Dalam bab-bab sebelumnya, kita melihat bahwa di alam tidak ada
mekanisme yang menyebabkan makhluk hidup berevolusi. Makhluk hidup muncul bukan
akibat proses evolusi, malainkan secara tiba-tiba dalam bentuk yang sempurna.
Mereka diciptakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, jelaslah bahwa "evolusi
manusia" juga merupakan sebuah kisah yang tidak pernah terjadi. Lalu, apa yang
digunakan evolusionis sebagai pijakan untuk dongeng ini? Dasarnya adalah
keberadaan fosil yang berlimpah sehingga evolusionis dapat membangun penafsiran
imajinatif.
Sepanjang sejarah telah hidup lebih dari 6.000 spesies kera dan
kebanyakan dari mereka telah punah. Kini hanya 120 spesies kera yang masih hidup
di bumi. Mayoritas dari sekitar 6.000 spesies kera ini telah punah, menjadi
sumber yang kaya bagi evolusionis. Evolusionis menulis skenario evolusi manusia
dengan menyusun sejumlah tengkorak yang cocok dengan tujuan mereka, berurutan
dari yang terkecil hingga yang terbesar, lalu menempatkan di antara mereka
tengkorak beberapa ras manusia yang telah punah. Menurut skenario ini, manusia
dan kera modern memiliki nenek moyang yang sama. Nenek moyang ini berevolusi
sejalan dengan waktu. Sebagian mereka menjadi kera modern, sedangkan kelompok
lain berevolusi melalui jalur yang berbeda, menjadi manusia masa kini. Akan
tetapi, semua temuan paleontologi, anatomi, dan biologi menunjukkan bahwa
pernyataan evolusi ini fiktif dan tidak sahih seperti semua pernyataan evolusi
lainnya. Tidak ada bukti-bukti kuat dan nyata untuk menunjukkan kekerabatan
antara manusia dan kera. Yang ada hanyalah pemalsuan, penyimpangan
gambar-gambar, serta komentar-komentar menyesatkan.
Catatan fosil mengisyaratkan kepada kita bahwa sepanjang
sejarah, manusia tetap manusia; dan kera tetap kera. Sebagian fosil yang
dinyatakan evolusionis sebagai nenek moyang manusia berasal dari ras manusia
yang hidup hingga akhir-akhir ini sekitar 10.000 tahun lalu dan kemudian
menghilang. Selain itu, banyak orang masa kini memiliki penampilan dan
karakteristik fisik yang sama dengan ras-ras manusia. Semua ini adalah bukti
nyata bahwa manusia tidak pernah mengalami proses evolusi sepanjang
sejarah.
Bukti terpenting adalah perbedaan anatomis yang besar antara kera
dan manusia, dan tidak satu pun di antara perbedaan tersebut muncul melalui
proses evolusi. "Bipedalitas" (kemampuan berjalan dengan dua kaki) adalah salah
satu diantaranya. Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, bipedalitas hanya
terdapat pada manusia dan merupakan salah satu sifat terpenting yang membedakan
manusia dengan hewan.
Silsilah Imajiner Manusia
Darwinis menyatakan bahwa manusia modern saat ini berevolusi
dari makhluk kera. Menurut mereka, selama proses evolusi yang diperkirakan
berawal 4 -- 5 juta tahun yang lalu, terdapat beberapa "bentuk transisi" antara
manusia modern dan nenek moyangnya. Menurut skenario yang penuh rekaan ini
terdapat empat "kategori" dasar:
- Australopithecus
- Homo habilis
- Homo erectus
- Homo sapiens
Evolusionis menyebut nenek moyang pertama manusia dan kera sebagai
Australopithecus, yang berarti "Kera Afrika Selatan".
Australopithecus hanyalah spesies kera kuno yang telah punah, dan
memiliki beragam tipe: sebagian berperawakan tegap, dan sebagian lain bertubuh
kecil dan ramping.
Evolusionis menggolongkan tahapan evolusi manusia berikutnya
sebagai "homo", yang berarti manusia. Menurut pernyataan evolusionis, makhluk
hidup dalam kelompok homo lebih berkembang daripada Australopithecus, dan
tidak terlalu berbeda dengan manusia modern. Manusia modern di zaman kita, Homo
sapiens, dikatakan terbentuk pada tahapan terakhir evolusi spesies
ini.Fosil-fosil seperti "Manusia Jawa", "Manusia Peking", dan "Lucy", yang
senantiasa muncul di media massa, jurnal dan buku-buku kuliah evolusionis,
termasuk dalam salah satu dari keempat spesies di atas. Spesies-spesies ini juga
diasumsikan bercabang menjadi subspesies.
Sejumlah kandidat bentuk transisi dari masa lampau, seperti
Ramapithecus, harus dikeluarkan dari silsilah imajiner evolusi manusia
setelah diketahui mereka adalah kera biasa.
Dengan menyusun rantai hubungan sebagai Australopithecus
> Homo habilis > Homo erectus > Homo sapiens,
evolusionis menyatakan bahwa masing-masing spesies ini adalah nenek moyang
spesies lainnya. Akan tetapi, temuan ahli-ahli paleontologi baru-baru ini
mengungkapkan bahwa Australopithecus, Homo habilis, dan Homo
erectus hidup di belahan bumi berbeda pada masa yang sama. Selain itu, suatu
segmen manusia tertentu yang digolongkan sebagai Homo erectus ternyata
hidup hingga zaman modern. Homo sapiens neandartalensis dan Homo
sapiens sapiens (manusia modern) pernah hidup bersama di wilayah yang sama.
Situasi ini jelas menunjukkan ketidakabsahan pernyataan bahwa mereka adalah
nenek moyang bagi yang lain.
Pada hakikatnya, semua temuan dan penelitian ilmiah telah
mengungkapkan bahwa catatan fosil tidak mengisyaratkan proses evolusi seperti
yang dikemukakan evolusionis. Fosil-fosil tersebut, yang mereka katakan sebagai
nenek moyang manusia, ternyata milik suatu ras manusia atau milik spesies
kera.
Lalu, yang manakah fosil manusia dan yang manakah fosil kera?
Mungkinkah salah satu dari keduanya bisa dianggap sebagai bentuk transisi? Untuk
mendapatkan jawabannya, mari kita amati masing-masing kategori.
Australopithecus: Spesies Kera
Australopithecus, kategori pertama, berarti "kera dari
selatan". Makhluk ini di duga pertama kali muncul di Afrika sekitar 4 juta tahun
lalu dan hidup hingga 1 juta tahun lalu. Evolusionis berasumsi bahwa spesies
Australopithecus tertua adalah A. afarensis. Setelah itu muncul
A. africanus, yang memiliki kerangka lebih ramping, dan kemudian A.
robustus, yang memiliki kerangka relatif lebih besar. Sedangkan untuk A.
boisei, sejumlah peneliti menganggapnya spesies yang berbeda dan sebagian
lagi menggolongkannya dalam subspesies dari A. robustus.
Semua spesies Australopthecus adalah kera yang sudah
punah dan menyerupai kera masa kini. Ukuran tengkorak mereka sama atau lebih
kecil dari simpanse yang hidup di masa sekarang. Terdapat bagian yang menonjol
pada tangan dan kaki mereka yang digunakan untuk memanjat pohon seperti simpanse
zaman sekarang, dan kaki mereka memiliki kemampuan memanjat dahan. Mereka
bertubuh pendek (maksimum 130 cm) dan seperti simpanse masa kini,
Australopithecus jantan lebih besar dari Australopithecus betina.
Sekian banyak karakteristik seperti detail pada tengkorak, kedekatan kedua mata,
gigi geraham yang tajam, struktur rahang, lengan yang panjang, kaki yang pendek,
merupakan bukti bahwa makhluk hidup ini tidak berbeda dengan kera zaman
sekarang. Evolusionis menyatakan bahwa meskipun Australopithecus memiliki
anatolmi kera, mereka berjalan dengan tegak seperti manusia dan bukan seperti
kera.
Pernyataan "berjalan tegak" ini ternyata telah dipertahankan
selama puluhan tahun oleh sejumlah ahli paleontologi seperti Richard Leakey dan
Donald C. Johanson. Namun, banyak ilmuwan telah melakukan penelitian pada
struktur kerangka Australopithecus dan membuktikan ketidakabsahan
argumentasi tersebut. Penelitian menyeluruh pada spesimen
Australopithecus oleh dua ahli anatomi kelas dunia dari Inggris dan
Amerika Serikat, Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard, menunjukkan
bahwa makhluk ini tidak bipedal dan bergerak seperti kera masa kini. Setelah
mempelajari fosil-fosil ini selama 15 tahun dengan segala perlengkapan yang
diberikan pemerintah Inggris, Lord Zuckerman dan timnya yang beranggotakan 5
orang spesialis sampai pada kesimpulan bahwa Australopithecus hanya
spesies kera biasa dan pasti tidak bipedal. Zuckerman sendiri adalah seorang
evolusinis. Begitu pula Charles E. Oxnard, evolusionis yang terkenal dengan
penelitiannya pada subjek tersebut, menyamakan struktur kerangka
Australopithecus dengan milik orang utan modern. Akhirnya, pada tahun 1994,
sebuah tim dari Universitas Liverpool Inggris melakukan riset menyeluruh untuk
mencapai suatu kesimpulan yang pasti. Mereka berkesimpulan bahwa
"Australopithecus adalah kuadripedal". Singkatnya,
Australopithecus tidak memiliki kekerabatan dengan manusia dan mereka
hanyalah spesies kera yang telah punah.
Homo Habilis: Kera yang Dinyatakan sebagai
Manusia
Kemiripan struktur kerangka dan tengkorak
Australopithecus dengan simpanse, dan penolakan terhadap pernyataan bahwa
makhluk ini berjalan tegak telah sangat menyulitkan ahli paleontologi pro
evolusi. Karena, menurut skema evolusi rekaan mereka, Homo erectus muncul
setelah Australopihecus. Karena awalan kata "homo" berarti "manusia",
Homo erectus tergolong kelas manusia berkerangka tegak. Ukuran
tengkoraknya dua kali lebih besar dari Australopithecus. Peralihan
langsung dari Australopithecus, yakni seekor kera mirip simpanse, ke
Homo erectus yang berkerangka sama dengan manusia modern, adalah mustahil
bahkan menurut teori mereka sendiri. Jadi, diperlukan "mata rantai", yakni
"bentuk transisi". Dan, konsep Homo habilis muncul untuk memenuhi
kebutuhan ini.
Pengelompokan Homo habilis diajukan pada tahun 1960-an
oleh Keluarga Leakey, sebuah keluarga "pemburu fosil". Menurut Leakey, spesies
baru yang mereka kelompokkan sebagai Homo habilis memiliki kapasitas
tengkorak relatif besar, kemampuan berjalan tegak dan menggunakan peralatan dari
batu dan kayu. Karena itu, mungkin saja ia adalah nenek moyang manusia.
Fosil-fosil baru dari spesies yang sama ditemukan pada akhir
tahun 1980-an, dan mengubah total pandangan ini. Sejumlah peneliti seperti
Bernard Wood dan C. Loring Brace, berdasarkan fosil-fosil baru tersebut,
mangatakan bahwa Homo habilis, yang berarti "manusia yang mampu
menggunkan alat" seharusnya digolongkan sebagai Australopithecus habilis
yang berarti "kera Afrika Selatan yang mampu menggunakan alat", karena Homo
habilis memiliki banyak kesamaan ciri dengan kera australopithecus. Ia
memiliki lengan yang panjang, kaki yang pendek, dan struktur kerangka mirip kera
seperti Australopithecus. Jari tangan dan jari kakinya cocok untuk
memanjat. Struktur tulang rahangnya sangat mirip dengan rahang kera masa
sekarang. Rata-rata kapasitas tengkoraknya yang 600 cc juga mengindikasi fakta
bahwa Homo habilis adalah kera. Singkatnya, Homo habilis, yang
diklaim sebagai spesies berbeda oleh sejumlah evolusionis, ternyata merupakan
spesies kera seperti semua Australopithecus yang lain.
Penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun berikutnya
benar-benar menunjukkan bahwa Homo habilis tidak berbeda dengan
Australopithecus. Fosil tengkorak dan kerangka OH26 yang ditemukan Tim
White menunjukkan bahwa spesies ini memiliki kapasitas tengkorak kecil, lengan
panjang serta kaki pendek yang memungkinkannya memanjat pohon, tidak berbeda
dengan kera modern. Analisis terperinci yang dilakukan ahli antropologi Amerika,
Holly Smith, pada tahun 1994 menunjukkan bahwa Homo habilis bukan "homo",
atau "manusia", melainkan "kera".
Mengenai analisis yang dilakukannya terhadap gigi-gigi
Australopithecus, Homo habilis, Homo erectus, dan Homo
neandertalensis, Smith mengatakan, "Dengan membatasi analisis hanya pada
spesimen-spesimen yang memenuhi kriteria ini, pola perkembangan gigi
Australopithecus dan Homo habilis menunjukkan bahwa mereka
sekelompok dengan kera Afrika. Sedangkan Homo erectus dan Neandertal
diklasifikasikan dengan manusia."
Tahun itu juga, tiga spesialis anatoi, Fred Spoor, Bernard
Wood, dan Frans Zonneveld, menarik kesimpulan serupa melalui metode yang sama
sekali berbeda. Metode ini berdasarkan analisis perbandingan saluran setengah
lingkaran pada telinga bagian dalam milik manusia dan kera yang berfungsi
menjaga keseimbangan. Saluran ini berbeda jauh antara manusia yang berjalan
tegak, dengan kera yang berjalan membungkuk. Saluran telinga bagian dalam pada
semua Australopithecus serta spesimen Homo habilis yang diteliti
oleh Spoor, Wood, dan Zonneveld, sama seperti pada kera modern. Saluran telinga
bagian dalam pada Homo erectus sama dengan pada manusia modern. Temuan
ini membuahkan dua hasil penting:
- Fosil-fosil yang dikatakan sebagai Homo habilis sebenarnya tidak
termasuk kelas "homo" atau manusia, tetapi kelas Australopithecus atau
kera.
- Baik Homo habilis maupun Australopithecus adalah makhluk hidup
yang berjalan membungkuk, dan karenanya memiliki kerangka kera. Mereka tidak
memiliki hubungan apa pun dengan manusia.
Homo Rudolfensis: Susunan Wajah yang Salah
Homo rudolfensis adalah nama yang diberikan kepada
beberapa bagian fosil yang ditemukan pada tahun 1972. Kelompok yang diwakili
fosil ini juga dinamai Homo rudolfensis karena ditemukan di dekat Sungai
Rudolf di Kenya. Mayoritas ahli paleoantropologi menyetujui bahwa fosil-fosil
ini tidak berasal dari spesies yang berbeda, melainkan termasuk Homo
habilis.
Richard Leakey, penemu fosil tersebut, memperkenalkan tengkorak
yang dinamai "KNM-ER 1470" dan dinyatakan berusia 2,8 juta tahun itu sebagai
penemuan terbesar dalam sejarah antropologi dan berpengaruh luas. Menurut
Leakey, makhluk berukuran tengkorak kecil seperti Australopithecus namun
berwajah manusia tersebut adalah mata rantai yang hilang antara
Australopithecus dan manusia. Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian
diketahui bahwa wajah mirip manusia dari tengkorak KNM-ER 1470 yang sering
tampil pada sampul depan majalah-majalah ilmiah adalah hasil penggabungan
fragmen-fragmen tengkorak secara keliru--yang mungkin dilakukan dengan sengaja.
Prof. Tim Bromage, pengkaji anatomi wajah manusia, menjelaskan kenyataan yang
diungkapkannya dengan bantuan simulasi komputer ini pada tahun 1992, "Ketika
KNM-ER 1470 pertama kali direkonstruksi, wajahnya dilekatkan pada tengkorak
dalam posisi hampir vertikal, sangat menyerupai wajah datar manusia modern. Akan
tetapi, penelitian baru-baru ini mengenai hubungan-hubungan anatomis menunjukkan
bahwa pada masa hidupnya wajah itu seharusnya sangat menonjol, memunculkan aspek
mirip kera, agak mirip dengan wajah Australopithecus."
Mengenai kasus ini, seorang ahli paleoantropologi evolusionis,
J. E. Cronin, menyatakan, "... wajahnya yang dikonstruksi kelihatan kokoh,
naso-alveolar clivus yang agak datar (mengarah wajah cembung
Australopithecus), lebar maksimum tengkorak yang rendah (pada bagian
temporal), gigi taring yang kuat dan geraham yang besar (seperti yang
ditunjukkan oleh sisa akarnya), seluruhnya merupakan sifat-sifat yang relatif
primitif, yang menghubungkan spesimen tersebut dengan kelompok A.
africanus.
C. Loring Brace dari Universitas Michigan berkesimpulan sama
setelah ia menganalisis struktur rahang dan gigi tengkorak 1479. Menurutnya,
ukuran rahang dan bagian yang ditumbuhi gigi geraham menunjukkan bahwa ER 1470
memiliki wajah dan gigi Australopithecus.
Prof. Alan Walker, ahli paleoantropologi dari Universitas John
Hopkins telah melakukan banyak penelitian pada KNM-ER 1470 seperti halnya
Leakey, dan bersikeras bahwa makhluk hidup ini seharusnya tidak dikelompokkan
sebagai "homo" atau spesies manusia seperti Homo habilis atau Homo
rudolfensis, tetapi harus dimasukkan ke dalam spesies
Australopithecus. Jadi, pengelompokkan seperti Homo habilis atau
Homo rudolfensis yang dikatakan sebagai bentuk transisi antara
Australopithecus dengan Homo erectus sepenuhnya hanyalah rekaan.
Sebagaimana dikuatkan oleh banyak peneliti masa kini, makhluk-makhluk hidup ini
adalah anggota Australopithecus. Seluruh ciri anatolis memperlihatkan
bahwa mereka adalah spesies kera. Setelah makhluk-makhluk ini, yang ternyata
semuanya spesies kera, kemudian muncul fosil-fosil "homo" yang merupakan
fosil-fosil manusia.
Homo Erectus dan Setelahnya: Manusia
Menurut skema rekaan evolusionis, evolusi internal spesies homo
adalah sebagai berikut: pertama, Homo erectus, kemudian Homo
sapiens purba dan manusia Neandertal, lalu Manusia Cro-Magnon, dan terakhir
manusia modern. Akan tetapi, semua klasifikasi ini ternyata hanya ras-ras asli
manusia purba. Perbedaan di antara mereka tidak lebih dari perbedaan antara
orang inuit (Eskimo) dengan negro atau orang Pigmi dengan orang Eropa.
Mari kita terlebih dahulu mengakaji Homo erectus, yang
dikatakan sebagai spesies manusia paling primitif. Kata "erect" berarti "tegak",
maka Homo erectus berarti "manusia yang berjalan tegak". Evolusionis
harus memisahkan manusia-manusia ini dari yang sebelumnya dengan menambahkan
ciri "tegak", sebab semua fosil Homo erectus bertubuh tegak, tidak
seperti spesimen Australopithecus atau Homo habilis. Jadi, tidak
terdapat perbedaan antara kerangka manusia modern dan Homo erectus.
Alasan utama evolusionis mendefinisikan Homo erectus sebagai "primitif"
adalah ukuran tengkoraknya (900-1100 cc) yang lebih kecil dari rata-rata manusia
modern, dan tonjolan alisnya yang lebih tebal. Namun, banyak manusia yang hidup
di dunia sekarang memiliki volume tengkorak sama dengan Homo erectus
(misalnya suku Pigmi) dan ada beberapa ras yang memiliki alis menonjol (seperti
suku Aborogin Australia).
Sudah menjadi fakta yang disepakasti bersama bahwa perbedaan
ukuran tengkorak tidak selalu menunjukkan perbedaan kecerdasan atau kemampuan.
Kecerdasan bergantung pada organisasi internal otak, dan bukan pada
volumenya.
Fosil yang telah menjadikan Homo erectus terkenal di
dunia adalah fosil Manusia Peking dan Manusia Jawa yang ditemukan di Asia. Akan
tetapi, akhirnya diketahui bahwa dua fosil ini tidak bisa diandalkan. Manusia
Peking terdiri dari beberapa bagian yang terbuat dari plester untuk menggantikan
bagian asli yang hilang. Sedangkan Manusia Jawa "tersusun" dari fragmen-fragmen
tengkorak, ditambah dengan tulang panggul yang ditemukan beberapa meter darinya,
tanpa indikasi bahwa tulang-tulang tersebut berasal dari satu makhluk hidup yang
sama. Itu sebabnya fosil Homo erectus yang ditemukan di Afrika menjadi lebih
penting. (Perlu diketahui pula bahwa sejumlah fosil yang dikatakan sebagi Homo
erectus, oleh sebagian evolusionis dimasukkan ke dalam kelompok kedua yang
diberi nama Homo ergaster. Ada perbedaan pendapat di antara mereka
tentang masalah ini. Kita menganggap semua fosil ini termasuk kelompok Homo
erectus).
Spesimen Homo erectus paling terkenal dari Afrika adalah
fosil Narikotome Homo erectus atau "Anak Lelaki Turkana", yang ditemukan
dekat Danau Turkana, Kenya. Dipastikan bahwa fosil tersebut milik seorang anak
laki-laki berusia 12 tahun, yang mungkin akan mencapai tinggi dewasa 1,83 meter.
Struktur kerangka yang tegak dari fosil tidak berbeda dengan manusia modern.
Mengenai ini, seorang ahli paleoantropologi Amerika, alan Walker, meragukan
kemampuan ahli patologi kebanyakan untuk membedakan kerangka fosil tersebut
dengan kerangka manusia modern. Tentang tengkorak tersebut, Walker mengatakan,
"Tengkorak itu tampak sangat mirip dengan Neandertal." Seperti yang akan kita
temukan pada bab berikutnya, Neandertal adalah ras manusia modern. Jadi, Homo
erctus adalah ras manusia modern juga. Bahkan, evolusionis Richard Leakey
menyatakan bahwa perbedaan antara Homo erectus dan manusia modern tidak
lebih dari variasi ras: perbedaan bentuk tengkorak, tingkat tonjolan wajah,
kekokohan dahi, dan sebaginya akan terlihat. Perbedaan-perbedaan ini mungkin
seperti yang kita saksikan saat ini pada ras-ras manusia modern yang terpisah
secara geografis. Variasi biologis semacam ini muncul ketika populasi-populasi
saling terpisah secara geografis untuk kurun waktu yang lama.
Prof. William Laughlin dari Universitas Collection melakukan
pengujian anatomi menyeluruh terhadap orang-orang Inuit dan orang-orang yang
hidup di kepulauan Aleut. Ia mendapati mereka sangat mirip dengan Homo
erectus. Laughlin berkesimpulan bahwa semua ras ini ternyata ras-ras yang
bervariasi dari Homo sapiens (manusia modern).
Jika kita mempertimbangkan perbedaan besar antara
kelompok-kelompok yang berjauhan seperti Eskimo dan Bushman, yang diketahui
berasal dari satu spesies Homo sapiens, dapat disimpulkan bahwa
Sinanthropus (spesimen eerectus-ALC) termasuk dalam spesies yang
sama.
Di lain pihak, terdapat jurang pemisah yang lebar antara
Homo erectus, suatu ras manusia, dan kera yang mendahului Homo
erectus dalam skenario "evolusi manusia" (Australopithecus, Homo
habilis, Homo rudolfensis). Ini berarti bahwa manusia pertama muncul
secara tiba-tiba dalam catatan fosil dan tanpa sejarah evolusi apa pun. Hal ini
sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa mereka diciptakan.
Akan tetapi, pengakuan atas fakta ini akan sangat bertentangan
dengan filsafat dogmatis dan ideologi evolusionis. Karenanya, mereka mencoba
menggambarkan Homo erectus, ras manusia sesungguhnya, sebagai makhluk
separo kera. Pada rekostruksi Homo erectus, evolusionis berkeras
menggambarkan ciri-ciri kera. Sebaliknya, dengan metode penggambaran yang sama,
mereka memanusiakan kera seperti Australopithecus atau Homo
habilis. Dengan cara ini, mereka berupaya "mendekatkan" kera dan manusia,
dan menutup celah antara dua kelompok makhluk hidup yang berbeda ini.
Neandertal
Neandertal adalah manusia yang tiba-tiba muncul 100 ribu tahun
lalu di Eropa dan kemudian menghilang atau terasimilasi melalui pembauuran
dengan ras-ras lain secara diam-diam namun cepat, 35 ribu tahun lalu. Perbedaan
antara mereka dengan manusia modern hanyalah kerangka tubuh yang lebih kekar dan
kapasitas tengkorak mereka sedikit lebih besar.
Neandertal adalah ras manusia, dan kenyataan ini sekarang
diakui oleh hampir semua orang. Evolusionis telah berusaha keras menampilkan
mereka sebagai "spesies primitif", namun semua temuan menunjukkan bahwa
Neandertal tidak berbeda dengan orang berperawakan "kekar" yang lewat di jalan
saat ini. Seorang pakar dalam hal ini, Erik Trinkaus, ahli paleoantropologi dari
Universitas New Mexico menulis, "Perbandingan anatomis terperinci antara
sisa-sisa kerangka Neandertal dengan kerangka manusia modern tidak menunjukkan
dengan pasti bahwa kemampuan lokomotif, manipulatif, intelektual, atau bahasa
Neandertal lebih rendah dari manusia modern."
Banyak peneliti modern menggolongkan manusia Neandertal sebagai
suatu subspesies dari manusia modern dan menamakannya Homo sapiens
neandertslensisi. Temuan-temuan membuktikan bahwa Neandertal mengubur mayat
kerabat mereka, membuat alat musik, dan memiliki hubungan kebudayaan dengan
Homo sapiens yang hidup seperiode. Tegasnya, Neandertal adalah ras
manusia bertubuh "kekar" yang menghilang seiring perjalanan masa.
Homo Sapiens Kuno, Homo Heilderbergensis dan
Manusia Cro-Magnon
Dalam skema evolusi rekaan, Homo sapiens kuno adalah
tahapan terakhir sebelum manusia modern. Pada kenyataannya, evolusionis tidak
dapat berkata banyak tentang manusia ini karena hanya ada sedikit perbedaan
antara mereka dengan manusia modern. Sejumlah peneliti bahkan mengatakan bahwa
representasi ras ini masih hidup hingga sekarang, dan merujuk kepada orang
Aborigin di Australia sebagai contoh. Seperti Homo sapiens, orang
Aborigin juga memiliki alis tebal yang menonjol, struktur rahang miring ke dalam
dan kapasitas tengkorak sedikit lebih kecil. Di samping itu, sejumlah penemuan
penting mengisyaratkan bahwa manusia semacam itu pernah hidup di Hongaria dan di
beberapa desa di Italia hingga beberapa waktu lalu.
Kelompok yang disebut sebagai Homo heilderbergensis
dalam literatur evolusionis ternyata sama dengan Homo sapiens kuno. Dua
istilah berbeda ini digunakan unutk mendefinisikan ras manusia yang sama, karena
perbedaan konsep di kalangan evolusionis. Semua fosil yang termasuk dalam
golongan Homo heilderbergensis menunjukkan bahwa kelompok manusia yang
secara anatomis sangat mirip dengan orang Eropa modern telah hidup 500 ribu dan
bahkan 700 ribu tahun sebelumnya, pertama di Inggris dan kemudian Spanyol.
Diperkirakan manusia Cro-Magnon hidup 30.000 tahun lalu.
Manusia ini memiliki tengkorak berbentuk kubah dan dahi yang lebar. Kapasitas
tengkoraknya 1.600 cc, di atas rata-rata untuk manusia modern. Tengkoraknya
memiliki tonjolan alis yang tebal dan tonjolan tulang di bagian belakang yang
merupakan ciri manusia Neandertal dan Homo erectus.
Kendati Cro-Magnon dianggap suatu ras Eropa, struktur dan
voleme tengkoraknya tampak lebih mirip tengkorak ras-ras yang hidup di Afrika
dan daerah tropis saat ini. Berdasarkan ini, Cro-Magnon diperkirakan sebagai
suatu ras Afrika kuno. Sejumlah temuan paleoantropologi telah menunjukkan bahwa
ras Cro-Magnon dan Neandertal saling membaur, kemudian mengawali ras-ras dewasa
ini. Sekarang sudah diakui bahwa representasi dari ras Cro-Magnon masih hidup di
beberapa wilayah di benua Afrika, dan di daerah Salute dan Dordogne di Prancis.
Kelompok manusia berkarakteristik sama juga hidup di Polandia dan Hongaria.
Hidup Sezaman dengan Nenek Moyang
Kajian kita sejauh ini membentuk sebah gambaran jelas: skenario
"evolusi manusia" hanyalah fiksi. Agar silsilah seperti itu ada, evolusi
bertahap dari kera hingga menusia seharusnya sudah terjadi dan catatan fosil
dari proses ini seharusnya telah ditemukan. Akan tetapi, ada jarak pemisah
sangat lebar antara kera dan manusia. Struktur kerangka, kapasitas tempurung
kepala, dan kriteria lain, seperti berjalan tegak atau sangat membungkuk,
membedakan manusia dari kera. (Dari hasil riset tahun 1994 tentang saluran
keseimbangan pada telinga bagian tengah, Australopithecus dan Homo
habilis dikelompokkan sebagai kera, sedangkan Homo erectus
dikelompokkan sebagai manusia).
Satu lagi temuan penting yang membuktikan bahwa tidak mungkin
ada silsilah keluarga di antara spesies yang berbeda-beda ini adalah spesies
yang ditampilkan sebagai nenek moyang dan penerusnya ternyata hidup bersamaan.
Jika anggapan evolusionis benar bahwa Australopithecus berubah menjadi
Homo habilis dan kemudian berubah menjadi Homo erectus, maka
seharusnya mereka hidup pada era yang berurutan. Akan tetapi, tidak ada urutan
kronologis seperti itu.
Menurut perkiraan evolusionis, Australopithecus hidup
dari 4 juta tahun lalu, sedangkan makhluk hidup yang digolongkan Homo
habilis diduga hidup hingga 1,9 -- 1,7 juta tahun lalu. Homo
rudolfensis, yang dianggap lebih "maju" daripada Homo habilis,
diketahui berusia sekitar 2,8 -- 2,5 juta tahun! Dengan kata lain, Homo
rudolfensis hampir 1 juta tahun lebih tua dari Homo habilis, sang
"nenek moyang". Di lain pihak, periode Homo erectus adalah sekitar 1,8 --
1,6 juta tahun lalu. Artinya, spesies Homo erectus muncul di bumi pada
selang waktu sama dengan Homo habilis, yang disebut sebagai nenek
moyangnya.
Alan Walker memperkuat fakta ini dengan menyatakan, "Terdapat
bukti dari Afrika Timur tentang sejumlah kecil Australopithecus yang
bertahan hidup sezaman dengan H. habilis, lalu dengan H. erectus."
Louis Leakey pun telah menemukan fosil-fosil Australopithecus, Homo
habilis, dan Homo erectus yang berdekatan satu sama lain di wilayah
celah Olduvai, lapisan Bed II. Jadi, pastilah tidak ada silsilah kekerabatan
seperti itu. Ahli paleontologi dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould,
menjelaskan jalan buntu bagi evolusi ini meskipun ia sendiri seorang
evolusionis: "Apa jadinya dengan urutan yang kita susun, jika ada tiga keturunan
hominid hidup bersama (A. africanus, A. robustus, dan H.
habilis), dan tidak satu pun dari mereka menjadi keturunan dari yang lain?
Di samping itu, tidak satu pun dari ketiganya memperlihatkan kecenderungan
evolusi semasa mereka hidup di bumi.
Jika kita beralih dari Homo erectus ke Homo
sapiens, kita kembali melihat bahwa tidak ada silsilah untuk dibicarakan.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa Homo erectus dan Homo sapiens
kuno hidup hingga 27.000 tahun dan bahkan 10.000 tahun sebelum masa kita. Dalam
rawa Kow di Australia, tengkirak Homo erectus berusia sekitar 13.000
tahun telah ditemukan. Di pulau Jawa, sebuah tengkorak Homo erectus yang
ditemukan berumur sekitar 27.000 tahun.
Sejarah Rahasia Homo Sapiens
Fakta paling menarik dan penting yang menggugurkan landasan
utama silsilah imajiner teori evolusi ini adalah sejarah manusia modern, yang
ternyata cukup tua. Data paleoantropologi mengungkapkan bahwa orang-orang
Homo sapiens yang persis sama dengan kita telah hidup pada satu juta
tahun lalu.
Orang yang menemukan bukti pertama dalam hal ini adalah Louis
Leakey, seorang ahli paleoantropologi evolusionis. Pada tahun 1932, di daerah
Kanjera sekitar Danau Victoria di Kenya, Leakey menemukan beberapa fosil yang
berasal dari zaman Pleistosin Tengah. Fosil itu ternyata tidak berbeda dengan
manusia modern. Akan tetapi, zaman Pleistosin Tengah berarti satu juta tahun
lalu. Karena penemuan ini membalikkan silsilah keturunan evolusi, sejumlah ahli
paleoantropologi evolusionis tidak mau mengakuinya. Namun, Leakey selalu
bertahan bahwa perkiraannya benar.
Ketika kontroversi ini hampir terlupakan, sebuah fosil
ditemukan di Spanyol pada tahun 1995 dan dengan sangat gamblang menunjukkan
bahwa sejarah Homo sapiens ternyata jauh lebih tua dari yang
diperkirakan. Fosil tersebut ditemukan di sebuah gua bernama Gran Dolina di
wilayah Atapuerca dan Spanyol oleh tiga orang ahli paleoantropologi Spanyol dari
Universitas Madrid. Fosil tersebut adalah wajah anak laki-laki berusia 11 tahun
yang sepenuhnya tampak seperti manusia modern. Padahal, fosil tersebut telah
berusia 800.000 tahun sejak ia meninggal. Majalah Discover memuat rincian
kisah ini pada Desember 1997. Fosil tersebut bahkan menggoyahkan keyakinan
Ferreras, yang memimpin penggalian Gran Dolina. Ia berujar, "Kami mengaharapkan
sesuatu yang signifikan, sesuatu yang besar, sesuatu yang bombastis?, sesuatu
yang 'primitif'. Harapan kami terhadap seorang anak berusia 800.000 tahun adalah
sesuatu seperti Anak Lelaki Turkana. Dan apa yang kami temukan adalah wajah yang
sama sekali modern.... Bagi saya, hal ini sangat spektakuler? sesuatu yang
mengguncangkan. Menemukan sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan seperti
itu... Bukan tentang masalah menemukan fosil; menemukan fosil bisa juga
mengejutkan, dan tidak jadi masalah. Namun, hal yang paling spektakuler adalah
menemukan sesuatu yang Anda kira berasal dari zaman sekarang, di masa lampau.
Sama halnya dengan menemukan sesuatu seperti... seperti tape recorder di Gran
Dolina. Itu akan sangat mengejutkan. Kami tidak mengharapkan ada kaset dan tape
recorder pada zaman Pleistosin awal. Menemukan wajah modern begitu pula. Kami
sangat terkejut melihatnya."
Fosil tersebut menegaskan fakta bahwa sejarah Homo
sapiens harus ditarik ke belakang hingga 800 ribu tahun lalu. Setelah pulih
dari keterkejutannya, evolusionis yang menemukan fosil tersebut memutuskan bahwa
fosil ini berasal dari spesies yang berbeda, sebab menurut silsilah keturunan
evolusi, tidak ada Homo sapiens yang pernah hidup 800 ribu tahun lalu. Jadi,
mereka mengarang sebuah spesies baru bernama Homo antecessor dan
memasukkan tengkorak Atapuerca ke dalam kelompok ini.
Sebuah pondok temuan ynag menunjukkan bahwa usia Homo
sapiens bahkan lebih awal dari 800 ribu tahun. Satu di antaranya adalah
penemuan Louis Leakey di awal tahun 1970-an di celah Olduvai. Di tempat ini, di
lapisan Bed II, Leakey menemukan bahwa spesies Australopithecus, Homo
habilis dan Homo erectus hidup pada masa yang sama. Bahkan, yang
lebih menarik lagi adalah sebuah bangunan yang juga ditemukan Leakey pada
lapisan Bed II. Di sini, Leakey menemukan sisa-sisa pondok batu. Yang tidak
biasa dari peristiwa ini adalah bahwa kostruksi ini, yang masih digunakan di
sejumlah daerah di Afrika, hanya dapat dibangun oleh Homo sapiens! Jadi,
menurut temuan Leakey, Australopithecus, Homo habilis, Homo
erectus, dan manusia modern tentu hidup pada masa yang sama sekitar 1,7 juta
tahun lalu. Penemuan ini dengan pasti menggugurkan teori evolusi yang menyatakan
bahwa manusia modern berevolusi dari spesies mirip kera seperti
Australiopithecus.
Jejak Kaki Manusia Modern, Berusia 3,6 Juta Tahun!
Sejumlah penemuan lain menurut asal-usul manusia modern hingga
1,7 juta tahun lalu. Salah satu dari temuan penting ini adalah jejak-jejak kaki
yang ditemukan di Laetoli, Tanzania oleh Mary Leakey pada tahun 1977.
Jejak-jejak kaki ini ditemukan pada lapesan yang menurut perhitungan berusia 3,6
juta tahun. Yang lebih penting lagi, jejak-jejak kaki ini tidak berbeda dari
jejak kaki menusia modern.
Jejak-jejak kaki yang ditemukan Mary Leakey kemudian dipelajari
sejumlah ahli paleoantropologi seperti Don Johanson dan Tim White. Hasilnya
sama. White menulis: "Tidak disangsikan lagi? jejak-jejak itu serupa dengan
jejak kaki manusia modern. Jika jejak itu ditinggalkan di pasir Pantai
California sekarang, dan seorang anak berusia empat tahun ditanya tentangnya, ia
akan langsung menjawab bahwa seseorang telah berjalan di sana. Ia tidak akan
dapat membedakannya dengan seratus jejak kaki lain di pantai, begitu pula
anda."
Setelah meneliti jejak tersebut, Louis Robbins dari Universitas
North California berkomentar, "Lengkungannya agak tinggi--manusia yang lebih
kecil memiliki lengkungan lebih tinggi daripada yang saya miliki--dan jempol
kakinya besar dan sejajar dengan jari kaki sebelahnya.... Jari-jari kaki menekan
tanah seperti jari-jari kaki manusia. Anda tidak akan mendapati ini pada
hewan."
Pengujian-pengujian morfologis tetap menunjukkan bahwa
jejak-jejak kaki tersebut harus diakui berasal dari manusia, lebih jauh lagi,
manusia modern (Homo sapiens). Russel Tuttle yang mempelajari ini
menulis, "Jejak-jejak ini mungkin berasal dari seorang Homo sapiens kecil yang
bertelanjang kaki? Dari semua ciri morfologi yang teramati, kaki individu yang
membuat jejak tersebut tidak berbeda dengan kaki manusia modern."
Penelitian yang jujur tentang jejak-jejak kaki tersbut
mengungkapkan pemilik sebenarnya. Pada kenyataan, jejak-jejak kaki ini terdiri
dari 20 jejak dari seorang manusia modern berusia 10 tahun yang membatu dan 27
jejak kaki dari seorang yang lebih muda. Mereka benar-benar manusia modern
seperti kita.
Situasi ini menjadikan jejak kaki Laetolo sebagai topik diskusi
selama bertahun-tahun. Para pakar paleoantropologi evolusionis berupaya keras
memikirkan sebuah penjelasan karena sulit bagi mereka menerima kenyataan bahwa
manusia modern telah berjalan di muka bumi 3,6 juta tahun lalu. Pada tahun
1990-an "penjelasan" ini mulai terbentuk. Evolusionis memutuskan bahwa jejak
kaki ini tentunya ditinggalkan oleh Australopithecus, sebab menurut teori
mereka, mustahil spesies homo ada 3,6 juta tahun lalu. Dalam artikelnya pada
tahun 1990, Russell H. Tuttle menulis sebagai berikut, "Singkatnya, jejak kaki
berusia 3,5 juta tahun di situs G Laetoli menyerupai jejak manusia modern yang
biasa bertelanjang kaki. Tidak ada ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hominid
Laetolo memiliki kemampuan bipedal yang lebih rendah dari kita. Kalau saja jejak
pada situs G ini tidak diketahui setua itu, kami akan langsung menyimpulkan
bahwa jejak tersebut dibuat oleh anggota genus Homo.... Dalam hal ini, kita
harus mengesampingkan asumsi lemah bahwa jejak laetolo telah dibuat oleh jenis
Lucy, yaitu Australopithecus aferensis.
Dengan kata lain, jejak-jejak berumur 3,6 juta tahun ini tidak
mungkin milik Australopithecus. Satu-satunya alasan mengapa jejak-jejak
ini dianggap berasal darinya adalah karena jejak tersebut berada pada lapisan
vulkanik berumur 3,6 juta tahun. Jejak tersebut dianggap milik
Australopithecus dengan asumsi bahwa manusia tidak mungkin telah hidup
pada zaman seawal itu. Penafsiran jejak Laetoli menunjukkan kepada kita suatu
realita yang sangat penting. Evolusionis mendukung teorinya tidak dengan
mempertimbangkan temuan ilmiah, tetapi justru mengabaikannya. Di sini kita
mendapati sebuah teori yang dibela secara membabi buta, dan semua temuan yang
bertentangan dengan teori tersebut diabaikan atau diselewengkan demi tujuan
mereka. Singkatnya, teori evolusi bukan ilmu pengetahuan, tetapi dogma yang
dijaga agar tetap hidup dengan mengabaikan ilmu pengetahuan.
Kebuntuan Bipedalisme bagi Evolusi
Terlepas dari catatan fosil yang kita diskusikan, lebarnya
jarak perbedaan anatomis antara manusia dan kera juga menggugurkan cerita rekaan
evolusi manusia. Salah satu perbedaan ini berhubungan dengan cara berjalan.
Manusia berjalan tegak dengan kedua kakinya. Suatu cara bergerak yang sangat
unik dan tidak didapati pada spesies-spesies lain. Sebagian hewan memang
memiliki kemampuan terbatas untuk bergerak sembari berdiri dengan kedua kaki
belakangnya. Hewan seperti beruang dan monyet terkadang bergerak seperti ini
ketika hendak menggapai makanan, dan hanya selama beberapa saat. Normalnya,
kerangka mereka condong ke depan dan mereka berjalan dengan empat kaki.
Lalu kemudian, apakah bipedalisme merupakan hasil evolusi dari
cara berjalan monyet yang kuadripedal seperti yang diklaim evolusionis?
Tentu saja tidak. Penelitian telah menunjukkan bahwa evolusi
bipedalisme tidak pernah dan tidak mungkin terjadi. Pertama, cara berjalan
bipedal bukan suatu keuntungan. Cara monyet bergerak lebih mudah, lebih cepat
dan lebih efisien daripada cara berjalan bipedal manusia. Manusia tidak dapat
meloncat dari satu pohon ke pohon lain tanpa menyentuh tanah seperi simpanse,
atau berlari dengan kecepatan 125 km/jam seperti cheetah. Sebaliknya, karena
menusia berjalan dengan kedua kakinya, ia bergerak jauh lebih lambat di atas
tanah. Untuk alasan yang sama, manusia adalah salah satu spesies yang paling
tidak terlindung di alam, jika ditinjau dari gerakan dan pertahanan. Menurut
logika evolusi, monyet seharusnya tidak berevolusi mengambil cara berjalan
bipedal. Sebaliknya, manusialah yang seharusnya berevolusi menjadi
kuadripedal.
Kebutuhan lain dari klaim evolusi adalah bahwa cara berjalan
bipedal tidak sesuai dengan model "perkembangan bertahap" Darwinisme. Model ini,
yang menjadi dasar evolusi, mengharuskan adanya suatu cara berjalan "gabungan"
antara cara berjalan bipedal dan kuadripedal. Tetapi, penelitian komputer yang
dilakukan Robin Crompton, seorang ahli paleoantropologi Inggris pada tahun 1966
menunjukkan bahwa "gabungan" ini mustahil terjadi. Crmpton mencapai kesimpulan
berikut ini: "Makhluk hidup hanya dapat berjalan tegak, atau dengan keempat
kakinya. Cara berjalan setengah-setengah antara bipedal dan kuadripedal sangat
menguras energi. Itu sebabnya tidak mungkin ada makhluk setengah bipedal."
Jarak yang terlalu jauh antara manusia dan kera tidak hanya
meliputi bipedalisme. Masih banyak hal lain yang tidak dapat diterangkan seperti
kapasitas tengkorak, kemampuan berbicara, dan sebaginya. Elaine Morgan, seorang
ahli paleoatropologi evolusionis, mengakuinya: "Empat mistri yang paling
membingungkan tentang manusia adalah:
- Mengapa mereka berjalan dengan dua kaki?
- Mengapa mereka kehilangan seluruh bulu?
- Mengapa mereka mengembangkan otak yang besar?
- Mengapa mereka belajar berbicara?
Jawaban ortodoks untuk pertanyaan-pertanyaan ini adalah: (1)
kita belum tahu; (2) kita belum tahu; (3) kita belum tahu;(4) kita belum tahu.
Daftar pertanyaan bisa bertambah panjang tanpa mengubah kemonotonan jawaban.
Evolusi: Kepercayaan yang Tidak Ilmiah
Lord Solly Zuckerman adalah salah seorang peneliti terkemuka
dan terhormat di Inggris. Bertahun-tahun ia meneliti catatan fosil dan melakukan
banyak penyelidikan secara terperinci. Ia dianugerahi gelar kebangsawanan "Lord"
untuk kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Zuckerman adalah seorang evolusionis.
Jadi, komentarnya mengenai evolusi tidak dapat dianggap sebagai pernyataan untuk
menentang teori evolusi. Setelah bertahun-tahun meneliti fosil yang digunakan
dalam skenario evolusi manusia, ia berkesimpulan bahwa silsilah seperti itu
tidak ada.
Zuckerman juga menyusun sebuah "spektrum ilmu pengetahuan" yang
menarik. Ia membentuk spektrum ilmu pengetahuan dari yang dianggapnya ilmiah
hingga tidak ilmiah. Menurut spektrum Zuckerman, yang paling "ilmiah" tergantung
pada data konkret--adalah bidang kimia dan fisika. Setelah itu biologi, kemudian
diikuti ilmu-ilmu sosial. Pada ujung berlawanan, yang dianggap paling tidak
"ilmiah", terdapat "extra sensory perception (ESP)" konsep seperti telepati dan
indra keenam, dan terakhir adalah "evolusi manusia". Zuckerman menjelaskan
alasannya: "Kita kemudian bergerak dari kebenaran objektif langsung ke
bidang-bidang yang dianggap sebagai ilmu biologi, seperti extra sensory
perception atau interprestasi sejarah fosil manusia. Dalam bidang-bidang
ini, segala sesuatu mungkin terjadi bagi yang percaya, dan orang yang sangat
percaya kadang-kadang mampu meyakini sekaligus beberapa hal yang saling
kontradiktif.
Lalu, alasan apa yang membuat banyak ilmuwan berkeras
mempertahankan dogma ini? Mengapa mereka berusaha begitu keras mempertahankan
teori ini agar tetap hidup, walaupun harus mengalami berbagai konflik dan
membuang bukti-bukti yang mereka temukan sendiri?
Satu-satunya jawaban adalah ketakutan mereka akan fakta yang
harus mereka hadapi jika teori ini ditinggalkan. Fakta bahwa manusia diciptakan
oleh Allah. Akan tetapi, mengingat praduga dan filsafat materialistis mereka,
penciptaan adalah konsep yang tidak dapat diterima evolusionis.
Untuk alasan ini, mereka menipu diri sendiri serta semua orang
di dunia, melalui kerja sama dengan media massa. Jika mereka tidak dapat
menemukan fosil yang dibutuhkan, mereka akan "membuatnya" baik dalam bentuk
gambar rekaan atau model-model khayalan, dan mencoba memberikan kesan bahwa
fosil-fosil yang membuktikan teori evolusi benar-benar ada. Sebagian media massa
yang menganut pandangan materialistis juga mencoba menipu masyarakat dan
menanamkan kisah evolusi ke alam bawah sadar manusia. Sekeras apa pun mereka
mencoba, kebenaran tetap jelas: manusia muncul bukan melalui proses evolusi,
tetapi karena telah diciptakan Allah. Karena itu, manusia bertanggung jawab
kepada-Nya betapa pun ia tidak ingin menerima tanggung jawab ini.