"(Ihsan adalah) hendaknya engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika Engkau tidak melihatnya, sesungguhnya
Dia melihat-Mu." (HR Bukhari).
Sahabat agung, sebaik-baik penafsir
Alquran, Abdullah bin Abbas r.a., bercerita kepada para muridnya. "Ada seorang
laki-laki pada zaman sebelum kalian, dia beribadah kepada Allah selama 80 tahun,
kemudian dia terpeleset kepada suatu dosa, lalu dia pun takut atas dirinya
karena dosa tersebut. Kemudian dia mendatangi hutan dan berkata: 'Wahai hutan
yang banyak bebatuannya, yang lebat pepohonannya, yang banyak hewan-hewannya,
adakah engkau memiliki tempat bersembunyi bagiku dari Rabku?' Dengan ijin Allah
hutan menjawab: 'Wahai manusia, demi Allah, tiada satu pun rumput maupun pohon
dalam wilayahku, melainkan ada seorang malaikat yang diutus di sana, maka
bagaimana aku hendak menyembunyikanmu dari Allah?' Laki-laki itu pun mendatangi
laut dan berkata: 'Wahai laut yang melimpah airnya, yang banyak ikan-ikannya,
adakah engkau memiliki tempat untuk menyembunyikan diriku dari Rabku?' Maka laut
pun menjawab: 'Wahai manusia, demi Allah tiada satu butir pasir pun atau
binatang air pun kecuali disertai malaikat yang diutus, maka bagaimana aku
hendak menyembunyikan dirimu dari Allah?' Laki-laki itu pun mendatangi gunung
dan berkata: 'Wahai gunung yang tinggi menjulang langit, yang banyak gua-guanya,
adakah engkau memiliki tempat untuk menyembunyikan diriku dari Rabku Tabaraka wa
Taala?' Gunung menjawab: 'Demi Allah, tiada satu batu atau gua pun yang ada di
wiliayahku kecuali ada malaikat yang diutus, bagaimana mungkin aku
menyembunyikanmu'?" (Haa Kadza Tahaddatsa as-Salaf, 40).
Perisai Dosa
Isu tentang perselingkuhan berjejal begitu banyaknya. Para pelakunya
merasa enjoy sepanjang tidak ketahuan istri atau suaminya. Korupsi dan kolusi
merajalela di setiap lini dan tempat kerja, koruptor pun santai saja selagi
petugas audit tidak mencium bau busuknya. Jumlah uang yang dilalap tak kepalang
tanggung banyaknya. ICW menyebutkan, angka korupsi di tingkat DPRD masing-masing
bernilai milyaran, tidak ada yang 'hanya jutaan'. Kumpul kebo dan perzinaan
terjadi di mana-mana, terus menjadi rutinitas, selagi keluarga, orang tua, dan
masyarakat tidak mendeteksi tindakan kotornya. Padahal, bisa saja mereka
bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak akan mampu bersembunyi dari Allah.
"Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari
Allah, padahal Allah beserta mereka." (An-Nisaa’: 108).
Maksiat terjadi
karena adanya kemauan atau terbukanya peluang melakukannya. Namun, keduanya
dapat dicegah secara sekaligus dengan muraqabatullah, merasa diawasi oleh Allah.
Mengapa demikian? Karena, muraqabatullah menjadikan seseorang sadar bahwa setiap
gerak-gerik dan kerlingan matanya selalu diawasi oleh Zat yang akan memberikan
sangsi kepadanya ketika berdosa. Tak ada tempat dan kesempatan yang memungkinkan
baginya berbuat dosa tanpa sepengetahuan-Nya. Otomatis kendurlah kemauannya
untuk berbuat dosa, meskipun tidak ada orang lain bersamanya, sebab Allah
mengawasinya.
Tidak akan terlintas di benak pencuri untuk mengganyang
mobil patroli yang diparkir di depan kantor polisi. Karena, ia sadar bahwa
aksinya akan dengan mudah diketahui dan jeruji besi siap menantinya. Jika
demikian, sudah selayaknya hamba yang cerdas tidak coba-coba menjamah wilayah
dosa yang dilarang sang Pencipta. Karena, Allah takkan sedikit pun terlena dalam
mengawasinya, sedangkan hukuman-Nya tidak hanya berupa jeruji besi, tetapi siksa
yang tiada tara beratnya. Maka, merasakan pengawasan Allah adalah perisai utama
yang menghalangi seseorang untuk berbuat dosa.
Tidak Ada Tempat untuk
Bersembunyi Muraqabah juga menumbuhkan rasa malu untuk berbuat dosa
kepada Allah. Manusia yang bermuraqabah menyadari bahwa Allah yang memberikan
segala nikmat kepadanya, juga memantau setiap gerak-geriknya. Tidak ada tempat
bersembunyi dari-Nya agar dia bebas berbuat dosa. Malaikat yang menjaga di
setiap bumi yang dia pijak akan menjadi saksi atas segala yang dilakukannya.
Maka, bagaimana dia akan durhaka kepada-Nya di hadapan pengawasan-Nya. Yang dia
lakukan bahkan sebaliknya, dia ingin agar Zat yang memberikan nikmat kepadanya
melihat dirinya selalu dalam ketaatan kepada-Nya, sehingga Dia akan merasa rida.
Untuk itulah Ibnu Atha’ berkata: "Sebaik-baik ketaatan adalah muraqabatullah,
merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu."
Kesempurnaan muraqabatullah
diraih manakala seseorang juga menyadari bahwa setiap gerak, napas dan detik
perbuatannya direkam dalam catatan malaikat. Kelak catatan itu akan
diperlihatkan kepadanya. Terbuktilah bahwa tidak ada yang terlewat dari
perbuatannya, semua tercatat detail di dalamnya. Tidakkah kita malu jika catatan
perbuatan kita dibuka pada hari Kiamat, sementara di sana terdapat rekaman dosa
yang kita kerjakan pada saat bersembunyi?
Ketika Ramai dan Sendirian
Muraqabatullah berdampak sangat baik terhadap amal seorang hamba. Ia
membuat orang tidak hanya semangat berbuat baik pada saat rame, namun loyo pada
saat sendiri, atau jauh dari maksiat pada saat rame, namun akrab pada saat
sendiri. Sebab, dalam hati seseorang telah tumbuh kesadaran bahwa Zat yang
mengawasinya selalu memantau dirinya pada saat ia berada di tengah banyak orang
maupun sendirian: "Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang
mereka sembunyikan dan segala yang mereka lakukan dengan terang-terangan?"
(Al-Baqarah: 77).
Dia juga sadar bahwa malaikat yang mencatatnya tidak
akan pernah pula bosan untuk menyertai dan mencatat perbuatannya: "(Yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri." (Qaaf: 17). Catatan yang terdapat
dalam kitab itu pun detail, tidak ada sedikit pun yang tercecer, hingga
orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan
mereka akan berkata: "Aduhai, celaka kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat
semuanya." (Al-Kahfi: 49).
Muraqabatullah menyebabkan seseorang beramal
ketika sendirian sama bagusnya dengan apa yang dia lakukan ketika bersama banyak
orang. Alangkah bagusnya seorang muslim tatkala menyendiri, lalu dia merasakan
bahwa malaikat tidak akan berpisah darinya, diutus untuk menulis kebaikannya.
Maka, dia berkata kepada malaikat, "Tulislah (kebaikanku wahai malaikat), semoga
Allah merahmati Anda," sehingga dia memenuhi lembaran kitabnya dengan kebaikan
dan apa-apa yang bisa memperberat timbangannya. "Pada hari ketika tiap-tiap diri
mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang
telah dikerjakannya, ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa
yang jauh." (Ali Imran: 30).
Untuk itu, para salaf tidak membedakan amal
antara yang dahir dan yang batin. Amalan tersembunyi mereka tidak menyelisihi
apa yang mereka kerjakan secara terang-terangan, seperti Hasan al-Bashri yang
disifatkan seorang tetangga sekaligus muridnya ‘amalan beliau pada saat sendiri
sama dengan amal beliau ketika di tengah orang banyak.’ Sebagian ada yang
taqarrub mereka kepada Allah tatkala sendirian lebih banyak porsinya dari pada
ketika terang-terangan karena khawatir timbul riya dan sum’ah. Seperti Ali bin
Husain bin Ali, setiap kali kegelapan telah merayap, beliau mengusung sekarung
gandum di punggungnya untuk diberikan kepada fakir miskin di Madinah, beliau
mengetuk pintu, meletakkan gandum tersebut lalu pergi tanpa diketahui oleh orang
yang beruntung mendapatkan bantuannya.
Yang Berdosa Sambil Tertawa
Sebagian orang yang hatinya sakit, bahkan mati, mengira bahwa Allah
tidak melihat mereka tatkala bermaksiat atau lengah dari apa yang mereka
kerjakan, sehingga mereka berdosa dengan tertawa. Apalagi jika hukuman atas
dosanya tidak segera nampak di depan mata. Para pezina yang ‘aman’ dari penyakit
kelamin, para pembunuh kaum muslimin, para penjahat dan pendosa, jangan disangka
Allah membiarkan mereka. Allah tidak membiarkan para pendurhaka pendahulu mereka
seperti kaum Luth, kaum Tsamud, kaum ‘Ad, maupun Fir’aun. "Karena itu, Rabmu
menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Rabmu benar-benar mengawasi."
(Al-Fajr: 14).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar