Kita selama ini mengenal bahwa hari pendidikan nasional kita itu berdasarkan
awal adanya sekolah Taman Siswa yang dianggap sebagai tempat pendidikan pertama
di Indonesia ,
sehingga tanggal lahir pendirinya, Ki Hadjar Dewantara, pun ditetapkan sebagai
hari pendidikan nasional. Mengapa itu bisa terjadi. Bukankah jauh-jauh hari
sebelum adanya Taman Siswa sudah ada berbagai pondok pesantren yang mengajarkan
pendidikan di tengah-tengah masyarakat kecil.
Okelah kalo misalnya pondok pesantren yang merupakan tempat pendidikan tidak
dianggap, mungkin karena identik dengan Islam. Terus, sebelumnya juga apa tidak
ada sekolah yang didirikan pertama kali. Padahal jika kita mau melihat sejarah
kembali KH. Achmad Dahlan dengan Persyarikatan Muhammadiyahnya, telah
mendirikan sekolah yang berada di mana-mana, bahkan plus panti asuhan yatim
piatu. Tidak pilih-pilih murid pula.
Terus atas dasar apa hari pendidikan nasional kita ditetapkan?
Persyarikatan Muhammadiyah merupakan gerakan anti imperialisme yang dipengaruhi
oleh ide Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani. Persyarikatan
Muhammadiyah pun telah dicurigai oleh pemerintah kolonial Belanda karena
mempunyai sifat anti penjajah yang sudah barang tentu membahayakan eksistensi
penjajah manapun, Berdiri pada tanggal 18 November 1912, Persyarikatan
Muhammadiyah menunjukkan diri sebagai gerakan sosial pendidikan.
Ini merupakan hasil pemikiran KH. Achmad Dahlan berdasarkan uraian al-Qur’an
dalam surat al-Ma’uun.
Dengan melihat kondisi umat Muslim yang menyedihkan akibat kejamnya Tanam Paksa
serta bertepatan dengan diskriminasinya pemerintah kolonial Belanda dalam
bidang pendidikan yang mana mendirikan Sekolah Rendah Desa hanya dalam jumlah
sedikit dan tidak seimbang dengan jumlah penduduk asli pribumi.
Kemudian di tengah kondisi pendangkalan agama dan pemiskinan secara sosial
ekonomi, serta untuk mengangkat harkat martabat anak yatim dan dhuafa, maka
tantangan ini dijawab oleh KH. Achmad Dahlan dengan memperbanyak membangun
sekolah dan mengaktifkan Majelis Penolong Kesengsaraan Umum.
Dalam kurikulum sekolahnya , Persyarikatan Muhammadiyah mempunyai tambahan mata
pelajaran al-Qur’an. Walaupun dalam sistemnya tetap mengikuti sistem sekolah
yang didirikan oleh kolonial Belanda. Yaitu selain didirikan Sekolah Desa atau
Sekolah Rendah Angka Dua (Tweede Klasse) atau Sekolah Boemiputra (Inlandsche
School), sudah dimulai juga didirikan Sekolah Rendah Kelas Satu yang disebut
Hollandsch Indische School (HIS) pada tahun 1914.
Kadang sekolah HIS Belanda ini juga disebut dengan Sekolah Boemiputra-Belanda,
yaitu hanya khusus buat anak-anak bangsawan, pegawai Belanda, dan tokoh-tokoh
terkemuka. Ana rakyat jelata terus bagaimana?
Rata-rata masa studi di sekolah-sekolah Belanda itu 7 tahun. Maka dari uraian
tadi sudah nampaklah bahwa dari fakta sejarah ini kelihatan sekali diskriminasi
politik etis penjajah di bidang pendidikan. Tujuan penjajah kolonial protestan
Belanda ini pun jelas yaitu untuk menegakkan superioritas penjajahannya di atas
dasar kebodohan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, Persyarikatan Muhammadiyah
mengimbangi sekolah-sekolah Belanda tersebut dengan Hollandsch Indische School
Muhammadiyah atau lebih dikenal dengan HIS me de Quran.
Upaya ini pun sebenarnya juga ingin dilanjutkan dengan mendirikan perguruan
tinggi, namun kondisi pada saat penjajahan Belanda waktu itu tidak
memungkinkan. Baru pada masa pendudukan Balatentara Dai Nippon pada tahun
1942-1945, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Jakarta dengan Rektor Kahar Muzakkir.
Dengan perpindahan pemerintahan RI dari Jakarta
ke Yogyakarta , maka Sekolah Tinggi Islam pun
berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Tidak berhenti sampai di
situ, selanjutnya Persyarikatan Muhammadiyah juga mendirikan Universitas
Muhammadiyah, di Bandung ikut serta juga mendirikan Universitas Islam Bandung
(UNISBA) yang mana semula bernama Perguruan Islam Tinggi (PIT) Kian Santang.
Persyarikatan Muhammadiyah pun tidak hanya memikirkan bagaimana bangsa Indonesia yang
terjajah ini dapat sekolah namun juga tidak mengabaikan akan adanya tenaga
guru, maka dari itu didirikanlah Kweekschool. Nah setelah banyaknya tenaga guru
atau pengajar, seiring dengan itu diperbanyaklah juga pendirian sekolah-sekolah
Muhammadiyah.
Rupanya kolonial Belanda pun mulai ketar-ketir dengan berbagai sekolah yang
didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah ini. Persyarikatan Muhammadiyah ini
juga tak tanggung-tanggung, sekolah-sekolah mereka didirikan tidak cuma di Pulau
Jawa, namun juga d luar Pulau Jawa.
Akhirnya untuk mencegah lebih berkembangnya pendidikan buat anak-anak pribumi
Muslim ini, dibuatlah peraturan tentang Wilde School Ordonnantie atau disebut
juga Ordonansi Sekolah Liar pada tahun 1932 oleh pemerintah kolonial Belanda.
Peraturan ini tentu saja dibuat untuk mempersulit sekola-sekolah atau lembaga
pendidikan yang tidak dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda,
maka lembaga pendidikan itu tidak dibenarkan untuk mengadakan aktivitas belajar
mengajar. Dan hanya sekolah pemerintah atau sekolah swasta yang disubsidi
pemerintah Belanda saja yang berhak mengadakan kegiatan belajar mengajar di
sekolah.
Ordonansi ini memang sengaja diperlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda,
tidak hanya untuk berbagai sekolah yang didirikan oleh Persyarikatan Ulama
(Jawa Barat), Persyarikatan Muhammadiyah, Nahdhatul Wathon (Jawa Timur) semata,
namun juga ditujukan terhadap sekola Taman Siswa.
Dalam Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs, dijelaskan bahwa
didirikannya Taman Siswa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal
31 Desember 1922 di Yogyakarta merupakan bentuk penolakan terhadap adanya Islam
pembaruan atau Persyarikatan Muhammadiyah. Sekadar untuk pengetahuan
teman-teman semua, sekolah Taman Siswa menggunakan landasan kebudayaan Jawa
sebagai landasan orientasi pendidikannya.
Nah, sekarang kita berpikir, mengapa sikap Taman Siswa seperti itu terhadap
Persyarikatan Muhammadiyah?
Dalam karyanya yang berjudul Gerakan
Taman Siswa, Delapan Tahun Pertama dan Latar Belakang Jawa Taman Siswa,
Kenji Tsuchiya menjelaskan bahwa Taman Siswa merupakan lanjutan dari
perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon. Dahulu kolonial Belanda itu sengaja
menciptakan, membiarkan, bahkan mendukung semua perkumpulan kebatinan untuk
mengimbangi berbagai gerakan Islam. Sekadar contoh di Yogyakarta ,
Persyarikatan Muhammadiyah (1912) diimbangi oleh perhimpunan Seloso Kliwon yang
kemudian berubah menjadi Taman Siswa (1922).
Kemudian untuk mengimbangi Persyarikatan Ulama (1915) di Majalengka, Jawa
Barat, dikembangkanlah Agama Jawa Sunda di Cigugur Kuningan (1920). Untuk
daerah Jawa Barat memang tidak hanya Agama Jawa Sunda, namun juga didirikan
berbagai organisasi kebatinan oleh kolonial Belanda seperti: Sarekat Hijau di
Sumedang dan Cianjur, Tolak Bahla Towil Oemoer (TBTO) di Garut dan Tasikmalaya,
Pamitran di Bandung, dan Sarekat Pompa di Cimahi.
Mengapa diciptakan berbagai perkumpulan kebatinan itu? Tentu saja merupakan
bagian dari politik pecah belah. Misalnya dengan dipertentangkannya atau
kasarnya diadu antara perbedaan ajaran Kejawen dan Kesundan dengan ajaran
Islam, tak cukup sampai di situ, dikembangkanlah pertentangan prasangka etnis.
Terus dibentukran juga Syarikat Islam dengan PKI. Ulama pun dijadikan objek
perpecahan. Kalau ualamanya saja pecah atau berselisih, sudah pasti kaum
Muslimin ikut pecah. Maka diangkatlah dan difokuskan saja perbedaan dan
pertentangan masalah fusu’ atau khilafiyah antara Ahli Sunnah wal Jama’ah
dengan penganut Wahabi. Terus kalangan Jamiat Khoir dipecah belah juga terutama
perbedaan antara golongan Sayid dan non-Sayid.
Balik lagi ke Kebatinan Seloso Kliwon atau Taman Siswa dan Soewardi
Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Jadi mengapa bangsa kita Indonesia
menyatakan hari pendidikan nasional kita ini berdasarkan kelahiran Ki Hadjar
Dewantara?
Kalau kita mau meninjau kembali, 10 tahun lebih dahulu sudah didirikan sekolah
nasional Muhammadiyah, yang tidak membeda-bedakan siapa yang mau sekolah.
Apakah karena cuma Sekolah Muhammadiyah diidentikkan dengan Islam? Apa karena
pemerintahan kita dahulu takut akan berkembangnya Islam? Apakah karena
sekolah-sekolah itu mengajarkan pendidikan agama? Apa karena sekolah-sekolah
itu hanya untuk kaum pribumi yang miskin? Apa karena tidak disubsidi oleh pemerintah
kolonial Belanda? Apa karena tidak diajarkan rasa nasionalisme?
Terus yang mana yang disebut nasionalisme? Yang menentang penjajah kolonial
Belanda atau yang menjadi kawan atau ‘kacung’ kolonial Belanda?
Sepertinya ada semacam ketakutan dan menampakkan ketidaksukaan jika umat Muslim
ini mengalami kejayaan. Mereka sudah tahu benar umat Islam itu berjiwa patriot
dan menolak kehadiran penjajah Kerajaan Protestan Belanda. Mengerti sekali
bahwa kejayaan umat Muslim ini akan melemahkan kehadiran mereka yang takut dan
tidak suka terhadap Islam.
(Sumber: Akhmad Jenggis P., “Kebangkitan Islam”, Yogyakarta : NFP Publishing, Cet. I, Mei 2011, hal. 150-158)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar