
mewakili vokal /ɛ/. Dalam bahasa lainnya yang menggunakan ‹e›, huruf itu
mewakili nilai bunyi yang berbeda-beda, kadangkala dengan tanda aksen
untuk menegaskan perbedaan pelafalan (‹e ê é è ë ē ĕ ě ẽ ė ẹ ę ẻ›).
Dwihuruf dengan ‹e› sering ditemukan dalam
berbagai bahasa untuk melambangkan diftong dan monoftong, seperti ‹ea›
atau ‹ee› untuk /iː/ atau /eɪ/ dalam bahasa Inggris; ‹ei› untuk /aɪ/
dalam bahasa Jerman; dan ‹eu› untuk /ø/ dalam bahasa Prancis, /ɔɪ/ dalam
bahasa Jerman, /ɯ/ dalam bahasa Korea, /ɤ/ dalam bahasa Sunda.
Dalam ilmu pasti seperti fisika dan kimia, huruf E digunakan untuk melambangkan tenaga (energy), terutama dalam rumus “E=mc2.
F
F adalah huruf Latin ke-6. Namanya dalam
bahasa Inggris, Indonesia, dan Melayu adalah ef, dibaca [ɛf]. Huruf ini
sering digunakan untuk menandai bunyi konsonan desis bibir-gigi
nirsuara.
Asal-usul huruf F bermula dari huruf
Semitik vâv yang melambangkan bunyi /v/, dan kemungkinan mulanya
menggambarkan “kait” atau “gada”. Huruf vâv mungkin juga terbentuk
berdasarkan suatu hieroglif Mesir, yang menggambarkan “gada”:
Bentuk huruf Fenisia waw diserap ke dalam
huruf Yunani sebagai huruf vokal, upsilon (yang menyerupai keturunannya,
huruf Y, tetapi juga menjadi leluhur huruf-huruf U, V, dan W); dan juga
dalam satu bentuk lain, yaitu huruf konsonan digamma yang menyerupai
huruf F Romawi, tetapi diucapkan /w/ seperti dalam bahasa Fenisia.
Kemudian, fonem /w/ tersebut pudar dari bahasa Yunani, lalu fungsi
digamma sebagai angka saja.
Dalam bahasa Etruska, F juga diucapkan
/w/. Pada akhirnya orang Etruska mengemukakan satu inovasi yaitu
menggunakan dwihuruf FH untuk bunyi /f/, dan huruf F mewakili fonem /f/
saat orang Romawi menyerapnya (karena mereka sudah meminjam huruf U dari
huruf Yunani upsilon untuk bunyi /w/). Huruf phi (Φ φ) juga menyamai
bunyi /f/ dalam bahasa Yunani.
Huruf kecil f tidak boleh diidentikkan
dengan huruf ſ, yaitu s panjang yang digunakan pada zaman dahulu.
Contohnya, “sinfulness” ditulis “ſinfulneſs” apabila memakai huruf s
panjang. Kegunaan huruf s panjang memudar menjelang akhir abad ke-19,
kemungkinan untuk menghindari kekeliruan dengan huruf f.
G
Huruf G atau g adalah huruf ke-7 dalam
alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia dan Melayu, huruf G mewakili
konsonan letup langit-langit belakang bersuara (/ɡ/). Huruf G juga
digunakan dalam dwihuruf “ng” untuk konsonan sengau langit-langit
belakang (/ŋ/). Dalam bahasa Inggris, huruf G digunakan untuk konsonan
letup langit-langit belakang bersuara dan juga konsonan gesek
pascarongga-gigi bersuara (/dʒ/).
Huruf G diperkenalkan pada zaman Latin
Kuno sebagai suatu bentuk lain bagi huruf C untuk membedakan konsonan
langit-langit belakang bersuara (/ɡ/) dengan yang tidak bersuara (/k/).
Orang pertama yang diketahui menulis huruf
G ialah Spurius Carvilius Ruga, orang Romawi pertama yang membuka
sekolah berbayar, dan mengajar sekitar 230 SM. Ketika itu, huruf K makin
kurang dipakai, sedangkan huruf C yang mulanya mewakili bunyi /ɡ/ dan
/k/ sebelum bunyi vokal terbuka, kemudian hanya mewakili bunyi /k/ dalam
setiap kedudukan.
Penempatan G oleh Ruga menunjukkan bahwa
susunan alfabet, yang berkaitan dengan nilai huruf itu sebagai angka
Yunani, menarik perhatian pada abad ke-3 SM. Sampson (1985) berpendapat
bahwa: “Jelas sekali bahwa susunan alfabet dirasakan sebagai perihal
yang begitu konkrit sehingga suatu huruf baru boleh ditambah di tengah
susunan hanya jika terdapat ‘ruangan’ setelah menggeser huruf yang
lama.”[1] Menurut beberapa catatan, huruf ketujuh sebelumnya, yaitu Z,
disingkirkan dari alfabet Latin pada awal abad ke-3 SM oleh seorang
censor Romawi, Appius Claudius, yang merasa huruf itu asing dan tidak
penting.[2]
Tidak lama kemudian, kedua konsonan
langit-langit belakang /k/ dan /ɡ/ mengalami proses palatalisasi dan
alofon sebelum vokal di depan; maka dari itu, huruf C dan G mempunyai
nilai bunyi berbeda dalam rumpun bahasa Roman, serta juga bahasa Inggris
(akibat pengaruh bahasa Perancis).
Huruf g kecil mempunyai dua bentuk dasar yang berlainan: “g berekor terbuka” dan “g berekor melingkar” .
Bahasa non-Roman biasanya menggunakan ‹g›
untuk melambangkan bunyi /ɡ/ tanpa mempedulikan posisi. Di antara
bahasa-bahasa Eropa, bahasa Belanda adalah pengecualian karena tidak
mengandung bunyi /ɡ/ dalam kosakata aslinya, sebaliknya ‹g› melambangkan
bunyi konsonan desis langit-langit belakang bersuara (IPA: /ɣ/), bunyi
yang tidak ada dalam bahasa Inggris Modern. Bahasa Faroe menggunakan ‹g›
untuk melambangkan /dʒ/, selain /g/, dan juga menggunakannya untuk
mengindikasikan bunyi semivokal.
Nilai lembut dari pengucapan ‹g›
berbeda-beda dalam rumpun bahasa Roman (/ʒ/ dalam bahasa Perancis dan
Portugis; [(d)ʑ] dalam Katalan; /d͡ʒ/ dalam bahasa Italia dan Romania;
dan /x/ dalam bahasa Spanyol dialek Castilla, /h/ dalam dialek bahasa
Spanyol lainnya). Dalam rumpun bahasa tersebut, kecuali Italia dan
Romania, pelafalan “G lembut” sama seperti pelafalan huruf J dalam
bahasa bersangkutan.
Dalam bahasa Inggris, huruf G dapat
melambangkan konsonan gesek pascarongga-gigi bersuara (IPA: /dʒ/; “G
lembut”), seperti pada kata giant, ginger, dan geology; atau konsonan
letup langit-langit belakang bersuara (IPA: /ɡ/; “G keras”), seperti
pada kata goose, gargoyle, dan game. Dalam beberapa kata yang berasal
dari bahasa Perancis, “G lembut” dilafalkan sebagai konsonan desis
(/ʒ/), seperti pada kata rouge, beige, dan genre. Pada umumnya, ‹g›
diucapkan lembut sebelum ‹e›, ‹i›, dan ‹y› pada kata-kata yang berasal
dari bahasa Roman, selain itu menggunakan “G keras”; ada banyak kosakata
Inggris yang tidak berasal dari bahasa Roman yang menggunakan “G keras”
tanpa mengacuhkan posisi (contohnya get), dan tiga kata (gaol,
margarine, algae) yang diucapkan lembut sebelum huruf hidup ‹a›.
Beberapa dwihuruf yang mengandung G umum
dijumpai dalam bahasa Inggris. Dwihuruf ‹gh› yang muncul setelah
penggunaan yogh dihapuskan dari alfabet, mengambil nilai bunyi yang
berbeda-beda meliputi /ɡ/, /ɣ/, /x/, dan /j/. Dwihuruf itu kini
mengandung banyak nilai bunyi, termasuk bunyi /f/ dalam kata enough, /ɡ/
dalam kata serapan seperti spaghetti, dan sebagai indikator pengucapan
bunyi panjang dalam ejaan kata-kata seperti eight dan night. ‹Gn› dengan
nilai bunyi /nj/ juga umum terdapat dalam kata serapan, seperti kata
lasagna (meskipun pada awal kata, seperti gnome, huruf ‹g› tidak
diucapkan).
Dalam bahasa Italia dan Romania, ‹gh›
digunakan untuk melambangkan bunyi /ɡ/ sebelum vokal depan, selain ‹g›
sebagai lambang bunyi lembut. Dalam bahasa Italia dan Perancis, ‹gn›
digunakan untuk melambangkan bunyi konsonan sengau langit-langit /ɲ/,
bunyi yang dilambangkan oleh dwihuruf ‹ny› pada kata nyamuk dalam bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Italia, trihuruf ‹gli›, saat ditulis sebelum
huruf hidup, konsonan hampiran-sisi langit-langit /ʎ/; dalam artikula
tertentu dan kata ganti gli (IPA: /ʎi/), dwihuruf ‹gl› melambangkan
bunyi yang sama.
Huruf G juga digunakan sebagai bahasa gaul
untuk kata Gangster atau Gangsta, biasanya digunaka pada frasa seperti
My grand dad is a ‘G’ (kakekku seorang Gangster).
Dalam kebanyakan bahasa, seperti bahasa
Denmark, Filipino, Indonesia, Inggris, Maori (Te Reo Māori), Melayu, dan
Vietnam, ‹g› dikombinasikan membentuk dwihuruf ‹ng› agar melambangkan
konsonan sengau langit-langit belakang /ŋ/ dan dilafalkan seperti ‹ng›
pada kata “tong”.
G juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam
Fisika, G adalah simbol konstanta gravitasi, sedangkan g adalah simbol
percepatan gravitasi. G merupakan singkatan dari prefiks Giga yang
berarti 1.000.000.000. Dalam Sistem Satuan Internasional, g adalah
singkatan dari unit massa: gram.
H
H adalah huruf ke-8 dalam alfabet Latin.
Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut ha. Dalam bahasa Inggris,
huruf ini disebut aitch (jamak: aitches), dibaca /ˈeɪtʃ/ atau /ˈheɪtʃ/.
Huruf ini biasanya melambangkan konsonan desis celah suara nirsuara.
Huruf Semitik ח (ḥêṯ) kemungkinan besar
melambangkan konsonan desis hulu kerongkongan tak bersuara (/ħ/). Bentuk
huruf ini mungkin berarti pagar. Alfabet Yunani H awal berbunyi /h/,
tetapi lama-kelamaan menjadi huruf vokal eta (Η, η) yang berbunyi /ɛː/
(dalam bahasa Yunani modern, fonem ini bergabung dengan /i/.)
Bahasa Etruska dan bahasa Latin pernah
memiliki fonem /h/, namum hampir semua rumpun bahasa Roman kehilangan
bunyi itu. Kemudian bahasa Romania meminjam fonem /h/ dari bahasa-bahasa
Slavia di dekatnya, dan bahasa Spanyol mengembangkan bunyi /h/ sekunder
dari /f/ sebelum kehilangan bunyi itu lagi, sementara beberapa dialek
bahasa Spanyol memakai /h/ sebagai alofon /s/ di beberapa wilayah yang
memakai bahasa tersebut.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional,
simbol ini digunakan untuk mewakili dua bunyi. Huruf kecilnya, [h],
mewakili konsonan desis celah suara tak bersuara atau ‘berhembus’, dan
huruf besar yang dikecilkan, [ʜ], melambangkan konsonan desis katup
napas tak bersuara.
H juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam
kimia, H adalah simbol kimia untuk Hidrogen. H adalah simbol konstanta
Hubble (huruf besar) dan ketinggian/kedalaman (huruf kecil) dalam
fisika.
H juga merupakan singkatan dari unit induktansi dalam sistem Satuan Internasional: henry.
I
Huruf I atau i adalah huruf ke-9 dalam alfabet Latin. I merupakan lambang angka 1 (satu) atau tahun 1 dalam angka Romawi.
Dalam rumpun bahasa Semit, huruf Yôdh
mungkin berasal dari suatu piktogram untuk “lengan” dan “tangan”,
berasal dari hieroglif serupa yang membawa nilai konsonan desis hulu
kerongkongan bersuara (/ʕ/) dalam bahasa Mesir, tetapi dialihkan ke /j/
(seperti y pada kata “ya”) oleh orang-orang Semit, karena kata Semit
untuk “lengan” diawali dengan bunyi itu. Huruf ini juga boleh digunakan
untuk bunyi vokal /i/, terutama dalam kata asing.
Orang Yunani menerima suatu bentuk yodh
Fenisia ini sebagai huruf iota (Ι, ι) mereka untuk bunyi vokal /i/,
begitu juga dalam alfabet Italik Kuno. Dalam bahasa Latin (seperti dalam
bahasa Yunani Modern), huruf ini juga dipakai untuk bunyi konsonan /j/.
Huruf J modern mulanya merupakan bentuk variasi bagi huruf ini, dan
keduanya dapat digunakan bergantian untuk vokal dan konsonan, sehingga
akhirnya dibedakan pada abad ke-16.
Detail crucifix Yesus dengan tulisan INRI
yang merupakan singkatan dari Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum. Huruf I
dipakai sebagai lambang konsonan /j/ karena huruf J maupun Y belum
tercipta.
Dalam berbagai bahasa, huruf I biasanya
melambangkan vokal depan tertutup takbulat (/i/). Pada mulanya dipakai
untuk bunyi konsonan hampiran langit-langit (simbol IPA: [j]; contohnya
ejaan Latin Kuno untuk Yesus: Iesus atau Iesvs, karena dulu huruf J dan U
belum tercipta), tetapi kemudian bunyi /j/ dilambangkan oleh huruf J
dan Y.
Dalam bahasa Inggris modern, I
melambangkan berbagai bunyi berbeda, terutama diftong “panjang” /aɪ/
yang berkembang dari /iː/ bahasa Inggris Pertengahan setelah Peralihan
Vokal Besar-besaran pada abad ke-15, serta juga vokal “pendek” terbuka
/ɪ/ seperti pada kata bill. Titik pada atas ‘i’ kecil kadangkala
dipanggil tittle.
Dalam alfabet Turki, I bertitik dan tanpa
titik dianggap sebagai huruf yang berbeda dan keduanya mempunyai bentuk
huruf besar (I, İ) dan kecil (ı, i).
Beberapa jenis huruf Jerman seperti
fraktur atau schwabacher, yang tak terpakai lagi semenjak akhir Perang
Dunia II, tidak terlalu membedakan bentuk huruf besar I dan J. Karakter
yang sama, sebuah ‘J’ dengan serif di atasnya berbentuk tilde,
kadangkala digunakan untuk keduanya, tetapi huruf kecil i dan j masih
dibedakan.
Huruf I digunakan pula dalam ilmu pasti. I
merupakan simbol kimia untuk Yodium (Iodium). Dalam fisika, I adalah
simbol arus listrik.
J
J adalah huruf kesepuluh dalam alfabet
Latin, dan huruf terakhir yang ditambah dalam kalangan 26 huruf. Namanya
adalah je, dibaca [dʒeɪ].
J asalnya merupakan bentuk lain huruf I,
sedangkan huruf I berasal dari huruf iota Yunani. Bentuk huruf kecil j
digunakan pada Abad Pertengahan untuk mengakhiri angka Romawi
menggantikan i. Penggunaan yang berbeda diawali dalam bahasa Jerman Hulu
Pertengahan.[1] Petrus Ramus (d. 1572) menjadi orang pertama yang
secara jelas membedakan I dan J sebagai lambang bunyi yang berbeda.
Mulanya, kedua huruf I dan J melambangkan /i/, /iː/, dan /j/; tetapi
rumpun bahasa Roman mengembangkan bunyi-bunyi baru (dari /j/ dan /g/)
yang menjadi bunyi-bunyi lambang I dan J; oleh itu, J bahasa Inggris
(dari J Perancis, dan akhirnya dipakai dalam Indonesia) agak berbeda
bunyinya dari [j]*
Koin emas dari Italia (abad ke-15 M),
bergambar Yohanes Pembaptis dengan tulisan S Iohannes B di
sekelilingnya. Huruf I digunakan karena pada masa itu huruf J maupun Y
belum tercipta.
Semua bahasa Jermanik kecuali Inggris,
Skotlandia dan Luksemburg menggunakan J untuk /j/; begitu juga dalam
bahasa Albania, serta rumpun bahasa Ural dan Slavia yang memakai alfabet
Romawi, seperti bahasa Hongaria, Finlandia, Estonia, Polandia, Ceko,
dan Slowakia. Sebagian bahasa dalam rumpun ini, seperti bahasa Serbia,
turut menyerap J ke dalam abjad Sirilik untuk tujuan yang sama. Oleh
karena itulah, huruf kecilnya dipilih sebagai lambang fonetik IPA untuk
[j]* (seperti “y” dalam “ya”).
Penggunaan J sebagai lambang konsonan
gesek pascarongga-gigi (/dʒ/) terdapat dalam bahasa Igbo, Indonesia,
Melayu, Shona, Somali, Oromo dan Zulu. Bahasa Inggris menggunakannya
pada beberapa kata, misalnya kata jam (dibaca [d͡ʒæm]).
Dalam bahasa Basque, diafonem yang
dilambangkan oleh j dilafalkan berbeda-beda menurut dialek: [j], [ʝ],
[ɟ], [ʒ], [ʃ], [x] (yang terakhir umum digunakan di País Vasco).
Dalam bahasa Indonesia, J awalnya
melambangkan /j/, konsonan hampiran langit-langit. Sejak tahun 1972,
bunyi tersebut digantikan dengan Y dan huruf J digunakan untuk
melambangkan /dʒ/.
Dalam ejaan standar bahasa Italia modern,
hanya kata dari bahasa Latin, nama diri (seperti Jesi, Letojanni,
Juventus, dsb.) atau kata dari bahasa asing yang memakai J. Sampai abad
ke-19, J cenderung digunakan daripada I dalam diftong, sebagai pengganti
akhiran -ii, dan dalam kelompok vokal (seperti pada kata Savoja);
aturan ini cukup ketat dalam pedoman ejaan resmi. J juga digunakan untuk
menyerap bunyi /j/ dalam dialek, misalnya ajo dalam bahasa Romanesque
menjadi aglio (–/ʎ/–). Novelis Italia Luigi Pirandello menggunakan J
pada kelompok vokal dalam karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa
Italia; ia juga menulis bahasa ibunya, bahasa Sicilia dengan tetap
mempertahankan penggunaan J.
Dalam bahasa Spanyol, J melambangkan /x/
atau /h/ (yang berkembang dari konsonan gesek /dʒ/), serupa dengan bunyi
“h” atau “kh” Indonesia.
Dalam bahasa Perancis, Portugis dan
Rumania, huruf J mulanya berbunyi /dʒ/ tetapi kini berubah menjadi /ʒ/
(seperti pada kata measure bahasa Inggris).
Dalam bahasa Turki, Azerbaijan dan Tatar, huruf J umumnya melambangkan bunyi /ʒ/.
“J” ialah satu-satunya huruf yang tidak
ditemukan dalam sistem periodik unsur (namun Jl pernah digunakan untuk
mewakili joliotium, dan J sendiri pernah dipakai untuk yodium[2]).
K
K adalah huruf ke-11 dalam alfabet Latin.
Dalam bahasa Indonesia, namanya disebut ka; dalam bahasa Inggris disebut
kay, dibaca [ˈkɛɪ].
Huruf K berasal dari huruf Κ (kapa)
Yunani, yang diambil dari huruf kap dalam abjad bahasa Semitik, yang
berbentuk lambang tangan terbuka.[1] Huruf kap itu mungkin dipinjam oleh
kaum Semit yang tinggal di Mesir dari hieroglif bentuk “tangan” yang
melambangkan bunyi /d/ pada kata “tangan” dalam bahasa Mesir Kuno, yaitu
d-r-t. Orang Semit menetapkan bunyi /k/ untuk huruf ini karena kata
“tangan” dalam bahasa mereka diawali dengan bunyi tersebut.[2]
Pada prasasti kuno berbahasa Latin, huruf
C, K dan Q dipakai untuk melambangkan bunyi /k/ dan /g/ (yang tidak
dibedakan dalam penulisan). Dalam hal ini, Q digunakan untuk
melambangkan /k/ atau /g/ sebelum vokal bulat, K sebelum /a/, dan C
selain itu. Kemudian, penggunaan C (dan G sebagai variannya)
menggantikan banyak penggunaan K dan Q. K tersisa hanya pada beberapa
ejaan yang ketinggalan zaman seperti Kalendae, ‘hari pertama tiap
bulan’.[3]
Ketika kata-kata Yunani diserap ke dalam
bahasa Latin, huruf Kapa diubah menjadi C, dengan beberapa pengecualian
seperti praenomen Kaeso.[1] Beberapa kata dari alfabet lainnya juga
dialihaksarakan menjadi C. Maka dari itu, rumpun bahasa Roman hanya
mengandung K pada kata-kata dari bahasa lain. Rumpun bahasa Keltik juga
cenderung menggunakan C daripada K, dan pengaruh tersebut terbawa ke
dalam bahasa Inggris Kuno. Di masa kini, bahasa Inggris adalah
satu-satunya bahasa dari rumpun bahasa Germanik yang giat menggunakan
huruf C keras di samping huruf K (walaupun bahasa Belanda juga memakai
huruf C dalam kata pinjaman bahasa Latin serta mengikuti hukum pembedaan
“lembut keras” dalam kata-kata tersebut, begitu pula bahasa Perancis
dan Inggris, tetapi tidak bagi kosakata Belanda asli).
Beberapa ahli bahasa Inggris cenderung
membalikkan proses alih aksara Latin bagi kata-kata khas Yunani,
misalnya mengeja Hecate menjadi “Hekate”. Penulisan bahasa-bahasa yang
tidak memiliki sistem tulisan sendiri sehingga menggunakan alfabet Latin
biasanya memilih K untuk bunyi /k/, seperti Kwakiutl.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional, [k] merupakan lambang konsonan letup langit-langit belakang nirsuara.
Beberapa aksara lain juga menunjukkan
aksara bersudut tajam yang menandakan bunyi /k/ atau suku kata yang
bermula dengan bunyi /k/, contohnya: ك Arab, כ Ibrani, dan ㄱ Korea.
Hubungan fonetik-visual seperti ini pernah dikaji oleh Wolfgang Köhler.
Bagaimanapun, banyak juga contoh-contoh huruf berbunyi /k/, seperti ค
dalam aksara Thai dan Ք dalam alfabet Armenia.
L
L adalah huruf ke-12 dalam alfabet Latin.
Huruf ini disebut el, dibaca [ɛl]. Huruf L berasal dari bentuk huruf
Semitik “tongkat” atau “kambing” yang mewakili bunyi /l/. Ini mungkin
berdasarkan hieroglif Mesir yang telah diadaptasi oleh orang Semit untuk
tujuan penulisan. Huruf Yunani Lambda Λ (huruf besar) atau λ (huruf
kecil), yang juga merupakan huruf Etruska serta Latin, mewakili bunyi
yang sama sebagaimana huruf Semitik tersebut.
Dalam bahasa Inggris, L memiliki beberapa
nilai, tergantung kemunculannya sebelum atau setelah huruf hidup. Bunyi
konsonan hampiran-sisi rongga-gigi (bunyi yang dilambangkan oleh Alfabet
Fonetik Internasional sebagai “L” kecil) diucapkan bila mendahului
vokal, seperti pada kata lip atau please, sementara bunyi hampiran-sisi
rongga-gigi tervelarisasi (IPA: [ɫ]) dilafalkan pada kata bell dan milk.
Velarisasi ini tidak muncul pada banyak bahasa-bahasa Eropa yang
menggunakan L; itu juga merupakan faktor yang membuat pelafalan L
menjadi sulit bagi pengguna bahasa yang tidak memiliki, atau memiliki
nilai bunyi berbeda, untuk L^, eperti pada bahasa Jepang atau bahasa
Tionghoa dialek selatan.
L dapat muncul sebelum hampir setiap bunyi
letup, desis, atau gesek dalam bahasa Inggris. Dwihuruf umum seperti
LL, yang memiliki nilai sama seperti L dalam bahasa Inggris, namun
memiliki nilai berbeda yaitu konsonan desis-sisi ronga-gigi tak bersuara
(IPA: /ɬ/) dalam bahasa Welsh, yang muncul pada awal kata.
Bunyi hampiran-sisi langit-langit atau L
palatal (IPA: /ʎ/) muncul dalam berbagai bahasa, dan dilambangkan dengan
GL dalam bahasa Italia, LL dalam bahasa Spanyol dan Katalan, LH dalam
Portugis, dan Ļ dalam Latvia.
L adalah lambang angka 50 (lima puluh) atau tahun 50 dalam angka Romawi.
L juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam
fisika, L adalah simbol panjang. L singkatan dari unit volume dalam
sistem Satuan Internasional: liter.
M
M adalah huruf Latin modern yang ke-13.
Namanya em, dibaca [ɛm]. Bentuk huruf M berasal dari huruf Fenisia Mem,
melalui huruf Yunani Mu (Μ, μ). Huruf Mem Semitik kemungkinan besar
melambangkan air. Diketahui bahawa masyarakat Semit yang hidup di Mesir
kira-kira 2000 SM mengadaptasi hierogif “air” yang mulanya melambangkan
konsonan sengau rongga-gigi (/n/), karena kata Mesir untuk “air”
berbunyi “n-t”. Simbol itu dijadikan huruf M dalam bahasa Semitik,
karena kata air dalam bahasa mereka diawali dengan bunyi tersebut.
Huruf M melambangkan bunyi konsonan sengau
dwibibir (m), baik dalam bahasa klasik maupun modern. Dalam Alfabet
Fonetik Internasional, huruf M kecil melambangkan konsonan sengau
dwibibir, sedangkan variasi bentuknya (ɱ) melambangkan konsonan sengau
bibir-gigi. Kamus Bahasa Inggris Oxford (edisi pertama) menyatakan
bahawa huruf ‘m’ kadangkala berbunyi vokal dalam kata seperti spasm dan
akhiran -ism. Dalam istilah modern, penggunaan demikian diuraikan
sebagai konsonan suku ([m̩]).
N
N adalah huruf Latin yang ke-14. Namanya
disebut en (dibaca [ɛn]). Salah satu hieroglif berupa ular di Mesir Kuno
digunakan untuk melambangkan bunyi huruf J seperti dalam kata “jari”,
karena perkataan Mesir bagi “ular” berbunyi djet. Dipercaya bahwa bangsa
Semit di Mesir menyesuaikan hieroglif untuk menciptakan abjad pertama,
dan maka dari itu menggunakan lambang ular bagi bunyi /n/, karena kata
“ular” dalam bahasa mereka mungkin sekali diawali dengan konsonan
tersebut, namun nama huruf ini dalam abjad Fenisia, Ibrani, Aramea dan
Arab berbunyi nun, yaitu “ikan” dalam beberapa bahasa tersebut. Huruf
ini berbunyi /n/, seperti dalam alfabet Yunani, Etruska, Latin dan semua
bahasa di masa sekarang.
N berfungsi sebagai konsonan sengau gigi
atau konsonan sengau rongga-gigi dalam hampir semua bahasa yang memakai
alfabet. Dalam Alfabet Fonetik Internasional, huruf kecil [n]
melambangkan konsonan sengau rongga-gigi. Huruf besar N yang dikecilkan
([ɴ]) melambangkan bunyi konsonan sengau tekak.
Salah satu dwihuruf yang menyertakan huruf
adalah , yang menghasilkan konsonan sengau langit-langit belakang
(dibaca [ŋ]), seperti pada kata “sengau”. Dalam bahasa Inggris, n
biasanya tidak diucapkan saat diikuti oleh m, dalam kata seperti hymn
(meskipun dilafalkan pada kata damnation). Pada beberapa kata, n dapat
melambangkan bunyi konsonan sengau langit-langit belakang, contohnya
kata think (dibaca [θɪŋk]) dan bank (dibaca [bæŋk]).
n adalah huruf kedua yang paling sering
dipakai dalam bahasa Inggris. Yang pertama adalah t. Dalam beberapa
bahasa seperti Italia dan Perancis, melambangkan konsonan sengau
langit-langit (/ɲ/). Ejaan Portugis untuk bunyi tersebut adalah,
sementara dalam bahasa Spanyol dan beberapa bahasa lainnya menggunakan
tanda istimewa (n dengan tanda tilda di atasnya).
O
O adalah huruf Latin modern yang ke-15,
disebut o. Dalam bahasa Indonesia dibaca [o], sedangkan dalam bahasa
Inggris diucapkan sebagai diftong [ˈoʊ], bentuk jamaknya oes.[1]
Biasanya huruf ini melambangkan bunyi vokal belakang setengah tertutup
bulat. Dalam beberapa bahasa, ortografi masing-masing bahasa membuat
nilai fonetik huruf ini berbeda-beda, seperti “eo” dalam bahasa Korea
untuk bunyi [ʌ] (vokal belakang setengah terbuka takbulat); “oe” dalam
bahasa Belanda untuk bunyi [u] (vokal belakang tertutup bulat).
Huruf O berasal dari huruf Semitik `Ayin
(mata) yang melambangkan konsonan, kemungkinan konsonan desis hulu
kerongkongan bersuara (ʕ), yang juga dilambangkan oleh huruf Arab ع
(`Ayn). Huruf Semitik dalam bentuk asalnya nampaknya diilhami oleh
bentuk hieroglif Mesir untuk “mata”.
Bangsa Yunani mengadakan inovasi huruf;
oleh sebab tiadanya konsonan hulu kerongkongan, maka mereka meminjam
huruf ini menjadi huruf omikron untuk melambangkan bunyi /o/, yaitu
bunyi yang kemudian ditetapkan untuk huruf ini dalam bahasa Etruska dan
Latin. Dalam tulisan Yunani, wujud huruf ini berlainan untuk membedakan
bunyi o panjang (Omega, “O besar”) dengan o kecil (Omikron, “o kecil”).
Huruf O paling banyak dikaitkan dengan
vokal belakang setengah tertutup bulat [o] dalam berbagai bahasa. Bentuk
ini disebut long o ‘o panjang’ dalam bahasa Inggris, tetapi huruf o ini
berbunyi diftong ([əʊ]); di Amerika pula [oʊ].
Dalam bahasa Inggris juga ada short O, ‘o
pendek’ dengan berbagai pelafalan. Dalam kebanyakan dialek Britania
Raya, huruf ini diucapkan sebagai vokal belakang terbuka bulat [ɒ]; di
Amerika Utara diucapkan antara bunyi vokal belakang atau tengah tak
bulat, baik [ɒ], [ɑː] maupun [a] bergantung pada dialek daerah.
Dwihuruf umum seperti OO, melambangkan
bunyi /ʊ/ atau /uː/; OI biasanya melambangkan diftong /ɔɪ/; dan OA, OE,
dan OU melambangkan berbagai pelafalan tergantung konteks dan etimologi.
Berbagai bahasa menggunakan O dengan nilai
yang berbeda, biasanya sebagai lambang vokal belakang. Huruf pinjaman
seperti Ö dan Ø diciptakan untuk sistem tulisan pada beberapa bahasa
untuk membedakan bunyi vokal yang tidak dilambangkan oleh huruf Latin
dan Yunani, khususnya vokal depan bulat.
Dalam IPA, [o] melambangkan vokal belakang setengah tertutup bulat.
P
P adalah huruf Latin modern yang ke-16.
Dalam bahasa Indonesia disebut pe, sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut pee (dibaca [ˈpiː]).
Huruf P berasal dari huruf Proto-Semitik
Pi’t yang berarti “mulut”, yang juga menurunkan huruf Fenisia pe, serta
huruf-huruf Yunani (Pi) dan Etruska yang berkembang dari huruf Fenisia
tersebut. Semuanya melambangkan bunyi /p/, yaitu konsonan letup dwibibir
nirsuara.
Bangsa Etruska mengadaptasi alfabet Yunani
dan mengubah beberapa bentuk hurufnya, termasuk Pi yang melambangkan
bunyi /p/. Lengkungan pada huruf P Etruska tidak tertutup, dan pada
beberapa variasi, lengkungan itu justru tertutup; variasi bentuk
tertutup tersebut juga merupakan lambang bunyi /r/ dalam alfabet
Etruska. Bangsa Romawi mengadaptasinya dan menetapkan bentuknya sebagai
P, sehingga menyerupai bentuk huruf R dalam alfabet Etruska dan huruf Ro
dalam alfabet Yunani. Meskipun demikian, nilai bunyinya berbeda. Untuk
melambangkan bunyi /r/, akhirnya bentuk varian dari Ro dengan garis
diagonal ( ) diadaptasi menjadi huruf R oleh bangsa Romawi.
Dalam bahasa Indonesia, Melayu, Inggris
dan berbagai bahasa yang memakai alfabet Latin, huruf P melambangkan
bunyi konsonan letup dwibibir nirsuara.
Satu dwihuruf dalam bahasa Inggris dan
Perancis yang melibatkan huruf P ialah “ph” yang menandakan bunyi
konsonan desis bibir-gigi nirsuara /f/, dan digunakan untuk
mengalihaksarakan huruf Phi (φ) dalam kata-kata pinjaman bahasa Yunani.
Dalam bahasa Jerman, dwihuruf “pf” yang menandakan konsonan gesek bibir
/pf/ kerap dijumpai.
Penutur bahasa Arab tidak biasa menyebut
bunyi /p/ karena dalam bahasa mereka tidak ada bunyi konsonan ini;
sebaliknya mereka cenderung menyebutnya seperti /b/ atau /v/.
Q
Q adalah huruf ke-17 dalam alfabet Latin.
Dalam bahasa Indonesia, namanya ki; dalam bahasa Inggris disebut cue
(dibaca [ˈkjuː]) sedangkan dalam Bahasa Melayu ialah kyu. Nilai bunyi
huruf Semitik Qôp (mungkin pada mulanya qaw ‘gulungan tali’, dan mungkin
berdasarkan kepada hieroglif Mesir) adalah /q/ (konsonan letup tekak
nirsuara), suatu bunyi biasa untuk rumpun bahasa Semit, tetapi tidak
dijumpai dalam bahasa Inggris atau Indo-Eropa lainnya. Dalam bahasa
Yunani, tanda itu diserap sebagai Qoppa Ϙ, mungkin melambangkan beberapa
konsonan letup langit-langit terbibirkan, di antaranya adalah /kʷ/ dan
/kʷʰ/. Hasil dari pergeseran bunyi di kemudian hari, membuat bunyi-bunyi
ini dalam Bahasa Yunani berubah menjadi /p/ dan /pʰ/. Oleh karena itu,
Qoppa telah diubah ke dalam dua huruf: Qoppa, yang hanya untuk bilangan;
dan Phi Φ yang digunakan untuk konsonan aspirasi /pʰ/ dan disebut
sebagai /f/ dalam Bahasa Yunani Modern. Orang Etruska menggunakan Q
bersamaan dengan V untuk mewakili /kʷ/.
R
R adalah huruf Latin modern yang ke-18.
Dalam bahasa Indonesia disebut er, dibaca [ɛr], sedangkan dalam bahasa
Inggris disebut ar (dibaca [ɑr]).
Bentuk huruf Semitik asalnya mungkin
diilhami dari hieroglif Mesir yang berarti “kepala”, disebut t-p dalam
bahasa Mesir Kuno, tetapi dipinjam oleh orang Semit untuk lambang bunyi
/r/ karena dalam bahasa mereka, kata “kepala” berbunyi Rêš (akhirnya
menjadi nama hurufnya). Huruf tersebut berkembang menjadi Ρ ῥῶ (Rhô)
Yunani dan R Latin. Kemungkinan beberapa bentuk huruf tersebut dalam
bahasa Etruska dan Yunani Barat dibubuhi satu garis lagi agar berbeda
bentuknya dari huruf P sekarang.
Bangsa Romawi mengadaptasi huruf P Etruska
menjadi bentuk P yang sekarang, sedangkan bentuk P mirip sekali dengan
huruf R dalam alfabet Etruska dan Yunani. Untuk membedakannya, maka
bangsa Romawi menciptakan huruf R yang mirip dengan variasi huruf R
dalam alfabet Etruska dan ro dalam alfabet Yunani, yaitu dengan garis
diagonal di bawah lekukannya.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional (AFI),
simbol [r] menandakan bunyi konsonan getar rongga-gigi. Variasi bentuk
[r] dalam AFI digunakan untuk melambangkan konsonan getar dan rhotik
lainnya. Beberapa bahasa memakai huruf r menurut ortografi (atau skema
alih aksara Latin) masing-masing, baik sebagai konsonan getar maupun
konsonan rhotik.
S
S adalah huruf ke-19 dalam alfabet Latin. Huruf ini disebut es, dibaca [ɛs].
Huruf Syin (“gigi”) dari rumpun bahasa
Semit pernah melambangkan konsonan desis pascarongga-gigi nirsuara /ʃ/
(seperti dalam kata syarat). Bentuk asalnya mungkin menggambarkan gigi
atau buah dada. Bahasa Yunani tidak mengandung bunyi /ʃ/ tersebut, maka
huruf sigma (Σ) digunakan untuk mewakili /s/. Nama “sigma” barangkali
diambil dari huruf Semitik “Sâmek” (ikan; tulang belakang) dan bukan
“Šîn”. Dalam bahasa Etruska dan Latin, nilai bunyi [s] ditetapkan, dan
hanya dalam bahasa modernlah huruf ini dipakai untuk mewakili bunyi
lain, seperti konsonan desis pascarongga-gigi nirsuara [ʃ] dalam bahasa
Hongaria dan Jerman (sebelum p, t), atau konsonan desis rongga-gigi
bersuara [z] dalam bahasa Inggris (rise, ‘bangun’), Perancis (lisez,
‘baca’) dan Jerman (lesen, ‘membaca’).
Pada masa dahulu, suatu bentuk alternatif
bagi s, yaitu ſ (s panjang), digunakan pada permulaan atau pertengahan
kata dalam bahasa-bahasa Eropa tertentu; bentuk terkininya, s spendek,
digunakan pada akhir perkataan. Contonhya, sinfulness (“penuh dosa”)
ditulis ſinfulneſs menggunakan s panjang itu. Penggunaan long s merosot
menjelang awal abad ke-19, untuk mengurangi kekeliruan dengan huruf f
kecil. Ligatur “ſs” (atau “ſz”) dalam bahasa Jerman menjadi ess-tsett ( ß
).
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai
alfabet Latin, serta juga Alfabet Fonetik Internasional, huruf s
mewakili konsonan desis rongga-gigi nirsuara, kecuali bahasa Vietnam dan
bahasa Hongaria. Di sana S melambangkan konsonan desis pascarongga-gigi
nirsuara /ʃ/, seperti dwihuruf “sy” pada kata “syarat.” Bahasa-bahasa
lain termasuk bahasa Inggris, Portugis dan Jerman mengandung kata-kata
yang mana “s” mewakili bunyi /ʃ/ dan /z/.
Dalam ortografi bahasa Jerman, huruf ß
digunakan sebagai pengganti ligatur “ss”, mewakili bunyi [s] nirsuara.
Dalam bahasa Jerman huruf itu disebut Eszett, dibaca [ɛsˈtsɛt]. Huruf
itu digunakan untuk melambangkan bunyi [s] di antara dua vokal, misalnya
beißen (dibaca [baɪ̯sən], arti: ‘menggigit’); küssen (dibaca [kʏsən],
arti: ‘mencium’).
Dalam beberapa bahasa, S juga digunakan
untuk mewakili bunyi konsonan desis rongga-gigi bersuara ([z]), seperti
dalam bahasa Yup’ik bila S ditulis di antara huruf hidup. Dalam bahasa
Pinyin, bunyi /z/ tersebut menggunakan dwihuruf SS.
S juga digunakan sebagai lambang dalam
ilmu pasti. Dalam ilmu kimia, S adalah simbol kimia untuk Sulfur
(belerang). Dalam fisika, S digunakan sebagai simbol jarak. S juga
merupakan singkatan dari unit waktu dalam sistem Satuan Internasional:
sekon (detik).
T
T adalah huruf Latin modern yang ke-20.
Dalam bahasa Indonesia disebut te; dalam bahasa Inggris disebut tee,
dibaca [tiː]. Huruf ini merupakan huruf konsonan yang paling sering
digunakan dalam bahasa Inggris.[1]
Taw merupakan huruf terakhir abjad Semitik
Barat dan Ibrani, kemungkinan melambangkan silang atau salib. Nilai
bunyi huruf Taw, Tαυ (Tau) Yunani, dan T Italik Kuno dan Romawi sama,
yaitu menandakan fonem /t/; begitu juga dengan bentuk dasarnya dalam
semua abjad-abjad tersebut.
Dalam banyak bahasa, huruf ini
melambangkan konsonan letup rongga-gigi nirsuara. Dalam Alfabet Fonetik
Internasional, konsonan tersebut dilambangkan sebagai [t].
Dalam bahasa Finlandia, Italia, Portugis,
Swedia, dan beberapa dialek bahasa Indonesia, huruf ini melambangkan
konsonan letup gigi nirsuara. Huruf ini juga dipakai dalam kebanyakan
bahasa yang mengandung konsonan tersebut.
Dalam bahasa Inggris, jarang ditemui bahwa
huruf ini melambangkan fonem [t͡ʃ] (konsonan gesek rongga-gigi
nirsuara), contohnya dalam kata nature (dibaca [ˈneɪt͡ʃɚ]). Huruf H yang
mengikuti T membentuk dwihuruf “th” yang melambangkan bunyi konsonan
desis gigi, baik nirsuara (dibaca [θ]) maupun bersuara (dibaca [ð]).
U
U adalah huruf Latin modern yang ke-21.
Dalam bahasa Inggris, huruf ini disebut u atau you, dibaca [ˈjuː];
bentuk jamaknya ues.[1][2] Biasanya melambangkan vokal belakang tertutup
bulat ([u]), menggantikan fungsi huruf V yang beralih sebagai lambang
konsonan desis bibir-gigi nirsuara.
Mosaik Yustinianus I di Basilika
Sant’Apollinare Nuovo (abad ke-6). Vokal /u/ pada nama “Justinian”
ditulis dengan huruf V sebelum terciptanya U, sementara konsonan /j/
dtulis dengan huruf I sebelum terciptanya J.
Huruf U berasal dari variasi huruf V pada masa Romawi Kuno. Asalnya dari huruf upsilon Yunani, yang melambangkan vokal /y/.
Pada akhir Abad Pertengahan, timbul dua
bentuk huruf yaitu V dan U, kedua-duanya dipakai untuk bunyi /u/ dan
/v/. Bentuk V yang meruncing ditulis di awal kata, sedangkan bentuk U
bundar dipakai di tengah atau akhir kata tanpa memandang bunyinya. Oleh
karena itu, kata-kata seperti valour dan excuse sama seperti ejaan zaman
sekarang, tetapi kata have dan upon juga ditulis haue dan vpon.
Akhirnya pada tahun 1700-an, agar bunyi konsonan dan vokal dipisahkan,
bentuk V menandakan konsonan sementara bentuk U untuk vokal, maka
lahirlah huruf U modern. Pada masa inilah tercipta huruf besar U;
sebelum ini selalu dipakai huruf besar V. Mulanya, semenjak huruf U dan V
dijadikan huruf yang terpisah, V mendahului U dalam susunan abjad,
namun kini terjadi hal sebaliknya.
Huruf u dimasukkan dalam abjad Romawi oleh Petrus Ramus pada abad ke-16.[3]
Pada kebanyakan bahasa yang menggunakan
sistem alfabet Latin, u melambangkan bunyi vokal belakang tertutup
bulat, [u]*, demikian pula dalam Alfabet Fonetik Internasional.
Dalam bahasa Belanda, U dapat melambangkan
bunyi [ɤ]* (vokal hampir depan hampir tertutup bulat), contohnya pada
kata hut. Dwihuruf uu melambangkan [yː]*, vokal depan tertutup bulat
dipanjangkan, contohnya kata fuut. Bunyi vokal belakang tertutup bulat
(seperti “u” pada kata “ibu”) ditulis oe, contohnya kata hoed.
Dalam bahasa Inggris, biasanya huruf U
melambangkan bunyi /juː/, sering disebut long u, ‘u panjang’, terutama
bila di tengah kata, contohnya cute, amuse, music, dsb. Setelah
Pergeseran Vokal Besar-besaran, U dapat melambangkan bunyi [ʌ]* (vokal
belakang setengah terbuka takbulat), contohnya pada kata up, sub, cut,
abduct, awalan un-, dsb. U dapat pula melambangkan vokal rhotik [ɜː]*
(vokal madya setengah terbuka takbulat), contohnya pada kata burn, turd,
fur, dsb.
Dalam bahasa Perancis, u melambangkan
vokal depan tertutup bulat (simbol IPA: [y]), sementara ou melambangkan
vokal belakang tertutup bulat (simbol IPA: [u]). Menurut posisi
artikulasi, kedua vokal tersebut berlawanan (/y/ vokal depan sementara
/u/ vokal belakang). Di Jerman, vokal /y/ (vokal depan) tersebut ditulis
sebagai Ü untuk membedakannya dengan U (vokal belakang).
V
V adalah huruf Latin modern yang ke-22.
Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut ve meski dibaca [fe],
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut vee, dibaca [viː]. Awalnya huruf
ini melambangkan bunyi [u], vokal belakang tertutup bulat, namun vokal
tersebut menjadi huruf tersendiri (U), sementara V menjadi lambang bunyi
[v]* (konsonan desis bibir-gigi bersuara). Dalam bahasa Indonesia
sering dilafalkan seperti [f]* (konsonan desis bibir-gigi tak bersuara).
Huruf V berasal dari huruf Semitik Waw, begitu juga huruf-huruf modern
F, U, W, dan Y. Huruf Semit kemudian memengaruhi huruf Fenisia, Yunani,
dan Etruska. Huruf Latin dipengaruhi oleh huruf Yunani, dengan perubahan
seperlunya karena alasan penyesuaian fonologi dan sebagainya.
Dalam bahasa Yunani, huruf upsilon (Υ)
diadaptasi dari huruf waw, awalnya untuk melambangkan bunyi vokal /u/
seperti pada kata “bulan”, kemudian berubah menjadi /y/ (vokal depan
tertutup bulat), yaitu sama seperti pelafalan huruf ü dalam bahasa
Jerman.
Prasati pada Arch of Titus di Roma, Italia
(abad pertama Masehi). Pada tulisan Latin kuno tersebut, vokal /u/
ditulis dengan huruf V, sehingga ejaan SENATVS dialihaksarakan sebagai
SENATUS setelah terciptanya huruf U.
Dalam bahasa Latin, huruf upsilon ini
dipinjam dalam bentuk huruf V (tanpa batang) untuk menandakan bunyi /u/
yang sama, dan juga bunyi konsonan /w/. Oleh karena itu, kata num—atau
asalnya dieja NVM—disebut “noom” (/num/) sementara kata via/VIA disebut
“wi-a” (/wia/). Mulai abad pertama Masehi, bergantung pada dialek
setempat, konsonan /w/ berubah menjadi /β/, dan akhirnya menjadi /v/.
Ketika akhir Zaman Pertengahan, timbulnya
dua bentuk huruf v atau u, kedua-duanya dipakai untuk bunyi /u/ dan /v/.
Bentuk v bersudut ditulis di awal kata, sedangkan bentuk u bundar
dipakai di tengah atau akhir kata tanpa menghiraukan bunyinya. Oleh itu,
kata-kata seperti valour dan excuse sama seperti ejaan zaman sekarang,
tetapi kata have dan upon ditulis haue dan vpon. Akhirnya pada tahun
1700-an, agar bunyi konsonan dan vokal diasingkan, bentuk v menandakan
konsonan sementara bentuk u untuk vokal, maka lahirlah huruf u modern.
Pada masa itulah tercipta huruf besar U; sebelumnya selalu dipakai huruf
besar V. Mulanya, semenjak huruf u dan v dijadikan huruf yang berbeda, v
mendahului u dalam susunan alfabet, tapi kini terjadi sebaliknya.
Mosaik Justinianus I di Basilika
Sant’Apollinare Nuovo (abad ke-6). Vokal /u/ pada nama “Justinian”
ditulis dengan huruf V sebelum terciptanya U, sementara konsonan /j/
dtulis dengan huruf I sebelum terciptanya J.
Dalam sistem angka Romawi, huruf V
melambangkan nomor 5 atau tahun 5, karena menyerupai kebiasaan
menghitung takik yang diukir pada kayu, yaitu setiap takik kelima
dikerat dua agar membentuk “V”.
Dalam sistem Alfabet Fonetik Internasional, /v/ menandakan bunyi konsonan desis bibir-gigi bersuara.
Dalam bahasa Irlandia, huruf ‹v›
kebanyakan digunakan pada kata serapan, seperti veidhlín dari bahasa
Inggris violin. Tetapi bunyi [v] muncul secara alami dalam bahasa
Irlandia saat bunyi /b/ mengalami lenisi atau “dilembutkan”, ditulis
menurut ortografi dengan ‹bh›, sehingga bhí dilafalkan [vʲiː], an bhean
dilafalkan [ən̪ˠ ˈvʲan̪ˠ], dsb.
Bahasa Polandia tidak menggunakan huruf V,
demikian pula Q dan X. Akan tetapi, bahasa mereka mengandung bunyi /v/,
yang dilambangkan oleh huruf W, mengikuti kaidah dalam bahasa Jerman.
Dalam sistem pinyin bahasa Mandarin, semua
huruf Latin digunakan kecuali huruf V, karena tidak ada bunyi [v] dalam
bahasa Mandarin, tetapi huruf “v” dipakai kebanyakan kaedah pengetikan
sebagai pengganti huruf “ü” yang umumnya tidak tersedia pada papan
tombol biasa. Romanisasi merupakan kaidah yang banyak dilakukan untuk
mengetik bahasa Tionghoa secara fonetik.
Dalam alih aksara bahasa Sanskerta atau
IAST, huruf V digunakan sebagai lambang bunyi [ʋ]* (konsonan hampiran
bibir-gigi), yang dalam aksara Dewanagari ditulis व. Dalam aksara
turunan Brahmi lainnya (misalnya aksara Thai, Jawa, Bali, dsb) yang
melestarikan kata serapan dari bahasa Sanskerta, bila dalam fonologi
bahasa bersangkutan tidak mengandung bunyi konsonan hampiran bibir-gigi,
maka lambang konsonan tersebut dalam aksara mereka seringkali
tergantikan oleh konsonan hampiran langit-langit belakang terbibirkan
(simbol IPA: /w/), yang ditulis dalam huruf Latin sebagai W.
Huruf V juga digunakan sebagai lambang
dalam ilmu pasti. V adalah simbol kimia untuk Vanadium. Dalam Fisika, v
menjadi Simbol kecepatan dan volume (berasal dari kata velocity,
‘kecepatan’). Dalam linguistik, v menjadi simbol kata kerja (verba). V
juga merupakan singkatan dari unit tegangan listrik dalam sistem Satuan
Internasional: volt.
Beberapa bahasa memiliki penyebutan V yang berbeda-beda:
• Indonesia: ve [fe], pengucapannya mirip seperti pengucapan huruf F, yaitu konsonan desis bibir-gigi tak bersuara.
• Italia: vi [ˈvi] atau vu [ˈvu]
• Jerman: fau [ˈfaʊ]
• Katalan: ve, dilafalkan [ˈve], namun dalam dialek yang tidak memiliki bunyi /v/ dinamakan ve baixa [ˈbe ˈbajɕə] “vi rendah”.
• Portugis: vê [ˈve]
• Perancis: vé [ve]
• Spanyol: uve [ˈuβe] direkomendasikan,
tetapi ve [ˈbe] secara tradisional. Karena keduanya dilafalkan /b/ dalam
bahasa Spanyol[1], diperlukan istilah untuk membedakan ve dari be,
yaitu huruf ‹b›. Dalam beberapa wilayah huruf itu disebut ve corta, ve
baja, ve pequeña, ve chica atau ve labiodental.
Dalam bahasa Jepang, V sering disebut
“bui” (ブイ). Nama ini adalah penyesuaian dengan nama dalam bahasa
Inggris, yang mensubtitusi konsonan letup dwibibir bersuara untuk bunyi
konsonan desis bibir-gigi bersuara (yang tidak ada dalam fonologi bahasa
Jepang) dan berbeda dengan “bī” (ビー), nama Jepang untuk huruf B. Bunyi
itu dapat ditulis dengan simbol katakana 「ヴ」 (vu) yang kini sudah
dikembangkan,[2] sehingga menjadi va, vi, vu, ve, vo (ヴァ, ヴィ, ヴ, ヴェ,
ヴォ?), meskipun pelafalannya (saat diterapkan) bukanlah bunyi konsonan
desis bibir-gigi bersuara seperti dalam bahasa Inggris. Selain itu,
beberapa kata seringkali dieja dengan b daripada vu (contoh: “violin”
seringkali dieja baiorin (バイオリン?) daripada vaiorin (ヴァイオリン?); karena
kecenderungan untuk memakai konsonan yang tersedia dalam fonologi bahasa
Jepang daripada konsonan asing).
X
X adalah huruf ke-24 dalam alfabet Latin.
Huruf ini dibaca /ɛks/. Dalam ilmu fonetik, x adalah lambang IPA dan
X-SAMPA bagi konsonan desis langit-langit belakang nirsuara, seperti
dwihuruf “kh” pada kata “khusus” dalam bahasa Indonesia.
Pada mulanya, gabungan konsonan /ks/ dalam
bahasa Yunani Kuno ditulis sama, sebagai Khi Χ (dialek Barat) atau Ksi Ξ
(dialek Timur). Akhirnya, Khi digunakan untuk bunyi /kʰ/ (/x/ dalam
bahasa Yunani Modern), sementara Ksi digunakan untuk bunyi /ks/. Orang
Etruska telah mengambil alih Χ dari dialek Yunani Barat Kuno; maka, X
mewakili bunyi /ks/ dalam bahasa Etruska dan Latin.
Tidak diketahui apakah huruf Khi dan Ksi
merupakan ciptaan orang Yunani, ataupun berasal dari rumpun bahasa
Semit. Khi diurutkan hampir pada akhir susunan alfabet Yunani, setelah
huruf-huruf asal Semit, bersama dengan Fi, Psi, dan Omega, dengan
gagasan bahwa huruf-huruf itu merupakan inovasi; terlebih lagi, tidak
terdapat huruf yang mewakili bunyi /ks/ secara terperinci dalam bahasa
Semit. Terdapat satu huruf Fenisia kheth yang kemungkinan berbunyi /ħ/,
agak serupa dengan /kʰ/, tetapi mulanya diterima dalam alfabet Yunani
sebagai konsonan /h/, dan kemudian, digunakan untuk bunyi vokal panjang
Eta (Η,η), maka huruf itu tidak tampak sebagai asal huruf Khi. Huruf
Fenisia Samekh (mewakili /s/) sering dianggap sebagai inspirasi bagi
Ksi, namun seperti yang diterangkan, Khi mempunyai bentuk yang berbeda
dari Ksi—meskipun huruf itu mungkin merupakan variasi lain yang juga
berasal dari samekh. Bentuk asal samekh barangkali merupakan hieroglif
Mesir bagi Djed, namun ini juga tidak pasti karena tidak ada bentuk
Protosinaitik bagi huruf ini yang identik dengannya.
Penggunaannya dalam keseharian adalah sebagai berikut:
• Dalam Alfabet Fonetis International, [x] adalah simbol konsonan desis langit-langit belakang nirsuara.
• Dalam alfabet Latin, X melambangkan bunyi /ks/.
• Dalam Angka Romawi, X melambangkan bilangan 10 (sepuluh) atau tahun 10.
• Dalam beberapa bahasa, sebagai perubahan nilai fonetik dan adaptasi tulisan tangan, X dilafalkan berbeda-beda.
• Dalam bahasa Indonesia, X dipakai dalam istilah yang diserap dari bahasa asing, misalnya xenon.
• Dalam bahasa Inggris, X adalah huruf
untuk gugus konsonan [ks]; atau kadang-kadang apabila diikuti oleh suku
kata beraksen yang diawali dengan bunyi vokal, atau apabila diikuti oleh
“h” nirsuara dan bunyi vokal beraksen [gz] (cth. exhaust, exam);
lazimnya diucapkan [z] apabila menjadi huruf pertama suatu kata (cth.
xylophone), serta dalam beberapa kata majemuk bunyi [z] tidak berubah
(cth. meta-xylene). X juga melambangkan bunyi [kʃ] dalam perkataan yang
berakhir dengan -xion. X juga melambangkan bunyi [gʒ] atau [kʃ],
misalnya dalam kata luxury dan sexual. Apabila huruf X mengawali kata
dalam bahasa Inggris seperti xynene dan bunyi z yang dihasilkan, maka
huruf X tidak diucapkan. X di akhir kata biasanya diucapkan [ks] (cth.
ax/axe) kecuali dalam kata pinjaman seperti faux (lihat ulasan bagi
bahasa Perancis, di bawah).
• Dalam bahasa Melayu, X bukan saja
merupakan huruf yang paling sedikit digunakan di seluruh kosakata bahasa
Melayu, huruf ini seolah-olah tidak pernah digunakan kecuali bagi
kata-kata yang menyebut nama huruf ini dalam kata tersebut (cth:
sinar-X). Bagi kata-kata pinjaman dari bahasa lain yang mengandung huruf
“x” seperti sex dan xylophone, huruf x diganti dengan “ks” ([ks] di
tengah atau akhir kata) atau “z” ([z] di awal kata), sehingga dieja seks
dan zilofon.
• Dalam bahasa Perancis, di akhir kata, X
tidak diucapkan (atau dibaca [z] jika mengikuti bunyi vokal). Penggunaan
ini timbul sebagai perubahan tulisan bagi akhiran -us. Terdapat dua
pengecualian, yaitu x disebut [s] dalam six dan dix, namun dibaca [z]
dalam sixième and dixième.
• Dalam bahasa Spanyol lama, X disebut
seperti [ʃ] karena bahasa ini masih sebunyi dengan bahasa Iberia yang
lain. Kemudian, bunyi ini berubah menjadi bunyi [x] yang keras. Dalam
bahasa Spanyol modern, bunyi [x] dieja dengan j, atau dengan g sebelum e
dan i, namun x dikekalkan bagi sesetengah nama (misalnya México, yang
beralternasi dengan Méjico). Kini, X mewakili bunyi [s] (sebagai huruf
pertama perkataan), atau gagasan konsonan [ks] dan [gs] (cth. oxígeno,
examen). Lebih jarang lagi; seperti dalam bahasa Spanyol lama, huruf x
boleh disebut sebagai [ʃ] di hari ini dalam kata-kata nama khas seperti
Raxel (variasi Rachel) dan Xelajú. Dalam variasi bahasa Spanyol di
Amerika dan seseo, digraf xc di excelente disebut sebagai [ks] tetapi di
Spanyol, kombinasi konsonan tersebut disebut [ks-θ].
• Dalam bahasa Albania, x mewakili [dz], sementara digraf xh mewakili [dʒ].
• Dalam Hanyu Pinyin, sistem transkripsi
resmi bagi bahasa Mandarin, huruf x mewakili bunyi konsonan desis
pralangit-langit tidak bersuara (/ɕ/).
• Dalam bahasa Jerman dan bahasa Italia, X digunakan terutama dalam kata serapan.
Y
Y adalah huruf Latin modern yang ke-25.
Dalam bahasa Indonesia disebut ye; dalam bahasa Inggris disebut wye atau
wy (dibaca [ˈwaɪ], jamak: wyes).[1] Dalam berbagai bahasa, Y memiliki
nilai bunyi yang berbeda-beda. Alfabet Fonetis Internasional memakai
huruf Y kecil sebagai lambang bunyi vokal bulat depan tertutup.
Leluhur asal huruf Y merupakan huruf Yunani upsilon.
Penggunaan huruf Y dalam alfabet Latin
berawal dari abad pertama SM. Huruf itu digunakan untuk menulis kata
pinjaman dari bahasa Yunani, sehingga Y bukan huruf untuk menulis
kosakata asli bahasa Latin dan biasanya dilafalkan /u/ atau /i/.
Pelafalan yang kedua menjadi umum pada masa klasik dan digunakan oleh
banyak orang kecuali kalangan terpelajar. Claudius, Kaisar Romawi
memperkenalkan huruf baru ke dalam alfabet Latin untuk melambangkan apa
yang disebut sonus medius (vokal pendek sebelum konsonan bibir), tetapi
kadangkala dalam prasasti ditulis sebagai huruf upsilon dari Yunani.
Pada masa Yunani Kuno, huruf Υ (Upsilon)
melambangkan [u], sebelum beralih ke [y]* (vokal depan tertutup bulat).
Mulanya bangsa Romawi Kuno mengadaptasi huruf ini menjadi huruf V, untuk
menandakan bunyi vokal /u/ dan konsonan /w/, tetapi tidak lama
kemudian, oleh karena sebutan Ypsilon dalam bahasa Yunani beranjak ke
vokal /y/, maka bangsa Romawi meminjam huruf Yunani tersebut sesuai
bentuk asalnya termasuk garis vertikal di bawahnya, khususnya untuk
menandai nama-nama dan kata-kata pinjaman bahasa Yunani. Y dinamakan Y
Graeca, ‘Y Yunani’. Tak diragukan lagi bahwa pelafalannya I Graeca, ‘I
Yunani’, karena penutur bahasa Latin sulit mengucapkan vokal depan [y]*,
yang tidak terdapat dalam kosakata asli bahasa Latin. Dalam rumpun
bahasa Roman, pelafalannya menjadi nama yang umum: i griega dalam bahasa
Spanyol, i grec dalam bahasa Perancis, dsb.
Huruf Y digunakan dalam bahasa Inggris
Kuno dan Latin untuk melambangkan fonem /y/; namun, ada yang menganalisa
penggunaan ini merupakan kreasi tersendiri di Inggris dengan
menggabungkan V ke atas I, tanpa menghubungkan penggunaan huruf ini
dalam bahasa Latin. Mungkin juga bahwa huruf Y, meskipun dinamakan Y
Græca (dibaca [u gre:ka]) atau ‘u Yunani’ agar dibedakan dari /u/ dalam
bahasa Latin, tetap dianalisa sebagai huruf V (disebut /uː/) di atas
huruf I (disebut /iː/). Maka huruf Y dipanggil [uː iː]; setelah /uː/
menjadi /w/ dan setelah pergeseran vokal besar-besaran dalam bahasa
Inggris maka sebutannya menjadi /waɪ/.
Pada masa bahasa Inggris Pertengahan,
kebundaran vokal /y/ (vokal depan tertutup “bulat”) memudar sehingga
bunyinya mirip dengan vokal /iː/ (vokal depan tertutup “tak bulat”) dan
/ɪ/. Maka dari itu, banyak kata yang awalnya dieja dengan I kemudian
dieja dengan Y, dan demikian sebaliknya. Penggantian serupa terjadi
dalam kosakata Latin: kata asli silva (“kayu”) dieja dengan Y dalam kata
Pennsylvania.
Demikian pula, Y vokal dalam bahasa
Inggris Modern dilafalkan mirip I, tetapi bahasa Inggris modern
menggunakannya hanya dalam kata-kata tertentu, tidak seperti bahasa
Inggris Pertengahan dan awal Modern. Huruf itu memiliki tiga kegunaan:
pengganti upsilon dalam kata serapan dari bahasa Yunani (system; Yunani:
σύστημα), di akhir kata (rye, city; bandingkan cities, yang huruf
akhirnya adalah S), dan dalam kata dasar bersuku kata satu dengan akhir
vokal (dy-ing).
Saat mesin cetak diperkenalkan dari
daratan utama Eropa, William Caxton dan tukang cetak dari Inggris
lainnya menggunakan Y sebagai pengganti Þ (thorn: setara dengan th dalam
bahasa Inggris Modern), yang tidak tersedia dalam tipe huruf dari
daratan utama Eropa. Dari cara ini munculah perubahan ejaan “the”
menjadi “ye” dalam umpatan kuno “Ye Olde Shoppe”. Terlepas dari ejaan,
pelafalannya tetap sama seperti “the” masa kini (/ðiː/ atau /ðə/). Ye
(/jiː/) merupakan pelafalan ejaan modern asli.[2]
Penggunaan huruf Y untuk bunyi konsonan
[j]* (year, Jahr, yang) kemungkinan tidak terkait dengan pengunaannya
sebagai huruf vokal. Kemungkinan huruf itu merupakan pengganti huruf
yogh (Ȝȝ) dalam bahasa Inggris Pertengahan yang melambangkan bunyi /j/.
Yogh yang melambangkan bunyi lainnya, [ɣ]* (konsonan desis langit-langit
belakang), kemudian ditulis dengan dwihuruf gh dalam bahasa Inggris
Modern.
Dalam bahasa Spanyol, huruf Y disebut i/y
griega, dalam bahasa Katalan i grega, dalam bahasa Perancis dan Romania i
grec, dalam bahasa Polandia igrek yang semuanya berarti “I Yunani”;
pada kebanyakan bahasa Eropa lainnya, nama Yunani asalnya masih dipakai;
dalam bahasa Jerman, namanya Ypsilon (atau “Üpsilon”) dan dalam bahasa
Portugis ípsilon atau ípsilo.[3] Mulanya huruf Y diciptakan sebagai
huruf vokal, tetapi lama-kelamaan dijadikan konsonan dalam kebanyakan
bahasa.
Jika tidak dibaca sebagai vokal kedua
dalam diftong, huruf ini memiliki nilai bunyi /y/ dalam rumpun bahasa
Skandinavia dan /ʏ/ dalam bahasa Jerman. Y tidak pernah dianggap sebagai
konsonan (kecuali dalam kata serapan), namun dalam diftong, seperti
pada nama Meyer, huruf itu berperan sebagai variasi “i”.
Dalam bahasa Belanda, Y hanya muncul pada
kata serapan dan nama yang biasanya melambangkan bunyi /i/. Huruf ini
biasanya diabaikan dalam alfabet bahasa Belanda dan digantikan oleh
ligatur “IJ”. Dalam bahasa Afrikaans, perkembangan bahasa Belanda, Y
melambangkan diftong [ɛi], kemungkinan karena percampuran huruf kecil i
dan y atau mungkin berasal dari ligatur IJ.
Dalam bahasa Faroe dan Islandia, huruf itu
selalu dilafalkan i. Dalam kedua bahasa tersebut, huruf itu juga
menjadi bagian dari pengejaan diftong: ey (keduanya) dan oy (hanya
bahasa Faroe).
Dalam bahasa Spanyol, Y digunakan sebagai
inisial pengganti huruf I agar lebih mudah dibedakan (sedangkan Jerman
menggunakan huruf J karena alasan yang sama). Maka dari itu “el yugo y
las flechas” adalah simbol yang berbagi inisial Isabella I dari Castilla
(Ysabel) dan Ferdinand II dari Aragon. Ejaan ini direformasi oleh Royal
Spanish Academy dan kini hanya ditemukan pada nama diri yang dieja
secara kuno, seperti Ybarra atau CYII, simbol Canal de Isabel II. X juga
masih digunakan dalam bahasa Spanyol dengan pengucapan berbeda pada
beberapa ejaan kuno.
Sebagai suatu kata, huruf Y merupakan kata penghubung yang berarti “dan” dalam bahasa Spanyol dan dilafalkan [i]*.
Dalam marga Spanyol, y dapat memisahkan
marga ayah dengan marga ibu, contohnya “Santiago Ramón y Cajal”; contoh
lainnya “Maturin y Domanova”, dari seri novel karya Jack Aubrey. Nama
dalam bahasa Katalan menggunakan i untuk hal ini. Selain itu, Y
melambangkan bunyi [ʝ]* (konsonan desis langit-langit bersuara) dalam
bahasa Spanyol. Saat muncul sebelum bunyi vokal [i], Y digantikan oleh
E, contoh: “español e inglés”. Hal ini untuk menghindari pelafalan [i]
dua kali.
Dalam Finlandia dan Albania, Y biasanya dilafalkan [y]*.
Sebelum tahun 1972, bahasa Indonesia
menggunakan huruf J sebagai lambang bunyi [j] (konsonan hampiran
langit-langit). Meskipun demikian, huruf Y juga digunakan sebagai
lambang bunyi yang sama namun jarang ditemui; contohnya pada nama
Mohammad Yamin, dan Pramoedya Ananta Toer (untuk menghindari kekeliruan
karena “dj” dilafalkan [d͡ʒ] atau [ɟ]). Setelah ditetapkannya Ejaan Yang
Disempurnakan, maka huruf Y menggantikan posisi J. Demikian pula pada
dwihuruf “nj” diganti dengan “ny”.
Dalam bahasa Italia, Y (i greca atau ipsilon) digunakan dalam beberapa kata serapan.
Dalam bahasa Polandia dan Guaraní, huruf itu melambangkan bunyi vokal [ɨ]* (vokal madya tertutup takbulat).
Dalam Lithuania, Y adalah huruf ke-15 dan
merupakan huruf hidup. Huruf itu disebut i panjang dan dilafalkan [iː]
seperti kata see dalam bahasa Inggris.
Dalam Welsh huruf itu dilafalkan [ə]*
(vokal madya) dalam kata bersuku kata tunggal atau suku kata tak akhir,
dan [ɨ] atau [i] (tergantung aksen) dalam suku kata akhir.
Saat digunakan sebagai huruf hidup dalam
Vietnam, huruf y melambangkan vokal depan tertutup takbulat. Saat
dipakai sebagai monoftong, fungsinya setara dengan huruf i dalam alfabet
bahasa Vietnam. Ada upaya untuk mengganti penggunaan i seluruhnya,
namun tampaknya sebagian besra gagal. Sebagai bunyi konsonan, huruf itu
melambangkan bunyi hampiran langit-langit.
Dalam Aymara, Melayu, Turki, Quechua dan
Romanisasi Jepang, huruf Y adalah konsonan langit-langit, khususnya [j]*
(konsonan hampiran langit-langit).
Dalam Alfabet Fonetis Internasional, [y]
mewakili bunyi vokal depan tertutup bulat, dan huruf yang agak berbeda
yaitu [ʏ] melambangkan vokal hampir depan hampir tertutup bulat.
Merupakan indikasi kelangkaan vokal bulat
depan karena [y] adalah suara paling langka dalam Alfabet Fonetis
Internasional yang diwakili oleh huruf Latin, kurang dari setengah
penggunaan [q] atau [c] dan hanya sekitar seperempat penggunaan [x].
Z
Z ialah huruf Latin modern yang ke-26 dan terakhir, disebut zed, dibaca [zɛd]. Di Amerika, Z disebut zi, dibaca [ziː].
Huruf Z berasal dari huruf Yunani zeta,
yang diturunkan dari huruf Proto-Semitik (Semitik awal). Nama huruf
Semitik asalnya adalah zayin, yang mungkin bermakna “senjata”, serta
merupakan huruf ketujuh dalam abjad tersebut. Huruf itu seperti
pelafalan z dalam bahasa Inggris dan Perancis, atau kemungkinan besar
seperti bunyi konsonan gesek /d͡z/ dalam bahasa Italia.
Bentuk Z (huruf kecil: ζ) Yunani merupakan
kerabat dekat huruf Fenisia I, dan bentuk hurufnya dalam
prasasti-prasati tetap bertahan sepanjang zaman kuno. Orang Yunani
memanggilnya zeta, dan nama baru dibuat berdasarkan huruf ini yaitu eta
(η) dan theta (θ).
Pada bahasa Yunani awal di Athena dan
Yunani Barat Laut, huruf itu melambangkan bunyi /dz/; dalam bahasa
Yunani Attika, dari abad ke-4 SM hingga seterusnya, huruf itu dapat
melambangkan /zd/ maupun /dz/, dan pada kenyataannya tidak ada konsensus
yang memperhatikan masalah ini. Pada dialek lainnya, seperti Elea dan
Kreta, simbol itu pernah digunakan untuk menandakan bunyi th bersuara
dan nirsuara dalam bahasa Inggris (IPA: /ð/ dan /θ/). Pada dialek umum
(bahasa Yunani Koine) yang menggantikan dialek terdahulu, ζ melambangkan
bunyi /z/, dan bertahan hingga bahasa Yunani Modern.
Dalam alfabet Etruska, huruf Z munngkin menandakan bunyi konsonan gesek /ts/; dalam bahasa Latin pula, /dz/.
Dalam bahasa Latin awal, bunyi /z/ berubah
menjadi /r/ karena rhotasisme sehingga huruf yang melambangkan bunyi
/z/ menjadi tidak berguna. Maka sekitar tahun 300 SM, huruf Z
disingkirkan oleh Censor Appius Claudius Caecus, lalu tempatnya semula
digantikan oleh huruf baru, G.
Pada abad pertama SM, huruf Z diterapkan
kembali ke dalam alfabet Latin agar menandakan bunyi zeta Yunani dengan
lebih tepat daripada penulisan S di awal kata dan ss di tengah kata yang
diterapkan sebelumnya, contoh: sona = ζωνη, “tali pinggang”; trapessita
= τραπεζιτης, “bankir”. Huruf ini hanya muncul pada kata-kata pinjaman
Yunani, dan Z bersama Y merupakan dua huruf yang dipinjam oleh bangsa
Romawi dari Yunani.
Dalam Bahasa Latin Vulgar, huruf zeta
Yunani nampaknya menandakan bunyi (/dj/), dan kemudian (/dz/); D dipakai
untuk bunyi /z/ dalam kata-kata seperti baptidiare sebagai ganti
baptizare (“baptis”); sebaliknya Z dijadikan tanda bunyi /d/ dalam
bentuk-bentuk seperti zaconus bagi diaconus (“paderi”); dan zabulus
untuk diabulus (“iblis”). Z juga sering ditulis sebagai pengganti
konsonan I (yaitu, J, IPA: /j/) seperti zunior untuk junior, ‘lebih
muda’.
Di masa sebelumnya, alfabet bahasa Inggris
yang digunakan oleh anak-anak tidak diakhiri dengan Z, melainkan dengan
& atau simbol tipografi yang menyerupainya.
Bentuk lain dari huruf Z yang berasal dari
tipe huruf Goth dan Blackletter Modern Awal adalah “z berekor”. Bentuk
huruf z berekor ini bergabung dengan bentuk huruf s panjang, menjadi
ligatur ß dalam ejaan bahasa Jerman.
Suatu bentuk variasi Z berekor yaitu Ezh,
dimasukkan dalam Alfabet Fonetik Internasional sebagai tanda bunyi
konsonan desis pascarongga-gigi bersuara (IPA: [Ʒ]).
Z dalam tipe huruf Antiqua dapat mirip dengan karakter yang menggambarkan angka 3 dalam tipe huruf lainnya.
Unicode menetapkan titik kode untuk
“BLACK-LETTER CAPITAL Z” dan “FRAKTUR SMALL Z” dalam lajur Letterlike
Symbols dalam Mathematical alphanumeric symbols, masing-masing pada
U+2128 ℨ dan U+1D537 𝖟.
Dalam bahasa Melayu, huruf “z” berbunyi
konsonan desis rongga-gigi bersuara yang terdapat dalam kata-kata
pinjaman bahasa Arab, Persia dan Eropa; misalnya: “ziarah”, “zapin” dan
“zoo”, begitu juga dengan bahasa Inggris seperti dalam perkataan “zip”,
“realize” dan sebagainya. Adakalanya dalam bahasa Inggris, “z” membawa
bunyi konsonan desis pascarongga-gigi bersuara (IPA: [Ʒ]) seperti dalam
kata “azure”.
Dalam bahasa Italia, huruf Z menandakan
dua fonem, yaitu /ts/ dan /dz/; dalam bahasa Jerman, huruf Z
melambangkan /ts/; dalam bahasa Spanyol Castellano /θ/ (yaitu th dalam
kata thing bahasa Inggris), tetapi dalam dialek lain (Amerika Latin,
Andalusia) bunyinya /s/.
Dalam sistem pinyin bahasa Mandarin “z”
disebut [ts]. Dalam romanisasi bahasa Jepang pula, huruf z menandakan
bunyi [z] dan [dz].
Sistem IPA memakai simbol [z] untuk
konsonan desis rongga-gigi bersuara. Dalam bahasa Inggris, beberapa
huruf S dilafalkan /z/, seperti dalam kata “closed”.