SERANGAN FAJAR (judul sementara) Skenario dan sutradara: Arifin C. Noer TEMON menatap angkasa di atas pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta. Juga Soeharto dan anak buahnya -- puluhan pemuda bersenjata bedil memandang langit. Jauh di angkasa biru -- diiringi nyanyian Padamu Negeri - Komodor Udara Adi Soetjipto duduk di dalam cockpit Cureng. Pesawat tua bersayap ganda peninggalan Jepang itu kelak dijadikan awal kebangkitan Angkatan Udara RI. Dengan bantuan Cureng itulah, antara lain, pada suatu fajar markas Belanda di Semarang dan Salatiga digempur. Anak-anak muda Indonesia tersebut melempar bom dengan tangan, mencerai-beraikan musuh. Banyak kisah perjuangan semacam itu bisa ditemui dalam film Serangan Fajar, yang skenario dan penyutradaraannya dipegang Arifin C. Noer. Di studio Pusat Produksi Film Negara (PPFN), Jakarta, pekan lalu Arifin masih kelihatan sibuk menyeleksi ilustrasi musik (Embie C. Noer) yang akan diisikan ke dalam film tadi. Antonius Jacobus Serangan Fajar berusaha memaparkan kembali empat peristiwa patriotik, tahun 1945. Yaitu penyerangan ke markas Kidobutai (Jepang) di Kotabaru, perebutan pangkalan udara Maguwo, penyerbuan Gedung Agung di Yogya, dan serangan beruntun di fajar hari terhadap Semarang dan Salatiga. Temon (diperankan Dani Marsuni) adalah benang merah yang merangkai empat episode tersebut. Film ini, menurut Arifin, bukan cerita rekonstruksi sejarah, tapi merupakan kisah yang dilatar-belakangi sejarah. "Serangan Fajar adalah nyanyian di masa depan," katanya. Dengan sikap begitu Arifin menggarap filmnya tanpa terikat dengan setiap peristiwa secara kronologis. Dia memompa rasa kebangsaan -- atau patriotisme -- tidak secara bombastis. Kendati hanya nyanyian, dia tetap memerlukan fakta sejarah. Maka antara lain dia mewawancarai Presiden Soeharto, salah satu pelaku penyerbuan ke markas Kidobutai di Kotabaru. Kepada Presiden dibawakannya pula foto Antonius Jacobus (kini kelas I SMA di Jakarta), yang memerankan Soeharto ketika berusia 23 tahun. Dengan terbuka, demikian Arifin, Presiden Soeharto selama dua jam mengungkapkan rangkaian kejadian tersebut secara kronologis. Warna pakaian, sepatu, dan jam tangan yang dikenakan tak lupa disebutnya. "Saya menganggap Pak Harto merupakan sumber informasi yang paling jelas," katanya. Tapi Serangan Fajar bukan film yang menempatkan Soeharto secara berlebihan -- suatu hal yang konon tak disukai pelakunya sendiri. Film ini, selain ingin merangkum segala sisi pemeran sejarah, juga berusaha mementaskan peranan sejumlah rakyat, yang mungkin tak tercatat -- seperti keluarga Temon. Pendeknya, film ini berbeda dengan Janur Kuning -- juga film masa perjuangan yang lebih terpikat pada dar-der-dornya pertempuran. Arifin membuka filmnya dengan gambar berwarna Gunung Merapi, mengambil bentuk nyata Gunungan yang sering dipakai mengawali setiap lakon dalam wayang kulit. Seseorang, seperti suara suluk Ki Dalang, terdengar membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Dari sini cerita berpindah pada keluarga Romo (diperankan Amoroso Katamsi), yang mengepalai sebuah keluarga bangsawan, dalam gambar hitam punh. Romo yang revolusioner dalam pemikiran itu ternyata juga harus menghadapi revolusi di dalam rumahnya sendiri. Raden Ajeng Sitoresmi (Rani Satiti), putri Romo kedua, diam-diam mencintai Ragil (Santo), pembantu rumah tangganya. Tapi ibunya (Suwastinah) menganggap darah biru mereka tak boleh dicemari. Arifin mempertunjukkan bagaimana ibu itu dengan kejam mengusir Ragil. Darun (Ny. Jajang C. Noer), putri sulung, setelah melahirkan anak hasil hubungan gelap dengan seorang serdadu Belanda, minggat. Danur (Faqih Syahrir), anak lelaki Romo, ikut bergerilya. Sito akhirnya minggat juga ke front jadi perawat sesudah mengetahui Ragil gugur di Mranggen, Semarang. Menerima pukulan demikian hebat, ibu Sito jadi gila. Hanya Romo, yang merupakan lambang pikiran ketika itu, tabah dan siap meladeni pergeseran nilai. Sementara itu, Temon, yang tinggal bersama ibu (Nunuk Chaerul Umam), nenek (Suparmi) dan paklik (Oom) Ragil, hidup dalam suasana suram di sebuah rumah bilik berlantai tanah. Berulangkali Temon, anak desa yang kurus, bertanya pada paklik, nenek dan ibunya: Bilakah ayah kembali? Berulangkah mereka menjanjikan bahwa ayahnya secepatnya akan pulang. Dan hampir setiap pagi, Temon menyongsong kereta uap yang melintas tak jauh di pinggir desanya. Dengan nemelas ia memanggil-manggil "Pakee (ayah) . . Pake . . . " Tapi sang ayah, yang dikisahkan jadi Romusha, tak pernah kembali. Temon pada hakekatnya seorang saksi yang hadir dalam setiap peristiwa. Peranannya mirip dengan tokoh Oskar Matzerath, anak kecil yang menolak tumbuh pada usia tiga tahun, dalam film Die Blecbtrommel (Genderang Kaleng) karya sutradara Volker Schloendotff. Suatu hari, misalnya, Temon turut men aksikan perebutan Gedung Agung. Dan di hari lain, Temon melihat sejumlah pemuda bersenjatakan parang, bambu runcing dan bedil menyerang markas Kidobutai. Di sela-sela pertempuran, dia berhasil menemui komandan tentara Nippon dan bertanya tentang ayahnya. Sang komandan tentu bmgung. Dengan senjata rampasan dari Kidobutai itu, pasukan yang antara lain dipimpin Soeharto merebut Maguwo. Di situ Temon, yang rumahnya tak jauh dari Maguwo, diam-diam menyelinap dan bergaul dengan para pejuang. Sejumlah pemuda -- sesudah berhasil merampas senjata dari Jepang -- berdendang di atas truk mengelilingi benteng Vredenburg. Suwe ora madang (Lama tidak makan)/Madang sego pero (Makan nasi pera)/Suwe ora perang (Lama tidak perang)/Perang pisan kanggo merdiko (Perang sekali buat merdeka). Nyanyian khas semacam itu, dan sejumlah kultur warna Yogya muncul dengan kuat dalam film itu. Dan justru dengan gambar hitam putih, setiap adegan hampir mencapai efek dramatik maksimal. Hanya pada adegan, yang membayangkan citacita dan impian, gambarnya berwarna. Dengan rangkaian gambar hitam putih itu, Arifin berusaha menggugah patriotisme. Tapi dia menganggap sikap patriotik di filmnya berbeda dengan The Deer Hunter (karya sutradara Michael Cimino), yang memuja nasionalisme Amerika melampaui takaran di gelanggang Perang Vietnam. Pendekatannya dalam melihat perang juga tidak seperti sutradara Francis Coppola, yang menguliti secara hitam putih perang Vietnam dalam Apocalypse Now. "Serangan Fajar sekali lagi adalah nanyian penuh hormat buat para patriot dan pahlawan dengan kesederhanaan," ujar Arifin. Lewat film itu pula menurut Drs. Gufron Dwipayana, Direktur PPFN, pemerintah ingin memberikan pendidikan sejarah. Dengan masa putar 3 jam 8 menit film itu dikerjakan sejak Desember lalu dan diduga akan selesai September. Sudah menghabiskan uang Rp 460 juta ia diperkirakan meminta Rp 70 juta lagi Dana itu sebagian diambil dari anggaran Sekretariat Negara. "Dibanding dengal. tujuannya, film itu wajar bila menghabiskan biaya cukup besar," kata Dwipayana. Sekalipun demikian "film itu tidak akan kami komersialkan. Tapi tentu sala pengedarannya jangan sampai merugikan. " Freddy Herwanto
Sabtu, 18 Februari 2012
Serangan Fajar ( Sinopsis Film )
SERANGAN FAJAR (judul sementara) Skenario dan sutradara: Arifin C. Noer TEMON menatap angkasa di atas pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta. Juga Soeharto dan anak buahnya -- puluhan pemuda bersenjata bedil memandang langit. Jauh di angkasa biru -- diiringi nyanyian Padamu Negeri - Komodor Udara Adi Soetjipto duduk di dalam cockpit Cureng. Pesawat tua bersayap ganda peninggalan Jepang itu kelak dijadikan awal kebangkitan Angkatan Udara RI. Dengan bantuan Cureng itulah, antara lain, pada suatu fajar markas Belanda di Semarang dan Salatiga digempur. Anak-anak muda Indonesia tersebut melempar bom dengan tangan, mencerai-beraikan musuh. Banyak kisah perjuangan semacam itu bisa ditemui dalam film Serangan Fajar, yang skenario dan penyutradaraannya dipegang Arifin C. Noer. Di studio Pusat Produksi Film Negara (PPFN), Jakarta, pekan lalu Arifin masih kelihatan sibuk menyeleksi ilustrasi musik (Embie C. Noer) yang akan diisikan ke dalam film tadi. Antonius Jacobus Serangan Fajar berusaha memaparkan kembali empat peristiwa patriotik, tahun 1945. Yaitu penyerangan ke markas Kidobutai (Jepang) di Kotabaru, perebutan pangkalan udara Maguwo, penyerbuan Gedung Agung di Yogya, dan serangan beruntun di fajar hari terhadap Semarang dan Salatiga. Temon (diperankan Dani Marsuni) adalah benang merah yang merangkai empat episode tersebut. Film ini, menurut Arifin, bukan cerita rekonstruksi sejarah, tapi merupakan kisah yang dilatar-belakangi sejarah. "Serangan Fajar adalah nyanyian di masa depan," katanya. Dengan sikap begitu Arifin menggarap filmnya tanpa terikat dengan setiap peristiwa secara kronologis. Dia memompa rasa kebangsaan -- atau patriotisme -- tidak secara bombastis. Kendati hanya nyanyian, dia tetap memerlukan fakta sejarah. Maka antara lain dia mewawancarai Presiden Soeharto, salah satu pelaku penyerbuan ke markas Kidobutai di Kotabaru. Kepada Presiden dibawakannya pula foto Antonius Jacobus (kini kelas I SMA di Jakarta), yang memerankan Soeharto ketika berusia 23 tahun. Dengan terbuka, demikian Arifin, Presiden Soeharto selama dua jam mengungkapkan rangkaian kejadian tersebut secara kronologis. Warna pakaian, sepatu, dan jam tangan yang dikenakan tak lupa disebutnya. "Saya menganggap Pak Harto merupakan sumber informasi yang paling jelas," katanya. Tapi Serangan Fajar bukan film yang menempatkan Soeharto secara berlebihan -- suatu hal yang konon tak disukai pelakunya sendiri. Film ini, selain ingin merangkum segala sisi pemeran sejarah, juga berusaha mementaskan peranan sejumlah rakyat, yang mungkin tak tercatat -- seperti keluarga Temon. Pendeknya, film ini berbeda dengan Janur Kuning -- juga film masa perjuangan yang lebih terpikat pada dar-der-dornya pertempuran. Arifin membuka filmnya dengan gambar berwarna Gunung Merapi, mengambil bentuk nyata Gunungan yang sering dipakai mengawali setiap lakon dalam wayang kulit. Seseorang, seperti suara suluk Ki Dalang, terdengar membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Dari sini cerita berpindah pada keluarga Romo (diperankan Amoroso Katamsi), yang mengepalai sebuah keluarga bangsawan, dalam gambar hitam punh. Romo yang revolusioner dalam pemikiran itu ternyata juga harus menghadapi revolusi di dalam rumahnya sendiri. Raden Ajeng Sitoresmi (Rani Satiti), putri Romo kedua, diam-diam mencintai Ragil (Santo), pembantu rumah tangganya. Tapi ibunya (Suwastinah) menganggap darah biru mereka tak boleh dicemari. Arifin mempertunjukkan bagaimana ibu itu dengan kejam mengusir Ragil. Darun (Ny. Jajang C. Noer), putri sulung, setelah melahirkan anak hasil hubungan gelap dengan seorang serdadu Belanda, minggat. Danur (Faqih Syahrir), anak lelaki Romo, ikut bergerilya. Sito akhirnya minggat juga ke front jadi perawat sesudah mengetahui Ragil gugur di Mranggen, Semarang. Menerima pukulan demikian hebat, ibu Sito jadi gila. Hanya Romo, yang merupakan lambang pikiran ketika itu, tabah dan siap meladeni pergeseran nilai. Sementara itu, Temon, yang tinggal bersama ibu (Nunuk Chaerul Umam), nenek (Suparmi) dan paklik (Oom) Ragil, hidup dalam suasana suram di sebuah rumah bilik berlantai tanah. Berulangkali Temon, anak desa yang kurus, bertanya pada paklik, nenek dan ibunya: Bilakah ayah kembali? Berulangkah mereka menjanjikan bahwa ayahnya secepatnya akan pulang. Dan hampir setiap pagi, Temon menyongsong kereta uap yang melintas tak jauh di pinggir desanya. Dengan nemelas ia memanggil-manggil "Pakee (ayah) . . Pake . . . " Tapi sang ayah, yang dikisahkan jadi Romusha, tak pernah kembali. Temon pada hakekatnya seorang saksi yang hadir dalam setiap peristiwa. Peranannya mirip dengan tokoh Oskar Matzerath, anak kecil yang menolak tumbuh pada usia tiga tahun, dalam film Die Blecbtrommel (Genderang Kaleng) karya sutradara Volker Schloendotff. Suatu hari, misalnya, Temon turut men aksikan perebutan Gedung Agung. Dan di hari lain, Temon melihat sejumlah pemuda bersenjatakan parang, bambu runcing dan bedil menyerang markas Kidobutai. Di sela-sela pertempuran, dia berhasil menemui komandan tentara Nippon dan bertanya tentang ayahnya. Sang komandan tentu bmgung. Dengan senjata rampasan dari Kidobutai itu, pasukan yang antara lain dipimpin Soeharto merebut Maguwo. Di situ Temon, yang rumahnya tak jauh dari Maguwo, diam-diam menyelinap dan bergaul dengan para pejuang. Sejumlah pemuda -- sesudah berhasil merampas senjata dari Jepang -- berdendang di atas truk mengelilingi benteng Vredenburg. Suwe ora madang (Lama tidak makan)/Madang sego pero (Makan nasi pera)/Suwe ora perang (Lama tidak perang)/Perang pisan kanggo merdiko (Perang sekali buat merdeka). Nyanyian khas semacam itu, dan sejumlah kultur warna Yogya muncul dengan kuat dalam film itu. Dan justru dengan gambar hitam putih, setiap adegan hampir mencapai efek dramatik maksimal. Hanya pada adegan, yang membayangkan citacita dan impian, gambarnya berwarna. Dengan rangkaian gambar hitam putih itu, Arifin berusaha menggugah patriotisme. Tapi dia menganggap sikap patriotik di filmnya berbeda dengan The Deer Hunter (karya sutradara Michael Cimino), yang memuja nasionalisme Amerika melampaui takaran di gelanggang Perang Vietnam. Pendekatannya dalam melihat perang juga tidak seperti sutradara Francis Coppola, yang menguliti secara hitam putih perang Vietnam dalam Apocalypse Now. "Serangan Fajar sekali lagi adalah nanyian penuh hormat buat para patriot dan pahlawan dengan kesederhanaan," ujar Arifin. Lewat film itu pula menurut Drs. Gufron Dwipayana, Direktur PPFN, pemerintah ingin memberikan pendidikan sejarah. Dengan masa putar 3 jam 8 menit film itu dikerjakan sejak Desember lalu dan diduga akan selesai September. Sudah menghabiskan uang Rp 460 juta ia diperkirakan meminta Rp 70 juta lagi Dana itu sebagian diambil dari anggaran Sekretariat Negara. "Dibanding dengal. tujuannya, film itu wajar bila menghabiskan biaya cukup besar," kata Dwipayana. Sekalipun demikian "film itu tidak akan kami komersialkan. Tapi tentu sala pengedarannya jangan sampai merugikan. " Freddy Herwanto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar