Selamat Datang Di Kampus Ceria.. MADRASAH IBTIDAIYAH MUHAMMADIYAH KAYUTREJO " Mandiri Santun Cerdas " (Mimka MSc) Status Terakreditasi ~ Terimalah Salam Kami Asalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarokaatuh, Mimka Selalu ada yang baru. "Silaturrohmi Alumni, Menjalin Ukhuwah Dunia Akhirat; Mempersiapkan Siswa - Siswi Madrasah yang Mandiri, Santun dan Cerdas

Jumat, 26 Desember 2014

Ciri-ciri Pembelajaran Tematik (Kurikulum 2013)

Pembelajaran Tematik  Kurikulum 2013 memiliki nilai efisiensi antara lain dalam segi waktu, beban materi, metode, penggunaan sumber belajar yang otentik sehingga dapat mencapai ketuntasan kompetensi secara tepat.
Ciri-ciri Pembelajaran Tematik
Pembelajaran Tematik  Kurikulum 2013memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagaimana diungkapkan dalam www. pppg tertulis.or.id. sebagai berikut 1) berpusat pada siswa, 2) Memberikan pengalaman langsung kepada siswa, 3)  Pemisahan mata  pelajaran tidak begitu jelas, 4) Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran., 5) Bersifat fleksibel, 6) Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat, dan kebutuhan siswa. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang karakteristik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Berpusat pada siswa
Proses pembelajaran yang dilakukan harus menempatkan siswa sebagai pusat aktivitas dan harus mampu memperkaya pengalaman belajar. Pengalaman belajar tersebut dituangkan dalam kegiatan belajar yang menggali dan mengembangkan fenomena alam di sekitar siswa.


      2. Memberikan pengalaman langsung kepada siswa
Agar pembelajaran lebih bermakna maka siswa perlu belajar secara langsung dan mengalami sendiri. Atas dasar ini maka guru perlu menciptakan kondisi yang kondusif dan memfasilitasi tumbuhnya pengalaman yang bermakna.

     3. Pemisahan mata  pelajaran tidak begitu jelas
Mengingat  tema dikaji dari berbagai mata pelajaran dan saling keterkaitan maka  batas mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas.

    4.  Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran

    5.  Bersifat fleksibel
Pelaksanaan Pembelajaran Tematik  Kurikulum 2013tidak  terjadwal secara ketat antar mata pelajaran.

     6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat, dan kebutuhan siswa.

Sehubungan dengan hal tersebut diungkapkan pula dalam www p3gmatyo.go.id/download/SD/MI karakteristik pembelajaran terpadu/tematik sebagai berikut: 1) pembelajaran berpusat pada anak, 2) menekankan pembentukan pemahaman dan kebermaknaan, 3) belajar melalui pengalaman langsung, 4) lebih memperhatikan proses daripada hasil semata, 5) sarat dengan muatan keterkaitan.

Peran dan Pemilihan Tema dalam Pembelajaran Tematik

Tema dalam Pembelajaran Tematik  Kurikulum 2013memiliki peran antara lain:
  1. Siswa lebih mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu.
  2. Siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama.
  3. Pemahaman terhadap  materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan
  4. Kompetensi berbahasa bisa dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dan pengalaman pribadi siswa.
  5. Siswa lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas.
  6. Siswa lebih bergairah belajar karena mereka bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata.
  7. Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam 2 atau 3 kali.

Kamis, 04 Desember 2014

Pengajuan NUPTK Baru Bagi PTK Yang Memiliki PegID di Padamu


Bagi PTK yang telah terdaftar aktif di situs PADAMU NEGERI dan masih belum mempunyai NUPTK maka PTK tersebut akan di berikan nomor PegID yang nantinya apabila PTK tesebut telah memenuhi syarat makan akan diterbitkan S06a (surat pengajuan NUPTK baru). S06a tersebut bisa di cetak melalui Login PTK masing dengan mengakses Padamu PTK dan memulai mncetak S06a dengan mengklik NUPTK Baru.
Seperti yang kita ketahui, kita tidak bisa mengetahu secara pasti kapan PTK dengan PegID akan dinyatakan memenuhi syarat dan diterbitkannya S06a (surat pengajuan NUPTK baru). Untuk itu bagi PTK dengan PegID dihimbau untuk selalu memperbarui keaktifan PTK di PADAMU sesuai dengan jadwal yang di tentukan, untuk saat ini setiap PTK diwajibkan untuk mengaktifkan data PTK untuk periode semester 1 Tahun Ajaran 2014/2015 dan mencetak Kartu PTK sebagai tanda bukti keaktifan PTK.
Bagi PTK yang telah memenuhi syarat dan bisa mencetak Surat Pengajuan NUPTK baru (S06a) berdasarkan surat edaran yang dikeluarkan oleh Kepala BPSDMPK-PMP, PTK yang memenuhi syarat diwajibkan untuk melampiri persyaratan lain sesuai isi surat edaran tersebut saat mengajukan S06a ke Admin Dinas Kota/Kab. setempat.
Berikut saya sampaikan Prosedur Pengajuan NUPTK Baru:
1. PTK yang telah memenuhi syarat Pengajuan NUPTK Baru diwajibkan mencetak Surat Pengajuan NUPTK Baru di PADAMU denga: Login PTK masing-masing, masuk ke layanan Padamu PTK dan klik NUPTK Baru untuk mencetak S06a.
2. PTK yang sudah mencetak S06a, kemudian disetorkan ke Admin Dinas Kota/Kab. beserta persyartan lainyang dibutukan.
3. Admin Dinas Kota/Kab. malalui Padamu Dinas melakukan persetujuan Pengajuan NUPTK Baru, mengecek data PTK serta melakukan kroscek terhadap kelengkapan berkas yang di ajukan PTK.
4. Kemudian Admin Dinas mencetak S09 untuk diserahkan kepada PTK yang mengajukan sebagai tanda bukti persetujuan pengajuan NUPTK dan mencetak S10a (surat pengantar ajuan NUPTK baru) yang oleh Admin Dinas diserahkan kepada LPMP setempat.
5. Kemudian Admin LPMP Propinsi melakukan entri penerimaan berkas pengajuan NUPTK baru hingga proses paling akhir yaitu mencetak S11 (surat tanda bukti penerbitan NUPTK baru).
Jika PTK sudah mempunyai S11, yang tadinya PTK tersebut memiliki PegID maka saat ini PegID tersebut sudah berubah menjadi NUPTK. Lakukan cek NUPTK di PADAMU NEGERI untuk memastikan NUPTK baru anda,.

Selasa, 25 November 2014

Cara Menambah Admin/Operator Sekolah Padamu Negeri

Pada tahun 2014 tepatnya bulan april Padamu Negeri memberlakukan  kebijakan  bahwa  seluruh  pengguna  bukan  institusi  diharuskan  menggunakan  email  untuk  mempermudah  akunnya  dalam
menggunakan/operasional layanan SIAP Online termasuk PADAMU Negeri. Jika nanti mengalami
kehilangan password dapat dilakukan reset password melalui email dan juga informasi dari Telkom
SIAP Online terkait layanan PADAMU Negeri juga bisa dikirimkan  ke email pengguna tersebut.
Oleh karena itu  akun institusi sekolah yang berupa angka NPSN/SIAP ID hanya bisa digunakan untuk  mengelola akun  yang ada dibawah naungan sekolah tersebut, yaitu akun Admin Sekolah, PTK dan  Siswa. Dengan tampilan login sekolah baca padamu negeri tampilan berbeda ini merupakan solusi terbaik adalah penambahan admin baru pada login sekolah
Untuk menambahkan akun admin sekolah silakan ikuti langkah berikut:

1.  Login dengan menggunakan akun institusi Sekolah anda
ke http://padamu.siap.web.id pilih Login
2.  Setelah login, maka anda akan ditampilkan halaman seperti dibawah ini. Lakukan klik KelolaAkun Institusi
3.  Pilih menu Kelola Grup Akun > Daftar Anggota Grup Admin
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
4. Klik icon Tambah (+)
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
5. Masukkan email pribadi Admin Sekolah, kemudian klik tombol Cek Email. Pastikan email
sudah terdaftar di layanan SIAP Komunitas, jika belum terdaftar silakan didaftarkan terlebih
dahulu kehttp://siapku.com  ( https://paspor.siap-online.com/registrasi/ )
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
6. Jika email sudah benar dan terdaftar di SIAP Komunitas maka akan dimunculkan biodata
dari pemilik akun tersebut, klik tombol Simpan.
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
7.  Cetak Surat Akun dan lakukan aktivasi sesuai perintah yang tertera pada Surat Akun
tersebut..ingat kita akan perlukan kode aktifasi yang tercetak.
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
8.  Lakukan LOGOUT dari login anda yang menggunakan Akun Institusi Sekolah (SIAP ID
Sekolah) Kunjungi http://padamu.siap.web.id pilih Login Sekolah dan lakukan login dengan
menggunakan email pribadi Admin Sekolah yang telah anda tambahkan tadi. Akan
dimunculkan Dasbor Layanan, pilih PADAMU SEKOLAH
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
9. Masukkan Kode Aktivasi yang terdapat pada Surat Akun S01c, kemudian klik tombol Aktivasi
Cara Tambah Admin Sekolah Padamu Negeri
OK selesai dong

Senin, 03 November 2014

Teks Lagu Indonesia Raya

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Share lyrics on Facebook

Selasa, 07 Oktober 2014

Candi Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman


Ada pembahasan yang cukup menarik dan sekaligus sangat menggelitik pikiranku, yaitu seperti yang pernah saya baca mengenai sebuah kajian tentang “INDONESIA NEGERI SABA” yang disampaikan oleh KH. Fahmi Basya, Beliau menggambarkan begitu detil sekali berawal dari pembahasaan Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 18 sebagai berikut:
وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آمِنِينَ
Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah padanya beberapa malam dan siang dengan aman.
[QS. Saba'/34: 18]
Ya sebelum membahas Negeri Saba’, silahkan baca terlebih dahulu: Fakta Ilmiah: Benua Atlantis Yang Hilang Itu Ternyata Indonesia, karena nanti kita akan menemukan benang merahnya.!
Indonesia Negeri Saba’
Ternyata berdasarkan hasil riset Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan yang dipimpin oleh KH. Fahmi Basya, dosen Matematika Islam UIN Syarif Hidayatullah, bahwa sebenarnya “CANDI BOROBUDUR” adalah bangunan yang dibangun oleh “TENTARA NABI SULAIMAN” termasuk didalamnya dari kalangan bangsa Jin dan Setan yang disebut dalam Alqur’an sebagai “ARSY RATU SABA”, sejatinya PRINCES OF SABA atau “RATU BALQIS” adalah “RATU BOKO” yang sangat terkenal dikalangan masyarakat Jawa, sementara patung-patung di Candi Borobudur yang selama ini dikenal sebagai patung Budha, sejatinya adalah patung model bidadara dalam sorga yang menjadikan Nabi Sulaiman sebagai model dan berambut keriting. Dalam literatur Bani Israel dan Barat, bangsa Yahudi dikenal sebagai bangsa tukang dan berambut keriting, tetapi faktanya justru Suku Jawa yang menjadi bangsa tukang dan berambut keriting ( perhatikan patung Nabi Sulaiman di Candi Borobudur ).
Hasil riset tersebut juga menyimpulkan bahwa “SUKU JAWA” disebut juga sebagai “BANI LUKMAN” karena menurut karakternya suku tersebut sesuai dengan ajaran-ajaran LUKMANUL HAKIM sebagaimana tertera dalam Alqur’an. Perlu diketahui bahwa satu-satunya nabi yang termaktub dalam Alqur’an, yang menggunakan nama depan SU hanya Nabi Sulaiman As dan negeri yang beliau wariskan ternyata secara kebetulan diperintah oleh keturunannya yang juga bernama depan SU yaitu Sukarno, Suharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta meninggalkan negeri bernama SLEMAN di Yogyakarta – Jawa Tengah. Nabi Sulaiman As mewarisi kerajaan dari Nabi Daud As yang dikatakan didalam Alqur’an dijadikan Khalifah di Bumi ( menjadi Penguasa Dunia dengan Benua Atlantis sebagai Pusat Peradabannya), Nabi Daud juga dikatakan raja yang mampu menaklukkan besi (membuat senjata dan gamelan dengan tangan, beliau juga bersuara merdu) dan juga menaklukkan gunung hingga dikenal sebagai Raja Gunung. Di Nusantara ini yang dikenal sebagai Raja Gunung adalah “SYAILENDRA” , menurut Dr. Daoed Yoesoef nama Syailendra berasal dari kata saila dan indra, saila = gunung dan indra = raja.
Jadi sebenarnya Bani Israel yang sekarang menjajah Palestina bukan keturunan Israel asli yang hanya terdiri 12 suku, tapi mereka menamakan diri suku ke 13 yaitu Suku Khazar (yang asalnya dari Asia Tengah) hasil perkawinan campur Bani Israel yang mengalami diaspora dengan penduduk lokal, posisi suku Khazar ini mayoritas di seluruh dunia. Sedang Yahudi asli Telah menghilang yang dikenal sebagai suku-suku yang hilang “The Lost Tribes” yang mana mereka pergi ke timur dan banyak yang menuju ke “THE PROMISED LAND” yaitu Indonesia.
Dan kalau kita merunut lagi kembali seperti apa yang telah disampaikan oleh KH. Fahmi Basya tentang Candi Borobudur, maka akan semakin tampak jelas bahwa ketika beliau menjelaskan tentang Negeri Saba’ disitu dikatakan bahwa sebuah pemerintahan yang sangat kuat karena dipimpin oleh Nabi Sulaiman As dan Ratu Balqis dari hasil riset dengan di dukung oleh data-data yang ada, maka terbukti bahwa NEGERI SABA’ itu adalah INDONESIA dengan pusat pemerintahan di Jawa dan ARSY SABA’ yang dipindahkan atas perintah Nabi Sulaiman As adalah Candi Borobudur yang dipindahkan dari Istana Ratu BOKO, dan NEGERI SABA’ inilah yang kemudian dikatakan oleh KH Fahmi Basya ada kemiripan antara Cerita dengan BENUA ATLANTIS yang hilang itu. Dan sungguh luar biasa kalau fakta itu benar, berarti Negeri ini telah mewarisi peradaban besar bangsa-bangsa.
Kembali ke pembahasan tentang NEGERI SABA’ ada 15 (lima belas) point penting yang menjadi bukti berdasarkan Al-Qur’an bahwa SABA’ itu ada di pulau Jawa (Indonesia) dan bukan di YAMAN!
1. Di buku-buku Ilmu Sejarah kita disebutkan bahwa Candi Borobudur didirikan pada abad ke-7 Masehi, tetapi menurut Teori paruh waktu , bahwa penelitian terhadap batu candi tersebut tidak bisa dihitung umurnya dengan Isotop C (Carbon). Sehingga bisa ditarik Hipotesa, bahwa Candi Borobudur tidak dibuat pada abad ke-7 Masehi.

Candi Borobudur
2. Adanya phenomena angka 19 di Candi Borobudur. Adapun mengenai phenomena angka 19 itu terdapat di dalam Alqur’an berasal dari kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim yang terdiri dari 19 huruf. Kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim ini yang memperkenalkannya kepada kita adalah nabi Sulaiman As. ketika beliau berkirim surat kepada Ratu Saba’
Kop Surat dari Surat nabi Sulaiman As itu adalah kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim .
Isi suratnya adalah: ” Alla ta’luu ‘alaiyya, wa’tuunni muslimiin ” Jangan menyombong kepadaku dan datanglah kepadaku dengan berserah diri ). Dan perlu diketahui surat itu sampai sekarang masih ada yaitu di Musium Nasional berupa lempengan emas bertuliskan Bismillah, surat itu awalnya ditemukan dikolam dekat Candi borobudur.

Lempengan emas bertuliskan kalimat ‘Bismillah”
Jadi, dapat dikatakan bahwa phenomena 19 itu sudah diketahui oleh Nabi Sulaiman As. Oleh sebab itu di Candi borobudur ada phenomena 19.

Phenomena angka 19
3. Adanya phenomena posisi tiga buah candi terletak segaris lurus, yaitu: Candi Borobudur, Pawon dan Mendut.
Karena yang membuat Candi Borobudur itu bukan manusia saja, tetapi juga Jin, maka segaris lurusnya tiga candi, yaitu Borobudur, Pawon dan Mendut, bukanlah hal kebetulan. karena Jin bisa melihatnya dari atas.
Untuk apa mereka membuat ketiga candi itu segaris lurus?
Untuk membuat gambar Gerhana. Dengan demikian mereka memberitakan bahwa Borobudur itu gambar Matahari, Pawon itu gambar Bulan dan Mendut adalah gambar Bumi. Itu sebab Mendut mewakili Manusia. Disana ada sebuah patung Manusia sebagai wakil penduduk bumi adalah manusia.
Mengapa Borobudur itu gambar Matahari.? Karena Ya..si Ratu Saba’ itu dulunya kan penyembah Matahari, jadi ‘Arsy dia itu ada nuansa mataharinya.
4. Diceritakan pula di dalam Al-qur’an istananya berbentuk piring-piring dan patung-patung, sementara itu candi borobudur berbentuk piring dan banyak patung-patungnya, disinyalir patung Nabi Sulaiman As.
5. Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman As. dan Indonesia adalah negeri SABA yg diceritakan Al-qur’an dalam surat As-Saba (34). karenanya ada nama daerah Sleman di DI. Yogyakarta – Jawa Tengah yang diambil dari nama Nabi Sulaiman As.

Peta Sleman DI Yogyakarta
6. Sementara itu masih di kota Jogjakarta, tepatnya di daerah Prambanan ada candi ratu Boko yang di ambil dari nama Ratu Bulqo/Bilkis.

Candi ratu Boko

Kolam Pemandian di Candi ratu Boko
7. Di dalam Qur’an Surat As-Saba tanda-tanda daerahnya ada buah pahit, sementara disekitar candi borobudur ada buah: Mojo Pahit. bahkan sebuah kerajaan besar yang pernah jaya di pulau jawa dulu rela menamakan kerajaannya dengan nama Kerajaan Majapahit.

Peta Kesultanan Islam Majapahit
8. Lalu diceritakan di dalam Al-qur’an lagi: bahwa daerah Saba’ dikelilingi dua hutan, sementara itu Borobudur disana ada daerah Wanagiri dan WanaSABA, dimana dalam kamus bahasa jawa kawi; wana = hutan, saba = pertemuan.
9. Dimana seperti dalam Alqur’an Nabi Sulaiman menggunakan dua lembar kain dan kain yang luar adalah sutra seperti patung di candi yang terdapat lipatan sutra.
10. Diceritakan lagi di Nabi Sulaiman sering beristirahat dan berlibur di pantai sebelah timur negeri Saba, sementara di sebelah timur Indonesia deket papua ada pulau Solomon, yang di ambil dari nama Nabi Sulaiman As.
11. Relief-relief di candi mengambarkan cerita tentang Nabi Sulaiman diantaranya gambar burung yang mengantar surat kepada ratu Bilkis.
Sedangkan relief yang bergambar burung berkepala manusia, memberikan penjelasan bahwa burung hud-hud tersebut bisa berbicara dengan Nabi Sulaiman.
12. Di dalam Al-Qur’an surat As-Saba’ diceritakan negeri SABA telah di azab Allah karena penduduknya kufur dan tidak beriman, yaitu berupa dengan mengirim banjir besar yang menghancurkan negeri Saba’ menjadi berkeping-keping. Karenanya hanya Indonesia-lah satu-satunya negara di Dunia yang mempunyai 17.000 pulau lebih.
13. Indonesia adalah negeri SABA yang hilang, yang oleh Plato dan para ilmuwan barat diistilahkan benua Atlantis yang hilang.
14. Diantara Ribuan jumlah para Nabi, hanya Nabi Sulaiman As yang mempunyai nama Jawa yang berawalan “SU”, sebagaimana Suparmin, Suharto, Sukarno, Supratman, Sulistyono dll.

Nama jawa (Misal: SUlistiyono)
15. Adanya angin muson di Indonesia semakin menguatkan bukti bahwa Indonesia adalah negeri Saba’.
Dan masih banyak lagi fakta-faktanya yang lain.!
Nah kalau hasil penelitian ini benar adanya, bahwa yanag dimaksud dengan Negeri Saba’ adalah Indonesia hasil peninggalan Nabi Sulaiman As dan Ratu Bulqis. Sungguh luar biasa bangsa ini, kita telah mewarisi peradaban yang mulia itersebut. Wallahu ‘alam bissawaab.

Benteng Van Den Bosch (Benteng Pendem) - Ngawi


Menurut sejarahnya Benteng ini dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1839 – 1845 dengan nama Font Van Den Bosch, dulunya benteng tersebut di bangun pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Font Van Den Bosch. Lokasi benteng ini terletak di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabuapten Ngawi, Jawa Timur. Menempati lahan seluas ± 1 hektar, bangunan benteng ini bertingkat yang terdiri dari pintu gerbang utama, ratusan kamar untuk para tentara, ruangan untuk seorang kolonel dan ruang komando yang depanya berupa halaman rumput, dan beberapa ruangan yang dulunya diyakini sebagai kandang kuda. Letak benteng Van Den Bosch sangat strategis karena berada di sudut pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun, lokasi benteng sengaja dibuat rendah dari tanah sekitar yang dikelilingi oleh tanah tinggi (tanggul) sehingga terlihat dari luar tampak terpendam. Oleh karena itu, benteng ini oleh masyarakat sekitar dikenal juga dengan sebutan benteng pendem, dan juga dikelilingi parit yang lebarnya 15 meter dan dalamnya 2 meter.

Dipilihnya lokasi itu sebagai pembangunan benteng mengingat Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun kala itu merupakan jalur lalu lintas sungai yang dapat dilayari oleh perahu-perahu yang cukup besar sampai jauh ke bagian hulu. Perahu-perahu tersebut memuat berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah dan palawija dari Surakarta-Ngawi menuju Bandar Gresik, demikian juga Madiun-Ngawi dengan tujuan yang sama. Pada abad 19, Kota Ngawi menjadi salah satu pusat perdagangan  dan pelayaran di Jawa Timur dan dijadikan pusat pertahanan para pejuang di Kabupaten Madiun, Ngawi, dan sekitarnya. Perlawanan melawan Belanda yang berkorbar di daerah, dipimpin oleh kepala daerah setempat. Di Kabupaten Madiun, dipimpin oleh Bupati Kerto Dirjo, dan di daerah Ngawi dipimpin oleh Adipati Judodiningrat dan Raden Tumenggung Surodirjo, serta salah satu pengikut Pangeran Diponegoro bernama Wirontani pada tahun 1825, Kota Ngawi berhasil direbut dan diduduki. Untuk mempertahankan kedudukan dari fungsi strategis Kota Ngawi serta menguasai jalur-jalur perdagangan, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun benteng Van Den Bosch, yang dihuni oleh tentara Belanda sebanyak 250 orang bersenjatakan bedil, 6 meriam api, dan 60 orang kavaleri yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Defensieljn Van Den Bosch. Pada bagian selatan benteng keadaannya hancur karena serangan bom jepang. Tujuan di bangunnya benteng tersebut yaitu untuk menghambat atau menangkal pasukan penyerang diponegoro terhadap belanda. Di dalam benteng tersebut terdapat salah satu bukti yaitu terdapat makam salah satu anak buah diponegoro di dalam kantor utama dalam Benteng Van Den Bosch, yang bernama KH. Muhammad Nursalim. KH. Muhammad Nursalim adalah tokoh pejuang yang ditangkap Belanda dan di bawa ke Benteng tersebut, karena kesaktiannya beliau tidak mempan ditembak, akhirnya tentara Belanda mengubur hidup-hidup KH. Muhammad Nursalim didalam benteng tersebut pada tanggal 17 Agustus 1592. Beliau juga di yakini sebagai penyebar agama islam pertama kali di wilayah Ngawi.

Lokasi benteng ini mudah dicapai, karena terletak di Kota Ngawi. Dekat dengan Pasar Ngawi dan Alun-Alun Ngawi, atau ± 2 Km dari Kantor Pemerintahan Kabupaten Ngawi. Letak benteng tidak persis di tepi jalan, melainkan sedikit masuk dan tidak ada penanda lokasi keberadaan benteng tersebut. 
Sebenarnya letak benteng ini berada di pertemuan Jalan Untung Suropati dan Jalan Diponegoro, atau di seberang Taman Makam Pahlawan Dr. Radjiman Wedyodingrat Ngawi, namun karena di situ ada pintu gerbang Kompleks Batalyon Artileri Medan 12/ KONSTRAD “Angicipi Yudha” maka pengunjung dari luar Kota Ngawi akan bertanya di mana keberadaan benteng tersebut. Karena memang setelah tahun 1962, benteng ini pernah dijadikan sebagai markas Yon Armed yang berkedudukan di Rampal, Malang. Dulunya, benteng ini merupakan kawasan yang terlarang karena sempat dijadikan sebagai gudang amunisi. Akan tetapi setelah Yon Armed dipindahkan ke Jalan Siliwangi (Jalan Jrubong) lantaran kawasan benteng tersebut dipandang sudah tidak representatif lagi sebagai Kompleks Militer, kini kawasan benteng tersebut dibuka untuk umum. Harga tiket masuk sangatlah terjangkau hanya Rp. 2000 saja/orang dan untuk parkir hanya Rp.1000 saja.







Kamis, 04 September 2014

Sejarah Huruf-Huruf (Alfabet) dari A sampai Z

Alfabet Latin atau Alfabet Romawi adalah alfabet yang pertama kalinya dipakai oleh orang Romawi untuk menuliskan bahasa Latin kira-kira sejak abad ke-7 Sebelum Masehi. Mereka belajar menulis dari orang-orang Etruria, sedangkan orang Etruria belajar dari orang Yunani. Alfabet Etruska merupakan adapatasi dari alfabet Yunani. Menurut hipotesis, semua aksara alfabetis tersebut berasal dari abjad Fenisia, dan abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir.
Pada saat ini alfabet Latin adalah aksara yang paling banyak dipakai di dunia untuk menuliskan berbagai bahasa. Beberapa negara mengadopsi dan memodifikasi alfabet Latin sesuai dengan fonologi bahasa mereka, karena tidak semua fonem dapat dilambangkan dengan huruf Latin. Beberapa usaha modifikasi tersebut antara lain dengan menambahkan huruf baru (contoh: J, W), penambahan diakritik (contoh: Ñ, Ü), penggabungan huruf/ligatur (modifikasi bentuk, contoh: ß, Æ, Œ). Beberapa negara mengatur penggunaan dwihuruf dalam bahasa resmi mereka, yang melambangkan suatu fonem yang tidak dapat dilambangkan oleh alfabet Latin, misalnya “Th” (untuk bunyi /θ/ dan /ð/), “Ng” atau “Nk” (untuk bunyi /ŋ/), “Sch” atau “Sh” (untuk bunyi /ʃ/), “Ph” (untuk bunyi /ɸ/ dan /f/).
Sejarahnya
Dipercaya bahwa bangsa Romawi Kuno mengadopsi sebuah varian dari alfabet Yunani di Cumae, sebuah koloni bangsa Yunani di Italia Selatan, pada abad ke-7 SM. (Gaius Julius Hyginus dalam Fab. 277 menyebutkan legenda bahwa Carmenta, seorang sibila Kimmeri, menyerap lima belas huruf Yunani menjadi alfabet Latin, yang diperkenalkan lewat Latium oleh putranya, Evander, sekitar 60 tahun sebelum perang Troya, namun tidak ada jejak sejarah mengenai kisah ini.) Alfabet Yunani Kuno sendiri pada mulanya berasal dari abjad Fenisia. Dari alfabet Yunani di Cumae, terciptalah alfabet Etruska dan selanjutnya bangsa Romawi mengadopsi 21 huruf dari 26 huruf dalam alfabet Etruska, sebagai berikut:
 
Huruf ⟨C⟩ adalah varian bentuk gama di Yunani Barat, namun sama-sama dipakai untuk melambangkan bunyi /ɡ/ dan /k/, kemungkinan karena pengaruh bahasa Etruska, yang kurang memiliki konsonan plosif. Kemudian, sekitar abad ke-3 SM, huruf ⟨Z⟩ — yang tidak diperlukan untuk menuliskan bahasa Latin yang lazim — digantikan oleh huruf ⟨G⟩ yang baru, berasal dari bentuk ⟨C⟩ yang telah dimodifikasi dengan menambahkan garis vertikal kecil. Sejak saat itu, ⟨G⟩ melambangkan bunyi /ɡ/ (konsonan plosif bersuara), sementara ⟨C⟩ melambangkan /k/ (konsonan plosif nirsuara). Huruf ⟨K⟩ amat jarang digunakan, misalnya dalam beberapa kata seperti Kalendae, seringkali ejaannya tergantikan oleh ⟨C⟩.
Setelah penaklukkan Yunani oleh Romawi pada abad pertama SM, alfabet Latin memungut (atau mengadopsi kembali) huruf Yunani ⟨Y⟩ dan ⟨Z⟩ untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Yunani, sehingga ditempatkan di akhir susunan alfabet. Sebuah usaha oleh Kaisar Claudius yang memperkenalkan tiga huruf tambahan tidak berhasil. Maka dari itu pada masa klasiknya, alfabet Latin hanya mengandung 23 huruf:
Beberapa nama huruf tersebut dalam bahasa Latin masih diragukan. Bagaimanapun, umumnya bangsa Romawi tidak menggunakan nama-nama tradisional seperti dalam alfabet Yunani (yang pada dasarnya diturunkan dari rumpun abjad Semitik: Fenisia, Ibrani, Suryani, Arab). Untuk huruf-huruf yang melambangkan konsonan plosif (B, C, G, dsb.), bangsa Romawi menambahkan bunyi vokal /eː/ dalam penamaannya (kecuali ⟨K⟩ dan ⟨Q⟩, yang memerlukan vokal berbeda agar dapat dibedakan dengan ⟨C⟩) dan nama-nama untuk huruf yang melambangkan konsonan malaran dapat memakai bunyi lugas atau konsonan yang diawali dengan bunyi /e/. Huruf ⟨Y⟩ saat diperkenalkan mungkin disebut “hy” /hyː/ seperti dalam bahasa Yunani, sementara nama upsilon masih belum digunakan, namun kemudian diubah menjadi “i Graeca” (huruf I Yunani) karena penutur bahasa Latin kesulitan membedakan bunyi vokal /y/ dengan /i/. ⟨Z⟩ diberi nama sesuai namanya dalam bahasa Yunani, zeta.
Huruf kursif Romawi Kuno, juga disebut huruf kursif kapital, adalah bentuk tulisan tangan sehari-hari, yang digunakan untuk keperluan bisnis bagi para pedagang, untuk pembelajaran alfabet Latin bagi para anak-anak, dan untuk menuliskan titah oleh Kaisar Romawi. Gaya penulisan yang lebih resmi berdasarkan pada Capitalis Monumentalis, sementara huruf kursif digunakan untuk penulisan yang lebih cepat dan informal. Huruf ini lazim digunakan sejak sekitar abad pertama SM hingga ke-3 M, namun mungkin kemunculannya lebih awal daripada masa tersebut. Huruf ini merupakan dasar bagi huruf Unsial, suatu jenis huruf kapital yang digunakan pada abad ke-3 hingga ke-8 M oleh para juru tulis Latin dan Yunani.
Huruf kursif Romawi Baru, juga dikenali sebagai huruf kursif kecil, digunakan sejak abad ke-3 hingga ke-7 M, dan menggunakan bentuk huruf yang lebih mudah dikenali di masa kini; ⟨a⟩, ⟨b⟩, ⟨d⟩, dan ⟨e⟩ mengambil bentuk yang lebih familier, dan huruf lainnya proporsional antara satu sama lain. Huruf ini berkembang hingga Abad Pertengahan sebagai aksara Merovingian dan Carolingian.

A
A adalah huruf pertama dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Inggris huruf ini dibaca [eɪː]; bentuk jamaknya aes.[1] Huruf ini berasal dari huruf Yunani Α (alfa) dan sering digunakan sebagai lambang vokal depan terbuka tak bulat. A juga sering digunakan sebagai indikasi sesuatu yang bermakna “awal” atau “terbaik”.
Berdasarkan sejarahnya. Huruf A dapat ditelusuri ke sebuah piktogram kepala seekor sapi jantan dalam hieroglif Mesir atau abjad Proto-Sinaitik.[2] Sekitar tahun 1600 SM huruf dalam abjad Fenisia mempunyai bentuk linear yang menjadi dasar bagi bentuk-bentuk berikutnya. Namanya tampaknya sangat erat berkaitan dengan alef dalam abjad Ibrani.
Ketika bangsa Yunani kuno mengadopsi abjad, mereka tidak menggunakan konsonan celah suara (bunyi hamzah) yang dikandung huruf ini dalam bahasa Fenisia dan bahasa-bahasa Semit lainnya, karena itu mereka menggunakan tanda ini untuk vokal /a/, dan mempertahankan namanya dengan perubahan kecil (alfa). Dalam prasasti-prasasti Yunani yang paling awal setelah Zaman Kekelaman Yunani, yang terjadi pada abad ke-8 SM, huruf ini dituliskan terbaring, tetapi dalam alfabet Yunani berikutnya, huruf ini pada umumnya mirip dengan huruf besar A modern, meskipun berbagai variasi setempat dapat dibedakan dengan memperpendek salah satu kakinya, atau dengan sudut tempat garis melintang diletakkan.
Bangsa Etruska membawa alfabet Yunani ke dalam peradaban mereka di Jazirah Italia dan membiarkan huruf ini tidak berubah. Kemudian orang-orang Romawi mengadopsi alfabet Etruska untuk menulis bahasa Latin, dan huruf yang dihasilkan kemudian dilestarikan dalam alfabet Latin modern yang digunakan untuk menulis banyak bahasa, termasuk bahasa Inggris.
Dalam bahasa Inggris, “a” biasanya melambangkan bunyi vokal depan hampir terbuka takbulat (IPA: /æ/; seperti pada kata pad), vokal belakang terbuka takbulat (IPA: /ɑː/; seperti pada kata father), atau diftong /eɪ/ seperti pada kata ace dan major, karena efek Pergeseran Vokal Besar-besaran.
Pada kebanyakan bahasa yang menggunakan sistem alfabet Latin, “a” melambangkan bunyi vokal depan terbuka takbulat (/a/). Dalam Alfabet Fonetik Internasional, variasi huruf “a” mengindikasikan berbagai vokal yang berbeda-beda pula. Dalam sistem X-SAMPA, huruf besar “A” menandakan vokal belakang terbuka takbulat dan huruf kecil “a” menandakan vokal depan terbuka takbulat.
“A” adalah huruf ketiga yang paling sering digunakan dalam bahasa Inggris, dan yang kedua terbanyak digunakan dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Dalam suatu studi, rata-rata, sekitar 3.68% huruf yang digunakan dalam bahasa Inggris cenderung kepada ‹a›, sedangkan angka 6.22% untuk bahasa Spanyol dan 3.95% untuk bahasa Perancis.[3]
“A” seringkali digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang dengan kualitas atau status yang lebih baik dan bergengsi: A-, A atau A+, hasil terbaik yang diberikan oleh guru/dosen kepada tugas siswa/mahasiswa; nilai A untuk restoran yang bersih, dsb.
B
B adalah huruf kedua dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Latin dan bahasa lain pada umumnya (termasuk bahasa Indonesia), huruf ini biasanya melambangkan konsonan dwibibir, khususnya fonem [b], konsonan letup dwibibir bersuara.
Berdasarkan sejarahnya. ‹B› berasal dari sebuah piktogram denah sebuah rumah dalam aksara hieroglif Mesir atau aksara Proto-Sinaitik. Sekitar tahun 1050 SM, huruf itu dikembangkan dalam abjad Fenisia menjadi bentuk linear dan bernama beth.
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai alfabet Latin, huruf B menandakan konsonan letup dwibibir brsuara (/b/). Dalam bahasa Estonia, Islandia, dan juga transkripsi bahasa Tionghoa, B tidak bersuara, tetapi masih dibedakan dari huruf P, yang dipanjangkan menjadi /pp/ dalam bahasa Estonia, dan dihembuskan pula menjadi /pʰ/ dalam bahasa Tionghoa dan Islandia. Dalam bahasa Fiji, B dipranasalisasi menjadi /mb/, sementara dalam bahasa Zulu dan bahasa Xhosa menjadi konsonan letup-balik /ɓ/, berbanding dwihuruf Bh yang melambangkan /b/.
Bahasa Finlandia hanya memakai huruf b untuk kata pinjaman.
Dalam huruf IPA dan X-SAMPA, huruf /b/ menandakan konsonan letup dwibibir bersuara. Adanya bentuk variasi huruf b yang menandakan konsonan dwibir berkaitan, seperti konsonan letup-balik dwibibir bersuara dan konsonan getar dwibibir. Dalam X-SAMPA, huruf besar B menandakan konsonan desis dwibibir bersuara.
C
C adalah huruf ketiga dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut ce sedangkan dalam bahasa Inggris disebut cee, dibaca [siː].[1] Dalam bahasa Latin, huruf ini melambang fonem /k/, konsonan letup langit-langit belakang tak bersuara, sedangkan dalam bahasa Indonesia dan Melayu huruf ini melambangkan fonem /tʃ/, konsonan gesek pascarongga-gigi tak bersuara.
Berdasarkan sejarahnya. ‹C› dan ‹G› berasal dari huruf yang sama. Bangsa Semit menamakannya gimel (Arab: jim). Lambangnya diadaptasi dari hieroglif Mesir yang berbentuk umban tongkat, yang mungkin merupakan arti dari nama gimel itu sendiri. Kemungkinan lainnya adalah lambang itu menggambarkan unta, yang dalam rumpun bahasa Semit disebut gamal.
Dalam Bahasa Etruska, konsonan letup (eksplosif) tidak mempunyai penyuaraan kontrastif, jadi huruf Yunani Γ (Gamma) diadaptasi ke dalam alfabet Etruska untuk mewakili fonem /k/. Pun dalam Alfabet Yunani Barat, mulanya Gamma mengambil bentuk dalam alfabet Etruska Awal, kemudian dalam Etruska Klasik. Selanjutnya dalam bahasa Latin huruf itu mengambil bentuk C pada alfabet Latin klasik. Huruf Latin Awal menggunakan C untuk konsonan /k/ dan /ɡ/, tetapi selama abad ketiga SM, satu huruf yang diubah, telah diperkenalkan sebagai lambang bunyi /ɡ/, dan C sendiri ditetapkan untuk melambangkan bunyi /k/. Penggunaan huruf C (dan variasinya yaitu G) menggantikan sebagian besar penggunaan K dan Q. Oleh karena itu, pada masa kuno dan sesudahnya, G telah dikenal setara secara fonetik dengan Gamma, dan C sama dengan Kappa, dalam alih aksara kata-kata Yunani ke dalam ejaan Latin, seperti pada kata KA∆MOΣ, KYPOΣ, ΦΩKIΣ, dalam surat-surat Romawi ditulis CADMVS, CYRVS, PHOCIS.
Aksara lain mempunyai huruf-huruf mirip dengan bentuk C tetapi tidak sama dalam penggunaan dan asal mulanya, khususnya huruf Sirilik Es, yang berasal dari suatu bentuk huruf Yunani sigma, dikenali sebagai “lunar sigma” karena bentuknya menyerupai bulan sabit.
Ketika alfabet Romawi diperkenalkan di Britania Raya, C hanya melambangkan bunyi /k/ dan nilai huruf ini dipertahankan dalam kata serapan seluruh bahasa Keltik kepulauan: dalam bahasa Welsh, Irlandia, dan Gaelik, C melambangkan bunyi /k/. Penulisan bahasa Inggris Kuna atau “Anglo-Saxon” yang dipelajari dari bangsa Kelt, sesungguhnya dari Irlandia; maka dari itu C dalam bahasa Inggris Kuna juga pada mulanya melambangkan /k/; kata dalam bahasa Inggris Modern seperti kin, break, broken, thick, dan seek, semuanya berasal dari bahasa Inggris Kuna yang ditulis dengan C: cyn, brecan, brocen, Þicc, dan séoc. Tetapi selama periode bahasa Inggris Kuna, /k/ sebelum vokal depan (/e/ dan /i/) mengalami palatalisasi, berubah menjadi bunyi [tʃ] pada abad kesepuluh, meskipun C masih digunakan, seperti pada kata cir(i)ce, wrecc(e)a. Sementara itu di daratan benua Eropa, perubahan fonetik serupa juga terjadi (contohnya dalam bahasa Italia).
Dalam bahasa Latin Rakyat, /k/ dipalatalisasi menjadi [tʃ] di Italia and Dalmatia; di Perancis dan semenanjung Iberia, bunyinya menjadi [ts]. Meskipun demikian C masih digunakan sebelum vokal depan (E, I) dengan nilai bunyi yang berbeda. Kemudian, fonem /kʷ/ dalam bahasa Latin (ditulis sebagai QV) tidak terbibirkan sehingga menjadi bunyi /k/, berarti bahasa-bahasa Roman mengandung bunyi /k/ sebelum vokal depan. Di samping itu, bahasa Normandia menggunakan huruf Yunani K sehingga bunyi /k/ dapat dilambangkan oleh K maupun C, yang kemudian dapat melambangkan bunyi /k/ maupun /ts/ tergantung apakah mendahului vokal depan atau tidak. Kaidah menggunakan C dan K diterapkan pada penulisan bahasa Inggris setelah penaklukan Normandia, mengakibatkan pengejaan kembali kata-kata Inggris Kuna. Sementara ejaan kata candel, clif, corn, crop, cú, dalam bahsa Inggris Kuna masih lestari, Cent, cæ´ (cé´ ), cyng, brece, séoce, sekrang (tanpa perubahan bunyi) dieja Kent, keȝ, kyng, breke, dan seoke; bahkan kemudian cniht (knight) diubah menjadi kniht dan þic (thick) diubah thik atau thikk. Ejaan cw dalam Inggris Kuna teragntikan oleh qu dari bahasa Perancis sehingga kata cwén dan cwic menjadi queen dan quick.
Bunyi [tʃ] yang merupakan palatalisasi bunyi /k/ Inggris Kuna telah berkembang, juga muncul dalam bahasa Perancis, terutama seperti aturan /k/ sebelum ‹a› dalam bahasa Latin. Dalam bahasa Perancis bunyi itu ditulis Ch, seperti pada kata champ (dari bahasa Latin camp-um) dan pengejaan ini diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris. Dalam Injil Hatton, ditulis sekitar tahun 1160, tertulis pada Matius i-iii, child, chyld, riche, mychel, untuk kata cild, rice, mycel, dari versi Inggris Kuna yang disalin. Dalam hal ini, C dalam bahasa Inggris Kuno tergantikan oleh K, Qu, Ch, tetapi selain itu, C dengan nilai bunyi baru yaitu /ts/ sebagian besar datang dari kata-kata Perancis seperti processiun, emperice, grace, dan disubtitusikan untuk ejaan Ts dalam beberapa kata-kata Inggris Kuno, seperti miltse, bletsien, dan milce, blecien dalam bahasa Inggris Pertengahan.
Cetakan kisah drama tragedi Romeo dan Juliet pada tahun 1597 (abad ke-16), dengan ejaan yang menyerupai ejaan bahasa Inggris masa kini. Huruf C digunakan di tengah dan awal kata dengan nilai bunyi berbeda. Tidak ditemukan penggunaan huruf J karena digantikan oleh huruf I, demikian pula huruf V karena digantikan oleh huruf U, variasi huruf V.
Pada akhir abad ke-13 di Perancis dan Inggris, bunyi (konsonan gesek) /ts/ tidak tergesekkan sehingga menjadi bunyi /s/ (desis); dan semenjak itu C melambangkan bunyi /s/ sebelum vokal depan, baik secara etimologis, seperti pada lance, cent, atau (bertentangan dengan etimologi) untuk menghindari ambigu karena penggunaan “etimologis” S untuk bunyi /z/, seperti pada kata ace, mice, once, pence, defence. Maka untuk menunjukkan etimologi, ejaan bahasa Inggris lebih memilih penulisan advise, devise, daripada advize, devize, sementara advice, device, dice, ice, mice, twice, dan lain-lain tidak mencerminkan etimologi; contoh lebih lanjut adalah hence, pence, defence, dsb., yang tidak mengandung keperluan etimologis terhadap huruf C. Generasi sebelumnya juga menulis sence untuk kata sense. Maka dari itu, di masa kini rumpun bahasa Roman dan bahasa Inggris memiliki ciri umum yang diwarisi dari bahasa Latin Rakyat, yaitu C yang memiliki nilai bunyi “keras” ([k]) dan “lembut” (biasanya konsonan afrikat atau frikatif) tergantung vokal yang mengikutinya.
Dalam ortogafi bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis, C menandakan nilai “lembut” sebelum E atau I, dan selain itu melambangkan nilai “keras” dari bunyi /k/. Seperti beberapa hal lainnya yang bertentangan dengan ejaan bahasa Inggris, terdapat pula beberapa pengecualian: “soccer” dan “Celt” adalah kata-kata yang mengandung bunyi /k/.
Pelafalan nilai “lembut” berbeda-beda menurut bahasa. Dalam ortografi bahasa Inggris, Perancis, Portugis, dan Spanyol di Amerika Latin dan Spanyol Selatan, nilai bunyi C lembut adalah /s/. Dalam bahasa Spanyol yang dituturkan di Spanyol Utara dan Tengah, nilai bunyi C lembut adalah konsonan desis gigi tak bersuara (/θ/). Dalam bahasa Italia dan Romania, nilai C lembut adalah [tʃ], konsonan gesek pascarongga-gigi tak bersuara, seperti pelafalan C dalam bahasa Indonesia.
D
D adalah huruf keempat dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia disebut de (dibaca [ˈde]), sedangkan dalam bahasa Inggris dan Melayu disebut dee (dibaca [ˈdiː]). Dalam bahasa Latin dan bahasa Indonesia, huruf ini melambangkan fonem /d/, konsonan letup rongga-gigi bersuara.
Huruf Semitik Dâlet kemungkinan besar berkembang dari logogram yang bermakna “ikan” atau “pintu”. Terdapat berbagai hieroglif Mesir yang mungkin mengilhaminya. Dalam bahasa Semitik, Yunani Kuno, dan Latin, huruf ini melambangkan konsonan /d/; dalam huruf Etruska pula huruf ini seolah-olah tidak diperlukan, tetapi masih dilestarikan (lihat huruf B). Huruf Yunani yang setara dengannya adalah: Δ (besar) atau δ (kecil) (Delta).
Bentuk huruf kecil “d”, yang terdiri dari satu lekukan dan satu garis vertikal yang tinggi, berkembang dari perubahan bervariasi pada bentuk huruf besar “D”. Dalam penulisan pada zaman dahulu adalah suatu kelaziman untuk memulai lekukan pada kiri garis vertikal, sehingga menghasilkan suatu serif di atas lekukan itu. Serif ini disambung manakala bagian lain huruf ini dikurangi, menghasilkan suatu tangkai bersudut dan lengkungan. Kemudian tangkai bersudut ini berubah menjadi tangkai vertikal.
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai alfabet Latin, huruf d melambangkan bunyi /d/, tetapi dalam alfabet bahasa Vietnam, huruf ini dibaca /z/ di utara dan /j/ (seperti “y” dalam “ya”) di selatan.
Dalam bahasa Jerman, huruf d berbunyi /d/ (konsonan letup rongga-gigi bersuara), tetapi berubah menjadi /t/ (konsonan letup rongga-gigi tak bersuara) jika di akhir kata.
Dalam bahasa Fiji, huruf ini melambangkan konsonan hambat pranasal /nd/.
Dalam beberapa bahasa yang mana konsonan hambat tak bersuara tanpa hembusan berlawanan dengan konsonan hambat tak bersuara berhembusan, d melambangkan /t/ tanpa hembusan, sementara t juga berbunyi /tʰ/ berhembusan. Contoh-contoh bahasa berkenaan meliputi bahasa Islandia, bahasa Gaelik Scot, bahasa Navajo, dan alih aksara pinyin untuk bahasa Mandarin.
Dalam angka Romawi, D memiliki nilai 500, berasal dari setengah ↀ (bernilai 1000; tapi di kemudian hari, M dipakai sebagai lambang 1000), sehingga D berarti 500 (angka) atau tahun 500.
E
E adalah huruf Latin yang kelima. Dalam bahasa Inggris, namanya dibaca [iː]. Huruf E paling banyak digunakan dalam bahasa Inggris.[1] Huruf ini biasanya melambangkan bunyi vokal tak bulat depan hampir tertutup.
Menurut sejarahnya E diperoleh dari huruf Yunani epsilon yang kira-kira identik bentuknya (Ε, ε) dan fungsinya. Menurut etimologi, huruf hê Semitik kemungkinan melambangkan bentuk manusia yang bersembahyang atau bersorak (hillul, ‘kegembiraan’), dan juga mungkin berdasarkan suatu hieroglif Mesir yang serupa bentuknya tetapi berbeda bunyi dan kegunaannya. Dalam abjad Semitik, huruf ini mewakili bunyi /h/ (dan /e/ dalam kata asing), dalam bahasa Yunani hê menjadi Εψιλον (Epsilon) yang mewakili bunyi /e/. Orang-orang Etruska dan Romawi Kuno juga menggunakan huruf ini sedemikian, maka munculah huruf Romawi “E”. Meskipun bahasa Inggris pertengahan menggunakan E sebagai lambang bunyi /e/ panjang dan pendek, oleh sebab Peralihan Vokal Besar-besaran, kegunaannya dalam bahasa Inggris agak berbeda. Bunyi /eː/ (dalam “me” atau “bee”) menjadi /iː/, sementara /e/ pendek (seperti bed) bertahan sebagai vokal madya.
Seperti huruf vokal Latin lainnya, ‹e› muncul dengan nilai bunyi yang panjang dan pendek. Pada mulanya perbedaan terletak pada panjangnya vokal, namun kemudian ‹e› pendek mewakili vokal /ɛ/. Dalam bahasa lainnya yang menggunakan ‹e›, huruf itu mewakili nilai bunyi yang berbeda-beda, kadangkala dengan tanda aksen untuk menegaskan perbedaan pelafalan (‹e ê é è ë ē ĕ ě ẽ ė ẹ ę ẻ›).
Dwihuruf dengan ‹e› sering ditemukan dalam berbagai bahasa untuk melambangkan diftong dan monoftong, seperti ‹ea› atau ‹ee› untuk /iː/ atau /eɪ/ dalam bahasa Inggris; ‹ei› untuk /aɪ/ dalam bahasa Jerman; dan ‹eu› untuk /ø/ dalam bahasa Prancis, /ɔɪ/ dalam bahasa Jerman, /ɯ/ dalam bahasa Korea, /ɤ/ dalam bahasa Sunda.
Dalam ilmu pasti seperti fisika dan kimia, huruf E digunakan untuk melambangkan tenaga (energy), terutama dalam rumus “E=mc2.
F
F adalah huruf Latin ke-6. Namanya dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Melayu adalah ef, dibaca [ɛf]. Huruf ini sering digunakan untuk menandai bunyi konsonan desis bibir-gigi nirsuara.
Asal-usul huruf F bermula dari huruf Semitik vâv yang melambangkan bunyi /v/, dan kemungkinan mulanya menggambarkan “kait” atau “gada”. Huruf vâv mungkin juga terbentuk berdasarkan suatu hieroglif Mesir, yang menggambarkan “gada”:
Bentuk huruf Fenisia waw diserap ke dalam huruf Yunani sebagai huruf vokal, upsilon (yang menyerupai keturunannya, huruf Y, tetapi juga menjadi leluhur huruf-huruf U, V, dan W); dan juga dalam satu bentuk lain, yaitu huruf konsonan digamma yang menyerupai huruf F Romawi, tetapi diucapkan /w/ seperti dalam bahasa Fenisia. Kemudian, fonem /w/ tersebut pudar dari bahasa Yunani, lalu fungsi digamma sebagai angka saja.
Dalam bahasa Etruska, F juga diucapkan /w/. Pada akhirnya orang Etruska mengemukakan satu inovasi yaitu menggunakan dwihuruf FH untuk bunyi /f/, dan huruf F mewakili fonem /f/ saat orang Romawi menyerapnya (karena mereka sudah meminjam huruf U dari huruf Yunani upsilon untuk bunyi /w/). Huruf phi (Φ φ) juga menyamai bunyi /f/ dalam bahasa Yunani.
Huruf kecil f tidak boleh diidentikkan dengan huruf ſ, yaitu s panjang yang digunakan pada zaman dahulu. Contohnya, “sinfulness” ditulis “ſinfulneſs” apabila memakai huruf s panjang. Kegunaan huruf s panjang memudar menjelang akhir abad ke-19, kemungkinan untuk menghindari kekeliruan dengan huruf f.
G
Huruf G atau g adalah huruf ke-7 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia dan Melayu, huruf G mewakili konsonan letup langit-langit belakang bersuara (/ɡ/). Huruf G juga digunakan dalam dwihuruf “ng” untuk konsonan sengau langit-langit belakang (/ŋ/). Dalam bahasa Inggris, huruf G digunakan untuk konsonan letup langit-langit belakang bersuara dan juga konsonan gesek pascarongga-gigi bersuara (/dʒ/).
Huruf G diperkenalkan pada zaman Latin Kuno sebagai suatu bentuk lain bagi huruf C untuk membedakan konsonan langit-langit belakang bersuara (/ɡ/) dengan yang tidak bersuara (/k/).
Orang pertama yang diketahui menulis huruf G ialah Spurius Carvilius Ruga, orang Romawi pertama yang membuka sekolah berbayar, dan mengajar sekitar 230 SM. Ketika itu, huruf K makin kurang dipakai, sedangkan huruf C yang mulanya mewakili bunyi /ɡ/ dan /k/ sebelum bunyi vokal terbuka, kemudian hanya mewakili bunyi /k/ dalam setiap kedudukan.
Penempatan G oleh Ruga menunjukkan bahwa susunan alfabet, yang berkaitan dengan nilai huruf itu sebagai angka Yunani, menarik perhatian pada abad ke-3 SM. Sampson (1985) berpendapat bahwa: “Jelas sekali bahwa susunan alfabet dirasakan sebagai perihal yang begitu konkrit sehingga suatu huruf baru boleh ditambah di tengah susunan hanya jika terdapat ‘ruangan’ setelah menggeser huruf yang lama.”[1] Menurut beberapa catatan, huruf ketujuh sebelumnya, yaitu Z, disingkirkan dari alfabet Latin pada awal abad ke-3 SM oleh seorang censor Romawi, Appius Claudius, yang merasa huruf itu asing dan tidak penting.[2]
Tidak lama kemudian, kedua konsonan langit-langit belakang /k/ dan /ɡ/ mengalami proses palatalisasi dan alofon sebelum vokal di depan; maka dari itu, huruf C dan G mempunyai nilai bunyi berbeda dalam rumpun bahasa Roman, serta juga bahasa Inggris (akibat pengaruh bahasa Perancis).
Huruf g kecil mempunyai dua bentuk dasar yang berlainan: “g berekor terbuka” dan “g berekor melingkar” .
Bahasa non-Roman biasanya menggunakan ‹g› untuk melambangkan bunyi /ɡ/ tanpa mempedulikan posisi. Di antara bahasa-bahasa Eropa, bahasa Belanda adalah pengecualian karena tidak mengandung bunyi /ɡ/ dalam kosakata aslinya, sebaliknya ‹g› melambangkan bunyi konsonan desis langit-langit belakang bersuara (IPA: /ɣ/), bunyi yang tidak ada dalam bahasa Inggris Modern. Bahasa Faroe menggunakan ‹g› untuk melambangkan /dʒ/, selain /g/, dan juga menggunakannya untuk mengindikasikan bunyi semivokal.
Nilai lembut dari pengucapan ‹g› berbeda-beda dalam rumpun bahasa Roman (/ʒ/ dalam bahasa Perancis dan Portugis; [(d)ʑ] dalam Katalan; /d͡ʒ/ dalam bahasa Italia dan Romania; dan /x/ dalam bahasa Spanyol dialek Castilla, /h/ dalam dialek bahasa Spanyol lainnya). Dalam rumpun bahasa tersebut, kecuali Italia dan Romania, pelafalan “G lembut” sama seperti pelafalan huruf J dalam bahasa bersangkutan.
Dalam bahasa Inggris, huruf G dapat melambangkan konsonan gesek pascarongga-gigi bersuara (IPA: /dʒ/; “G lembut”), seperti pada kata giant, ginger, dan geology; atau konsonan letup langit-langit belakang bersuara (IPA: /ɡ/; “G keras”), seperti pada kata goose, gargoyle, dan game. Dalam beberapa kata yang berasal dari bahasa Perancis, “G lembut” dilafalkan sebagai konsonan desis (/ʒ/), seperti pada kata rouge, beige, dan genre. Pada umumnya, ‹g› diucapkan lembut sebelum ‹e›, ‹i›, dan ‹y› pada kata-kata yang berasal dari bahasa Roman, selain itu menggunakan “G keras”; ada banyak kosakata Inggris yang tidak berasal dari bahasa Roman yang menggunakan “G keras” tanpa mengacuhkan posisi (contohnya get), dan tiga kata (gaol, margarine, algae) yang diucapkan lembut sebelum huruf hidup ‹a›.
Beberapa dwihuruf yang mengandung G umum dijumpai dalam bahasa Inggris. Dwihuruf ‹gh› yang muncul setelah penggunaan yogh dihapuskan dari alfabet, mengambil nilai bunyi yang berbeda-beda meliputi /ɡ/, /ɣ/, /x/, dan /j/. Dwihuruf itu kini mengandung banyak nilai bunyi, termasuk bunyi /f/ dalam kata enough, /ɡ/ dalam kata serapan seperti spaghetti, dan sebagai indikator pengucapan bunyi panjang dalam ejaan kata-kata seperti eight dan night. ‹Gn› dengan nilai bunyi /nj/ juga umum terdapat dalam kata serapan, seperti kata lasagna (meskipun pada awal kata, seperti gnome, huruf ‹g› tidak diucapkan).
Dalam bahasa Italia dan Romania, ‹gh› digunakan untuk melambangkan bunyi /ɡ/ sebelum vokal depan, selain ‹g› sebagai lambang bunyi lembut. Dalam bahasa Italia dan Perancis, ‹gn› digunakan untuk melambangkan bunyi konsonan sengau langit-langit /ɲ/, bunyi yang dilambangkan oleh dwihuruf ‹ny› pada kata nyamuk dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Italia, trihuruf ‹gli›, saat ditulis sebelum huruf hidup, konsonan hampiran-sisi langit-langit /ʎ/; dalam artikula tertentu dan kata ganti gli (IPA: /ʎi/), dwihuruf ‹gl› melambangkan bunyi yang sama.
Huruf G juga digunakan sebagai bahasa gaul untuk kata Gangster atau Gangsta, biasanya digunaka pada frasa seperti My grand dad is a ‘G’ (kakekku seorang Gangster).
Dalam kebanyakan bahasa, seperti bahasa Denmark, Filipino, Indonesia, Inggris, Maori (Te Reo Māori), Melayu, dan Vietnam, ‹g› dikombinasikan membentuk dwihuruf ‹ng› agar melambangkan konsonan sengau langit-langit belakang /ŋ/ dan dilafalkan seperti ‹ng› pada kata “tong”.
G juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam Fisika, G adalah simbol konstanta gravitasi, sedangkan g adalah simbol percepatan gravitasi. G merupakan singkatan dari prefiks Giga yang berarti 1.000.000.000. Dalam Sistem Satuan Internasional, g adalah singkatan dari unit massa: gram.
H
H adalah huruf ke-8 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut ha. Dalam bahasa Inggris, huruf ini disebut aitch (jamak: aitches), dibaca /ˈeɪtʃ/ atau /ˈheɪtʃ/. Huruf ini biasanya melambangkan konsonan desis celah suara nirsuara.
Huruf Semitik ח (ḥêṯ) kemungkinan besar melambangkan konsonan desis hulu kerongkongan tak bersuara (/ħ/). Bentuk huruf ini mungkin berarti pagar. Alfabet Yunani H awal berbunyi /h/, tetapi lama-kelamaan menjadi huruf vokal eta (Η, η) yang berbunyi /ɛː/ (dalam bahasa Yunani modern, fonem ini bergabung dengan /i/.)
Bahasa Etruska dan bahasa Latin pernah memiliki fonem /h/, namum hampir semua rumpun bahasa Roman kehilangan bunyi itu. Kemudian bahasa Romania meminjam fonem /h/ dari bahasa-bahasa Slavia di dekatnya, dan bahasa Spanyol mengembangkan bunyi /h/ sekunder dari /f/ sebelum kehilangan bunyi itu lagi, sementara beberapa dialek bahasa Spanyol memakai /h/ sebagai alofon /s/ di beberapa wilayah yang memakai bahasa tersebut.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional, simbol ini digunakan untuk mewakili dua bunyi. Huruf kecilnya, [h], mewakili konsonan desis celah suara tak bersuara atau ‘berhembus’, dan huruf besar yang dikecilkan, [ʜ], melambangkan konsonan desis katup napas tak bersuara.
H juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam kimia, H adalah simbol kimia untuk Hidrogen. H adalah simbol konstanta Hubble (huruf besar) dan ketinggian/kedalaman (huruf kecil) dalam fisika.
H juga merupakan singkatan dari unit induktansi dalam sistem Satuan Internasional: henry.
I
Huruf I atau i adalah huruf ke-9 dalam alfabet Latin. I merupakan lambang angka 1 (satu) atau tahun 1 dalam angka Romawi.
Dalam rumpun bahasa Semit, huruf Yôdh mungkin berasal dari suatu piktogram untuk “lengan” dan “tangan”, berasal dari hieroglif serupa yang membawa nilai konsonan desis hulu kerongkongan bersuara (/ʕ/) dalam bahasa Mesir, tetapi dialihkan ke /j/ (seperti y pada kata “ya”) oleh orang-orang Semit, karena kata Semit untuk “lengan” diawali dengan bunyi itu. Huruf ini juga boleh digunakan untuk bunyi vokal /i/, terutama dalam kata asing.
Orang Yunani menerima suatu bentuk yodh Fenisia ini sebagai huruf iota (Ι, ι) mereka untuk bunyi vokal /i/, begitu juga dalam alfabet Italik Kuno. Dalam bahasa Latin (seperti dalam bahasa Yunani Modern), huruf ini juga dipakai untuk bunyi konsonan /j/. Huruf J modern mulanya merupakan bentuk variasi bagi huruf ini, dan keduanya dapat digunakan bergantian untuk vokal dan konsonan, sehingga akhirnya dibedakan pada abad ke-16.
Detail crucifix Yesus dengan tulisan INRI yang merupakan singkatan dari Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum. Huruf I dipakai sebagai lambang konsonan /j/ karena huruf J maupun Y belum tercipta.
Dalam berbagai bahasa, huruf I biasanya melambangkan vokal depan tertutup takbulat (/i/). Pada mulanya dipakai untuk bunyi konsonan hampiran langit-langit (simbol IPA: [j]; contohnya ejaan Latin Kuno untuk Yesus: Iesus atau Iesvs, karena dulu huruf J dan U belum tercipta), tetapi kemudian bunyi /j/ dilambangkan oleh huruf J dan Y.
Dalam bahasa Inggris modern, I melambangkan berbagai bunyi berbeda, terutama diftong “panjang” /aɪ/ yang berkembang dari /iː/ bahasa Inggris Pertengahan setelah Peralihan Vokal Besar-besaran pada abad ke-15, serta juga vokal “pendek” terbuka /ɪ/ seperti pada kata bill. Titik pada atas ‘i’ kecil kadangkala dipanggil tittle.
Dalam alfabet Turki, I bertitik dan tanpa titik dianggap sebagai huruf yang berbeda dan keduanya mempunyai bentuk huruf besar (I, İ) dan kecil (ı, i).
Beberapa jenis huruf Jerman seperti fraktur atau schwabacher, yang tak terpakai lagi semenjak akhir Perang Dunia II, tidak terlalu membedakan bentuk huruf besar I dan J. Karakter yang sama, sebuah ‘J’ dengan serif di atasnya berbentuk tilde, kadangkala digunakan untuk keduanya, tetapi huruf kecil i dan j masih dibedakan.
Huruf I digunakan pula dalam ilmu pasti. I merupakan simbol kimia untuk Yodium (Iodium). Dalam fisika, I adalah simbol arus listrik.
J
J adalah huruf kesepuluh dalam alfabet Latin, dan huruf terakhir yang ditambah dalam kalangan 26 huruf. Namanya adalah je, dibaca [dʒeɪ].
J asalnya merupakan bentuk lain huruf I, sedangkan huruf I berasal dari huruf iota Yunani. Bentuk huruf kecil j digunakan pada Abad Pertengahan untuk mengakhiri angka Romawi menggantikan i. Penggunaan yang berbeda diawali dalam bahasa Jerman Hulu Pertengahan.[1] Petrus Ramus (d. 1572) menjadi orang pertama yang secara jelas membedakan I dan J sebagai lambang bunyi yang berbeda. Mulanya, kedua huruf I dan J melambangkan /i/, /iː/, dan /j/; tetapi rumpun bahasa Roman mengembangkan bunyi-bunyi baru (dari /j/ dan /g/) yang menjadi bunyi-bunyi lambang I dan J; oleh itu, J bahasa Inggris (dari J Perancis, dan akhirnya dipakai dalam Indonesia) agak berbeda bunyinya dari [j]*
Koin emas dari Italia (abad ke-15 M), bergambar Yohanes Pembaptis dengan tulisan S Iohannes B di sekelilingnya. Huruf I digunakan karena pada masa itu huruf J maupun Y belum tercipta.
Semua bahasa Jermanik kecuali Inggris, Skotlandia dan Luksemburg menggunakan J untuk /j/; begitu juga dalam bahasa Albania, serta rumpun bahasa Ural dan Slavia yang memakai alfabet Romawi, seperti bahasa Hongaria, Finlandia, Estonia, Polandia, Ceko, dan Slowakia. Sebagian bahasa dalam rumpun ini, seperti bahasa Serbia, turut menyerap J ke dalam abjad Sirilik untuk tujuan yang sama. Oleh karena itulah, huruf kecilnya dipilih sebagai lambang fonetik IPA untuk [j]* (seperti “y” dalam “ya”).
Penggunaan J sebagai lambang konsonan gesek pascarongga-gigi (/dʒ/) terdapat dalam bahasa Igbo, Indonesia, Melayu, Shona, Somali, Oromo dan Zulu. Bahasa Inggris menggunakannya pada beberapa kata, misalnya kata jam (dibaca [d͡ʒæm]).
Dalam bahasa Basque, diafonem yang dilambangkan oleh j dilafalkan berbeda-beda menurut dialek: [j], [ʝ], [ɟ], [ʒ], [ʃ], [x] (yang terakhir umum digunakan di País Vasco).
Dalam bahasa Indonesia, J awalnya melambangkan /j/, konsonan hampiran langit-langit. Sejak tahun 1972, bunyi tersebut digantikan dengan Y dan huruf J digunakan untuk melambangkan /dʒ/.
Dalam ejaan standar bahasa Italia modern, hanya kata dari bahasa Latin, nama diri (seperti Jesi, Letojanni, Juventus, dsb.) atau kata dari bahasa asing yang memakai J. Sampai abad ke-19, J cenderung digunakan daripada I dalam diftong, sebagai pengganti akhiran -ii, dan dalam kelompok vokal (seperti pada kata Savoja); aturan ini cukup ketat dalam pedoman ejaan resmi. J juga digunakan untuk menyerap bunyi /j/ dalam dialek, misalnya ajo dalam bahasa Romanesque menjadi aglio (–/ʎ/–). Novelis Italia Luigi Pirandello menggunakan J pada kelompok vokal dalam karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Italia; ia juga menulis bahasa ibunya, bahasa Sicilia dengan tetap mempertahankan penggunaan J.
Dalam bahasa Spanyol, J melambangkan /x/ atau /h/ (yang berkembang dari konsonan gesek /dʒ/), serupa dengan bunyi “h” atau “kh” Indonesia.
Dalam bahasa Perancis, Portugis dan Rumania, huruf J mulanya berbunyi /dʒ/ tetapi kini berubah menjadi /ʒ/ (seperti pada kata measure bahasa Inggris).
Dalam bahasa Turki, Azerbaijan dan Tatar, huruf J umumnya melambangkan bunyi /ʒ/.
“J” ialah satu-satunya huruf yang tidak ditemukan dalam sistem periodik unsur (namun Jl pernah digunakan untuk mewakili joliotium, dan J sendiri pernah dipakai untuk yodium[2]).
K
K adalah huruf ke-11 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, namanya disebut ka; dalam bahasa Inggris disebut kay, dibaca [ˈkɛɪ].
Huruf K berasal dari huruf Κ (kapa) Yunani, yang diambil dari huruf kap dalam abjad bahasa Semitik, yang berbentuk lambang tangan terbuka.[1] Huruf kap itu mungkin dipinjam oleh kaum Semit yang tinggal di Mesir dari hieroglif bentuk “tangan” yang melambangkan bunyi /d/ pada kata “tangan” dalam bahasa Mesir Kuno, yaitu d-r-t. Orang Semit menetapkan bunyi /k/ untuk huruf ini karena kata “tangan” dalam bahasa mereka diawali dengan bunyi tersebut.[2]
Pada prasasti kuno berbahasa Latin, huruf C, K dan Q dipakai untuk melambangkan bunyi /k/ dan /g/ (yang tidak dibedakan dalam penulisan). Dalam hal ini, Q digunakan untuk melambangkan /k/ atau /g/ sebelum vokal bulat, K sebelum /a/, dan C selain itu. Kemudian, penggunaan C (dan G sebagai variannya) menggantikan banyak penggunaan K dan Q. K tersisa hanya pada beberapa ejaan yang ketinggalan zaman seperti Kalendae, ‘hari pertama tiap bulan’.[3]
Ketika kata-kata Yunani diserap ke dalam bahasa Latin, huruf Kapa diubah menjadi C, dengan beberapa pengecualian seperti praenomen Kaeso.[1] Beberapa kata dari alfabet lainnya juga dialihaksarakan menjadi C. Maka dari itu, rumpun bahasa Roman hanya mengandung K pada kata-kata dari bahasa lain. Rumpun bahasa Keltik juga cenderung menggunakan C daripada K, dan pengaruh tersebut terbawa ke dalam bahasa Inggris Kuno. Di masa kini, bahasa Inggris adalah satu-satunya bahasa dari rumpun bahasa Germanik yang giat menggunakan huruf C keras di samping huruf K (walaupun bahasa Belanda juga memakai huruf C dalam kata pinjaman bahasa Latin serta mengikuti hukum pembedaan “lembut keras” dalam kata-kata tersebut, begitu pula bahasa Perancis dan Inggris, tetapi tidak bagi kosakata Belanda asli).
Beberapa ahli bahasa Inggris cenderung membalikkan proses alih aksara Latin bagi kata-kata khas Yunani, misalnya mengeja Hecate menjadi “Hekate”. Penulisan bahasa-bahasa yang tidak memiliki sistem tulisan sendiri sehingga menggunakan alfabet Latin biasanya memilih K untuk bunyi /k/, seperti Kwakiutl.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional, [k] merupakan lambang konsonan letup langit-langit belakang nirsuara.
Beberapa aksara lain juga menunjukkan aksara bersudut tajam yang menandakan bunyi /k/ atau suku kata yang bermula dengan bunyi /k/, contohnya: ك Arab, כ Ibrani, dan ㄱ Korea. Hubungan fonetik-visual seperti ini pernah dikaji oleh Wolfgang Köhler. Bagaimanapun, banyak juga contoh-contoh huruf berbunyi /k/, seperti ค dalam aksara Thai dan Ք dalam alfabet Armenia.
L
L adalah huruf ke-12 dalam alfabet Latin. Huruf ini disebut el, dibaca [ɛl]. Huruf L berasal dari bentuk huruf Semitik “tongkat” atau “kambing” yang mewakili bunyi /l/. Ini mungkin berdasarkan hieroglif Mesir yang telah diadaptasi oleh orang Semit untuk tujuan penulisan. Huruf Yunani Lambda Λ (huruf besar) atau λ (huruf kecil), yang juga merupakan huruf Etruska serta Latin, mewakili bunyi yang sama sebagaimana huruf Semitik tersebut.
Dalam bahasa Inggris, L memiliki beberapa nilai, tergantung kemunculannya sebelum atau setelah huruf hidup. Bunyi konsonan hampiran-sisi rongga-gigi (bunyi yang dilambangkan oleh Alfabet Fonetik Internasional sebagai “L” kecil) diucapkan bila mendahului vokal, seperti pada kata lip atau please, sementara bunyi hampiran-sisi rongga-gigi tervelarisasi (IPA: [ɫ]) dilafalkan pada kata bell dan milk. Velarisasi ini tidak muncul pada banyak bahasa-bahasa Eropa yang menggunakan L; itu juga merupakan faktor yang membuat pelafalan L menjadi sulit bagi pengguna bahasa yang tidak memiliki, atau memiliki nilai bunyi berbeda, untuk L^, eperti pada bahasa Jepang atau bahasa Tionghoa dialek selatan.
L dapat muncul sebelum hampir setiap bunyi letup, desis, atau gesek dalam bahasa Inggris. Dwihuruf umum seperti LL, yang memiliki nilai sama seperti L dalam bahasa Inggris, namun memiliki nilai berbeda yaitu konsonan desis-sisi ronga-gigi tak bersuara (IPA: /ɬ/) dalam bahasa Welsh, yang muncul pada awal kata.
Bunyi hampiran-sisi langit-langit atau L palatal (IPA: /ʎ/) muncul dalam berbagai bahasa, dan dilambangkan dengan GL dalam bahasa Italia, LL dalam bahasa Spanyol dan Katalan, LH dalam Portugis, dan Ļ dalam Latvia.
L adalah lambang angka 50 (lima puluh) atau tahun 50 dalam angka Romawi.
L juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam fisika, L adalah simbol panjang. L singkatan dari unit volume dalam sistem Satuan Internasional: liter.
M
M adalah huruf Latin modern yang ke-13. Namanya em, dibaca [ɛm]. Bentuk huruf M berasal dari huruf Fenisia Mem, melalui huruf Yunani Mu (Μ, μ). Huruf Mem Semitik kemungkinan besar melambangkan air. Diketahui bahawa masyarakat Semit yang hidup di Mesir kira-kira 2000 SM mengadaptasi hierogif “air” yang mulanya melambangkan konsonan sengau rongga-gigi (/n/), karena kata Mesir untuk “air” berbunyi “n-t”. Simbol itu dijadikan huruf M dalam bahasa Semitik, karena kata air dalam bahasa mereka diawali dengan bunyi tersebut.
Huruf M melambangkan bunyi konsonan sengau dwibibir (m), baik dalam bahasa klasik maupun modern. Dalam Alfabet Fonetik Internasional, huruf M kecil melambangkan konsonan sengau dwibibir, sedangkan variasi bentuknya (ɱ) melambangkan konsonan sengau bibir-gigi. Kamus Bahasa Inggris Oxford (edisi pertama) menyatakan bahawa huruf ‘m’ kadangkala berbunyi vokal dalam kata seperti spasm dan akhiran -ism. Dalam istilah modern, penggunaan demikian diuraikan sebagai konsonan suku ([m̩]).
N
N adalah huruf Latin yang ke-14. Namanya disebut en (dibaca [ɛn]). Salah satu hieroglif berupa ular di Mesir Kuno digunakan untuk melambangkan bunyi huruf J seperti dalam kata “jari”, karena perkataan Mesir bagi “ular” berbunyi djet. Dipercaya bahwa bangsa Semit di Mesir menyesuaikan hieroglif untuk menciptakan abjad pertama, dan maka dari itu menggunakan lambang ular bagi bunyi /n/, karena kata “ular” dalam bahasa mereka mungkin sekali diawali dengan konsonan tersebut, namun nama huruf ini dalam abjad Fenisia, Ibrani, Aramea dan Arab berbunyi nun, yaitu “ikan” dalam beberapa bahasa tersebut. Huruf ini berbunyi /n/, seperti dalam alfabet Yunani, Etruska, Latin dan semua bahasa di masa sekarang.
N berfungsi sebagai konsonan sengau gigi atau konsonan sengau rongga-gigi dalam hampir semua bahasa yang memakai alfabet. Dalam Alfabet Fonetik Internasional, huruf kecil [n] melambangkan konsonan sengau rongga-gigi. Huruf besar N yang dikecilkan ([ɴ]) melambangkan bunyi konsonan sengau tekak.
Salah satu dwihuruf yang menyertakan huruf adalah , yang menghasilkan konsonan sengau langit-langit belakang (dibaca [ŋ]), seperti pada kata “sengau”. Dalam bahasa Inggris, n biasanya tidak diucapkan saat diikuti oleh m, dalam kata seperti hymn (meskipun dilafalkan pada kata damnation). Pada beberapa kata, n dapat melambangkan bunyi konsonan sengau langit-langit belakang, contohnya kata think (dibaca [θɪŋk]) dan bank (dibaca [bæŋk]).
n adalah huruf kedua yang paling sering dipakai dalam bahasa Inggris. Yang pertama adalah t. Dalam beberapa bahasa seperti Italia dan Perancis, melambangkan konsonan sengau langit-langit (/ɲ/). Ejaan Portugis untuk bunyi tersebut adalah, sementara dalam bahasa Spanyol dan beberapa bahasa lainnya menggunakan tanda istimewa (n dengan tanda tilda di atasnya).
O
O adalah huruf Latin modern yang ke-15, disebut o. Dalam bahasa Indonesia dibaca [o], sedangkan dalam bahasa Inggris diucapkan sebagai diftong [ˈoʊ], bentuk jamaknya oes.[1] Biasanya huruf ini melambangkan bunyi vokal belakang setengah tertutup bulat. Dalam beberapa bahasa, ortografi masing-masing bahasa membuat nilai fonetik huruf ini berbeda-beda, seperti “eo” dalam bahasa Korea untuk bunyi [ʌ] (vokal belakang setengah terbuka takbulat); “oe” dalam bahasa Belanda untuk bunyi [u] (vokal belakang tertutup bulat).
Huruf O berasal dari huruf Semitik `Ayin (mata) yang melambangkan konsonan, kemungkinan konsonan desis hulu kerongkongan bersuara (ʕ), yang juga dilambangkan oleh huruf Arab ع (`Ayn). Huruf Semitik dalam bentuk asalnya nampaknya diilhami oleh bentuk hieroglif Mesir untuk “mata”.
Bangsa Yunani mengadakan inovasi huruf; oleh sebab tiadanya konsonan hulu kerongkongan, maka mereka meminjam huruf ini menjadi huruf omikron untuk melambangkan bunyi /o/, yaitu bunyi yang kemudian ditetapkan untuk huruf ini dalam bahasa Etruska dan Latin. Dalam tulisan Yunani, wujud huruf ini berlainan untuk membedakan bunyi o panjang (Omega, “O besar”) dengan o kecil (Omikron, “o kecil”).
Huruf O paling banyak dikaitkan dengan vokal belakang setengah tertutup bulat [o] dalam berbagai bahasa. Bentuk ini disebut long o ‘o panjang’ dalam bahasa Inggris, tetapi huruf o ini berbunyi diftong ([əʊ]); di Amerika pula [oʊ].
Dalam bahasa Inggris juga ada short O, ‘o pendek’ dengan berbagai pelafalan. Dalam kebanyakan dialek Britania Raya, huruf ini diucapkan sebagai vokal belakang terbuka bulat [ɒ]; di Amerika Utara diucapkan antara bunyi vokal belakang atau tengah tak bulat, baik [ɒ], [ɑː] maupun [a] bergantung pada dialek daerah.
Dwihuruf umum seperti OO, melambangkan bunyi /ʊ/ atau /uː/; OI biasanya melambangkan diftong /ɔɪ/; dan OA, OE, dan OU melambangkan berbagai pelafalan tergantung konteks dan etimologi.
Berbagai bahasa menggunakan O dengan nilai yang berbeda, biasanya sebagai lambang vokal belakang. Huruf pinjaman seperti Ö dan Ø diciptakan untuk sistem tulisan pada beberapa bahasa untuk membedakan bunyi vokal yang tidak dilambangkan oleh huruf Latin dan Yunani, khususnya vokal depan bulat.
Dalam IPA, [o] melambangkan vokal belakang setengah tertutup bulat.
P
P adalah huruf Latin modern yang ke-16. Dalam bahasa Indonesia disebut pe, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut pee (dibaca [ˈpiː]).
Huruf P berasal dari huruf Proto-Semitik Pi’t yang berarti “mulut”, yang juga menurunkan huruf Fenisia pe, serta huruf-huruf Yunani (Pi) dan Etruska yang berkembang dari huruf Fenisia tersebut. Semuanya melambangkan bunyi /p/, yaitu konsonan letup dwibibir nirsuara.
Bangsa Etruska mengadaptasi alfabet Yunani dan mengubah beberapa bentuk hurufnya, termasuk Pi yang melambangkan bunyi /p/. Lengkungan pada huruf P Etruska tidak tertutup, dan pada beberapa variasi, lengkungan itu justru tertutup; variasi bentuk tertutup tersebut juga merupakan lambang bunyi /r/ dalam alfabet Etruska. Bangsa Romawi mengadaptasinya dan menetapkan bentuknya sebagai P, sehingga menyerupai bentuk huruf R dalam alfabet Etruska dan huruf Ro dalam alfabet Yunani. Meskipun demikian, nilai bunyinya berbeda. Untuk melambangkan bunyi /r/, akhirnya bentuk varian dari Ro dengan garis diagonal ( ) diadaptasi menjadi huruf R oleh bangsa Romawi.
Dalam bahasa Indonesia, Melayu, Inggris dan berbagai bahasa yang memakai alfabet Latin, huruf P melambangkan bunyi konsonan letup dwibibir nirsuara.
Satu dwihuruf dalam bahasa Inggris dan Perancis yang melibatkan huruf P ialah “ph” yang menandakan bunyi konsonan desis bibir-gigi nirsuara /f/, dan digunakan untuk mengalihaksarakan huruf Phi (φ) dalam kata-kata pinjaman bahasa Yunani. Dalam bahasa Jerman, dwihuruf “pf” yang menandakan konsonan gesek bibir /pf/ kerap dijumpai.
Penutur bahasa Arab tidak biasa menyebut bunyi /p/ karena dalam bahasa mereka tidak ada bunyi konsonan ini; sebaliknya mereka cenderung menyebutnya seperti /b/ atau /v/.
Q
Q adalah huruf ke-17 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, namanya ki; dalam bahasa Inggris disebut cue (dibaca [ˈkjuː]) sedangkan dalam Bahasa Melayu ialah kyu. Nilai bunyi huruf Semitik Qôp (mungkin pada mulanya qaw ‘gulungan tali’, dan mungkin berdasarkan kepada hieroglif Mesir) adalah /q/ (konsonan letup tekak nirsuara), suatu bunyi biasa untuk rumpun bahasa Semit, tetapi tidak dijumpai dalam bahasa Inggris atau Indo-Eropa lainnya. Dalam bahasa Yunani, tanda itu diserap sebagai Qoppa Ϙ, mungkin melambangkan beberapa konsonan letup langit-langit terbibirkan, di antaranya adalah /kʷ/ dan /kʷʰ/. Hasil dari pergeseran bunyi di kemudian hari, membuat bunyi-bunyi ini dalam Bahasa Yunani berubah menjadi /p/ dan /pʰ/. Oleh karena itu, Qoppa telah diubah ke dalam dua huruf: Qoppa, yang hanya untuk bilangan; dan Phi Φ yang digunakan untuk konsonan aspirasi /pʰ/ dan disebut sebagai /f/ dalam Bahasa Yunani Modern. Orang Etruska menggunakan Q bersamaan dengan V untuk mewakili /kʷ/.
R
R adalah huruf Latin modern yang ke-18. Dalam bahasa Indonesia disebut er, dibaca [ɛr], sedangkan dalam bahasa Inggris disebut ar (dibaca [ɑr]).
Bentuk huruf Semitik asalnya mungkin diilhami dari hieroglif Mesir yang berarti “kepala”, disebut t-p dalam bahasa Mesir Kuno, tetapi dipinjam oleh orang Semit untuk lambang bunyi /r/ karena dalam bahasa mereka, kata “kepala” berbunyi Rêš (akhirnya menjadi nama hurufnya). Huruf tersebut berkembang menjadi Ρ ῥῶ (Rhô) Yunani dan R Latin. Kemungkinan beberapa bentuk huruf tersebut dalam bahasa Etruska dan Yunani Barat dibubuhi satu garis lagi agar berbeda bentuknya dari huruf P sekarang.
Bangsa Romawi mengadaptasi huruf P Etruska menjadi bentuk P yang sekarang, sedangkan bentuk P mirip sekali dengan huruf R dalam alfabet Etruska dan Yunani. Untuk membedakannya, maka bangsa Romawi menciptakan huruf R yang mirip dengan variasi huruf R dalam alfabet Etruska dan ro dalam alfabet Yunani, yaitu dengan garis diagonal di bawah lekukannya.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional (AFI), simbol [r] menandakan bunyi konsonan getar rongga-gigi. Variasi bentuk [r] dalam AFI digunakan untuk melambangkan konsonan getar dan rhotik lainnya. Beberapa bahasa memakai huruf r menurut ortografi (atau skema alih aksara Latin) masing-masing, baik sebagai konsonan getar maupun konsonan rhotik.
S
S adalah huruf ke-19 dalam alfabet Latin. Huruf ini disebut es, dibaca [ɛs].
Huruf Syin (“gigi”) dari rumpun bahasa Semit pernah melambangkan konsonan desis pascarongga-gigi nirsuara /ʃ/ (seperti dalam kata syarat). Bentuk asalnya mungkin menggambarkan gigi atau buah dada. Bahasa Yunani tidak mengandung bunyi /ʃ/ tersebut, maka huruf sigma (Σ) digunakan untuk mewakili /s/. Nama “sigma” barangkali diambil dari huruf Semitik “Sâmek” (ikan; tulang belakang) dan bukan “Šîn”. Dalam bahasa Etruska dan Latin, nilai bunyi [s] ditetapkan, dan hanya dalam bahasa modernlah huruf ini dipakai untuk mewakili bunyi lain, seperti konsonan desis pascarongga-gigi nirsuara [ʃ] dalam bahasa Hongaria dan Jerman (sebelum p, t), atau konsonan desis rongga-gigi bersuara [z] dalam bahasa Inggris (rise, ‘bangun’), Perancis (lisez, ‘baca’) dan Jerman (lesen, ‘membaca’).
Pada masa dahulu, suatu bentuk alternatif bagi s, yaitu ſ (s panjang), digunakan pada permulaan atau pertengahan kata dalam bahasa-bahasa Eropa tertentu; bentuk terkininya, s spendek, digunakan pada akhir perkataan. Contonhya, sinfulness (“penuh dosa”) ditulis ſinfulneſs menggunakan s panjang itu. Penggunaan long s merosot menjelang awal abad ke-19, untuk mengurangi kekeliruan dengan huruf f kecil. Ligatur “ſs” (atau “ſz”) dalam bahasa Jerman menjadi ess-tsett ( ß ).
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai alfabet Latin, serta juga Alfabet Fonetik Internasional, huruf s mewakili konsonan desis rongga-gigi nirsuara, kecuali bahasa Vietnam dan bahasa Hongaria. Di sana S melambangkan konsonan desis pascarongga-gigi nirsuara /ʃ/, seperti dwihuruf “sy” pada kata “syarat.” Bahasa-bahasa lain termasuk bahasa Inggris, Portugis dan Jerman mengandung kata-kata yang mana “s” mewakili bunyi /ʃ/ dan /z/.
Dalam ortografi bahasa Jerman, huruf ß digunakan sebagai pengganti ligatur “ss”, mewakili bunyi [s] nirsuara. Dalam bahasa Jerman huruf itu disebut Eszett, dibaca [ɛsˈtsɛt]. Huruf itu digunakan untuk melambangkan bunyi [s] di antara dua vokal, misalnya beißen (dibaca [baɪ̯sən], arti: ‘menggigit’); küssen (dibaca [kʏsən], arti: ‘mencium’).
Dalam beberapa bahasa, S juga digunakan untuk mewakili bunyi konsonan desis rongga-gigi bersuara ([z]), seperti dalam bahasa Yup’ik bila S ditulis di antara huruf hidup. Dalam bahasa Pinyin, bunyi /z/ tersebut menggunakan dwihuruf SS.
S juga digunakan sebagai lambang dalam ilmu pasti. Dalam ilmu kimia, S adalah simbol kimia untuk Sulfur (belerang). Dalam fisika, S digunakan sebagai simbol jarak. S juga merupakan singkatan dari unit waktu dalam sistem Satuan Internasional: sekon (detik).
T
T adalah huruf Latin modern yang ke-20. Dalam bahasa Indonesia disebut te; dalam bahasa Inggris disebut tee, dibaca [tiː]. Huruf ini merupakan huruf konsonan yang paling sering digunakan dalam bahasa Inggris.[1]
Taw merupakan huruf terakhir abjad Semitik Barat dan Ibrani, kemungkinan melambangkan silang atau salib. Nilai bunyi huruf Taw, Tαυ (Tau) Yunani, dan T Italik Kuno dan Romawi sama, yaitu menandakan fonem /t/; begitu juga dengan bentuk dasarnya dalam semua abjad-abjad tersebut.
Dalam banyak bahasa, huruf ini melambangkan konsonan letup rongga-gigi nirsuara. Dalam Alfabet Fonetik Internasional, konsonan tersebut dilambangkan sebagai [t].
Dalam bahasa Finlandia, Italia, Portugis, Swedia, dan beberapa dialek bahasa Indonesia, huruf ini melambangkan konsonan letup gigi nirsuara. Huruf ini juga dipakai dalam kebanyakan bahasa yang mengandung konsonan tersebut.
Dalam bahasa Inggris, jarang ditemui bahwa huruf ini melambangkan fonem [t͡ʃ] (konsonan gesek rongga-gigi nirsuara), contohnya dalam kata nature (dibaca [ˈneɪt͡ʃɚ]). Huruf H yang mengikuti T membentuk dwihuruf “th” yang melambangkan bunyi konsonan desis gigi, baik nirsuara (dibaca [θ]) maupun bersuara (dibaca [ð]).
U
U adalah huruf Latin modern yang ke-21. Dalam bahasa Inggris, huruf ini disebut u atau you, dibaca [ˈjuː]; bentuk jamaknya ues.[1][2] Biasanya melambangkan vokal belakang tertutup bulat ([u]), menggantikan fungsi huruf V yang beralih sebagai lambang konsonan desis bibir-gigi nirsuara.
Mosaik Yustinianus I di Basilika Sant’Apollinare Nuovo (abad ke-6). Vokal /u/ pada nama “Justinian” ditulis dengan huruf V sebelum terciptanya U, sementara konsonan /j/ dtulis dengan huruf I sebelum terciptanya J.
Huruf U berasal dari variasi huruf V pada masa Romawi Kuno. Asalnya dari huruf upsilon Yunani, yang melambangkan vokal /y/.
Pada akhir Abad Pertengahan, timbul dua bentuk huruf yaitu V dan U, kedua-duanya dipakai untuk bunyi /u/ dan /v/. Bentuk V yang meruncing ditulis di awal kata, sedangkan bentuk U bundar dipakai di tengah atau akhir kata tanpa memandang bunyinya. Oleh karena itu, kata-kata seperti valour dan excuse sama seperti ejaan zaman sekarang, tetapi kata have dan upon juga ditulis haue dan vpon. Akhirnya pada tahun 1700-an, agar bunyi konsonan dan vokal dipisahkan, bentuk V menandakan konsonan sementara bentuk U untuk vokal, maka lahirlah huruf U modern. Pada masa inilah tercipta huruf besar U; sebelum ini selalu dipakai huruf besar V. Mulanya, semenjak huruf U dan V dijadikan huruf yang terpisah, V mendahului U dalam susunan abjad, namun kini terjadi hal sebaliknya.
Huruf u dimasukkan dalam abjad Romawi oleh Petrus Ramus pada abad ke-16.[3]
Pada kebanyakan bahasa yang menggunakan sistem alfabet Latin, u melambangkan bunyi vokal belakang tertutup bulat, [u]*, demikian pula dalam Alfabet Fonetik Internasional.
Dalam bahasa Belanda, U dapat melambangkan bunyi [ɤ]* (vokal hampir depan hampir tertutup bulat), contohnya pada kata hut. Dwihuruf uu melambangkan [yː]*, vokal depan tertutup bulat dipanjangkan, contohnya kata fuut. Bunyi vokal belakang tertutup bulat (seperti “u” pada kata “ibu”) ditulis oe, contohnya kata hoed.
Dalam bahasa Inggris, biasanya huruf U melambangkan bunyi /juː/, sering disebut long u, ‘u panjang’, terutama bila di tengah kata, contohnya cute, amuse, music, dsb. Setelah Pergeseran Vokal Besar-besaran, U dapat melambangkan bunyi [ʌ]* (vokal belakang setengah terbuka takbulat), contohnya pada kata up, sub, cut, abduct, awalan un-, dsb. U dapat pula melambangkan vokal rhotik [ɜː]* (vokal madya setengah terbuka takbulat), contohnya pada kata burn, turd, fur, dsb.
Dalam bahasa Perancis, u melambangkan vokal depan tertutup bulat (simbol IPA: [y]), sementara ou melambangkan vokal belakang tertutup bulat (simbol IPA: [u]). Menurut posisi artikulasi, kedua vokal tersebut berlawanan (/y/ vokal depan sementara /u/ vokal belakang). Di Jerman, vokal /y/ (vokal depan) tersebut ditulis sebagai Ü untuk membedakannya dengan U (vokal belakang).
V
V adalah huruf Latin modern yang ke-22. Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut ve meski dibaca [fe], sedangkan dalam bahasa Inggris disebut vee, dibaca [viː]. Awalnya huruf ini melambangkan bunyi [u], vokal belakang tertutup bulat, namun vokal tersebut menjadi huruf tersendiri (U), sementara V menjadi lambang bunyi [v]* (konsonan desis bibir-gigi bersuara). Dalam bahasa Indonesia sering dilafalkan seperti [f]* (konsonan desis bibir-gigi tak bersuara). Huruf V berasal dari huruf Semitik Waw, begitu juga huruf-huruf modern F, U, W, dan Y. Huruf Semit kemudian memengaruhi huruf Fenisia, Yunani, dan Etruska. Huruf Latin dipengaruhi oleh huruf Yunani, dengan perubahan seperlunya karena alasan penyesuaian fonologi dan sebagainya.
Dalam bahasa Yunani, huruf upsilon (Υ) diadaptasi dari huruf waw, awalnya untuk melambangkan bunyi vokal /u/ seperti pada kata “bulan”, kemudian berubah menjadi /y/ (vokal depan tertutup bulat), yaitu sama seperti pelafalan huruf ü dalam bahasa Jerman.
Prasati pada Arch of Titus di Roma, Italia (abad pertama Masehi). Pada tulisan Latin kuno tersebut, vokal /u/ ditulis dengan huruf V, sehingga ejaan SENATVS dialihaksarakan sebagai SENATUS setelah terciptanya huruf U.
Dalam bahasa Latin, huruf upsilon ini dipinjam dalam bentuk huruf V (tanpa batang) untuk menandakan bunyi /u/ yang sama, dan juga bunyi konsonan /w/. Oleh karena itu, kata num—atau asalnya dieja NVM—disebut “noom” (/num/) sementara kata via/VIA disebut “wi-a” (/wia/). Mulai abad pertama Masehi, bergantung pada dialek setempat, konsonan /w/ berubah menjadi /β/, dan akhirnya menjadi /v/.
Ketika akhir Zaman Pertengahan, timbulnya dua bentuk huruf v atau u, kedua-duanya dipakai untuk bunyi /u/ dan /v/. Bentuk v bersudut ditulis di awal kata, sedangkan bentuk u bundar dipakai di tengah atau akhir kata tanpa menghiraukan bunyinya. Oleh itu, kata-kata seperti valour dan excuse sama seperti ejaan zaman sekarang, tetapi kata have dan upon ditulis haue dan vpon. Akhirnya pada tahun 1700-an, agar bunyi konsonan dan vokal diasingkan, bentuk v menandakan konsonan sementara bentuk u untuk vokal, maka lahirlah huruf u modern. Pada masa itulah tercipta huruf besar U; sebelumnya selalu dipakai huruf besar V. Mulanya, semenjak huruf u dan v dijadikan huruf yang berbeda, v mendahului u dalam susunan alfabet, tapi kini terjadi sebaliknya.
Mosaik Justinianus I di Basilika Sant’Apollinare Nuovo (abad ke-6). Vokal /u/ pada nama “Justinian” ditulis dengan huruf V sebelum terciptanya U, sementara konsonan /j/ dtulis dengan huruf I sebelum terciptanya J.
Dalam sistem angka Romawi, huruf V melambangkan nomor 5 atau tahun 5, karena menyerupai kebiasaan menghitung takik yang diukir pada kayu, yaitu setiap takik kelima dikerat dua agar membentuk “V”.
Dalam sistem Alfabet Fonetik Internasional, /v/ menandakan bunyi konsonan desis bibir-gigi bersuara.
Dalam bahasa Irlandia, huruf ‹v› kebanyakan digunakan pada kata serapan, seperti veidhlín dari bahasa Inggris violin. Tetapi bunyi [v] muncul secara alami dalam bahasa Irlandia saat bunyi /b/ mengalami lenisi atau “dilembutkan”, ditulis menurut ortografi dengan ‹bh›, sehingga bhí dilafalkan [vʲiː], an bhean dilafalkan [ən̪ˠ ˈvʲan̪ˠ], dsb.
Bahasa Polandia tidak menggunakan huruf V, demikian pula Q dan X. Akan tetapi, bahasa mereka mengandung bunyi /v/, yang dilambangkan oleh huruf W, mengikuti kaidah dalam bahasa Jerman.
Dalam sistem pinyin bahasa Mandarin, semua huruf Latin digunakan kecuali huruf V, karena tidak ada bunyi [v] dalam bahasa Mandarin, tetapi huruf “v” dipakai kebanyakan kaedah pengetikan sebagai pengganti huruf “ü” yang umumnya tidak tersedia pada papan tombol biasa. Romanisasi merupakan kaidah yang banyak dilakukan untuk mengetik bahasa Tionghoa secara fonetik.
Dalam alih aksara bahasa Sanskerta atau IAST, huruf V digunakan sebagai lambang bunyi [ʋ]* (konsonan hampiran bibir-gigi), yang dalam aksara Dewanagari ditulis व. Dalam aksara turunan Brahmi lainnya (misalnya aksara Thai, Jawa, Bali, dsb) yang melestarikan kata serapan dari bahasa Sanskerta, bila dalam fonologi bahasa bersangkutan tidak mengandung bunyi konsonan hampiran bibir-gigi, maka lambang konsonan tersebut dalam aksara mereka seringkali tergantikan oleh konsonan hampiran langit-langit belakang terbibirkan (simbol IPA: /w/), yang ditulis dalam huruf Latin sebagai W.
Huruf V juga digunakan sebagai lambang dalam ilmu pasti. V adalah simbol kimia untuk Vanadium. Dalam Fisika, v menjadi Simbol kecepatan dan volume (berasal dari kata velocity, ‘kecepatan’). Dalam linguistik, v menjadi simbol kata kerja (verba). V juga merupakan singkatan dari unit tegangan listrik dalam sistem Satuan Internasional: volt.
Beberapa bahasa memiliki penyebutan V yang berbeda-beda:
• Indonesia: ve [fe], pengucapannya mirip seperti pengucapan huruf F, yaitu konsonan desis bibir-gigi tak bersuara.
• Italia: vi [ˈvi] atau vu [ˈvu]
• Jerman: fau [ˈfaʊ]
• Katalan: ve, dilafalkan [ˈve], namun dalam dialek yang tidak memiliki bunyi /v/ dinamakan ve baixa [ˈbe ˈbajɕə] “vi rendah”.
• Portugis: vê [ˈve]
• Perancis: vé [ve]
• Spanyol: uve [ˈuβe] direkomendasikan, tetapi ve [ˈbe] secara tradisional. Karena keduanya dilafalkan /b/ dalam bahasa Spanyol[1], diperlukan istilah untuk membedakan ve dari be, yaitu huruf ‹b›. Dalam beberapa wilayah huruf itu disebut ve corta, ve baja, ve pequeña, ve chica atau ve labiodental.
Dalam bahasa Jepang, V sering disebut “bui” (ブイ). Nama ini adalah penyesuaian dengan nama dalam bahasa Inggris, yang mensubtitusi konsonan letup dwibibir bersuara untuk bunyi konsonan desis bibir-gigi bersuara (yang tidak ada dalam fonologi bahasa Jepang) dan berbeda dengan “bī” (ビー), nama Jepang untuk huruf B. Bunyi itu dapat ditulis dengan simbol katakana 「ヴ」 (vu) yang kini sudah dikembangkan,[2] sehingga menjadi va, vi, vu, ve, vo (ヴァ, ヴィ, ヴ, ヴェ, ヴォ?), meskipun pelafalannya (saat diterapkan) bukanlah bunyi konsonan desis bibir-gigi bersuara seperti dalam bahasa Inggris. Selain itu, beberapa kata seringkali dieja dengan b daripada vu (contoh: “violin” seringkali dieja baiorin (バイオリン?) daripada vaiorin (ヴァイオリン?); karena kecenderungan untuk memakai konsonan yang tersedia dalam fonologi bahasa Jepang daripada konsonan asing).
X
X adalah huruf ke-24 dalam alfabet Latin. Huruf ini dibaca /ɛks/. Dalam ilmu fonetik, x adalah lambang IPA dan X-SAMPA bagi konsonan desis langit-langit belakang nirsuara, seperti dwihuruf “kh” pada kata “khusus” dalam bahasa Indonesia.
Pada mulanya, gabungan konsonan /ks/ dalam bahasa Yunani Kuno ditulis sama, sebagai Khi Χ (dialek Barat) atau Ksi Ξ (dialek Timur). Akhirnya, Khi digunakan untuk bunyi /kʰ/ (/x/ dalam bahasa Yunani Modern), sementara Ksi digunakan untuk bunyi /ks/. Orang Etruska telah mengambil alih Χ dari dialek Yunani Barat Kuno; maka, X mewakili bunyi /ks/ dalam bahasa Etruska dan Latin.
Tidak diketahui apakah huruf Khi dan Ksi merupakan ciptaan orang Yunani, ataupun berasal dari rumpun bahasa Semit. Khi diurutkan hampir pada akhir susunan alfabet Yunani, setelah huruf-huruf asal Semit, bersama dengan Fi, Psi, dan Omega, dengan gagasan bahwa huruf-huruf itu merupakan inovasi; terlebih lagi, tidak terdapat huruf yang mewakili bunyi /ks/ secara terperinci dalam bahasa Semit. Terdapat satu huruf Fenisia kheth yang kemungkinan berbunyi /ħ/, agak serupa dengan /kʰ/, tetapi mulanya diterima dalam alfabet Yunani sebagai konsonan /h/, dan kemudian, digunakan untuk bunyi vokal panjang Eta (Η,η), maka huruf itu tidak tampak sebagai asal huruf Khi. Huruf Fenisia Samekh (mewakili /s/) sering dianggap sebagai inspirasi bagi Ksi, namun seperti yang diterangkan, Khi mempunyai bentuk yang berbeda dari Ksi—meskipun huruf itu mungkin merupakan variasi lain yang juga berasal dari samekh. Bentuk asal samekh barangkali merupakan hieroglif Mesir bagi Djed, namun ini juga tidak pasti karena tidak ada bentuk Protosinaitik bagi huruf ini yang identik dengannya.
Penggunaannya dalam keseharian adalah sebagai berikut:
• Dalam Alfabet Fonetis International, [x] adalah simbol konsonan desis langit-langit belakang nirsuara.
• Dalam alfabet Latin, X melambangkan bunyi /ks/.
• Dalam Angka Romawi, X melambangkan bilangan 10 (sepuluh) atau tahun 10.
• Dalam beberapa bahasa, sebagai perubahan nilai fonetik dan adaptasi tulisan tangan, X dilafalkan berbeda-beda.
• Dalam bahasa Indonesia, X dipakai dalam istilah yang diserap dari bahasa asing, misalnya xenon.
• Dalam bahasa Inggris, X adalah huruf untuk gugus konsonan [ks]; atau kadang-kadang apabila diikuti oleh suku kata beraksen yang diawali dengan bunyi vokal, atau apabila diikuti oleh “h” nirsuara dan bunyi vokal beraksen [gz] (cth. exhaust, exam); lazimnya diucapkan [z] apabila menjadi huruf pertama suatu kata (cth. xylophone), serta dalam beberapa kata majemuk bunyi [z] tidak berubah (cth. meta-xylene). X juga melambangkan bunyi [kʃ] dalam perkataan yang berakhir dengan -xion. X juga melambangkan bunyi [gʒ] atau [kʃ], misalnya dalam kata luxury dan sexual. Apabila huruf X mengawali kata dalam bahasa Inggris seperti xynene dan bunyi z yang dihasilkan, maka huruf X tidak diucapkan. X di akhir kata biasanya diucapkan [ks] (cth. ax/axe) kecuali dalam kata pinjaman seperti faux (lihat ulasan bagi bahasa Perancis, di bawah).
• Dalam bahasa Melayu, X bukan saja merupakan huruf yang paling sedikit digunakan di seluruh kosakata bahasa Melayu, huruf ini seolah-olah tidak pernah digunakan kecuali bagi kata-kata yang menyebut nama huruf ini dalam kata tersebut (cth: sinar-X). Bagi kata-kata pinjaman dari bahasa lain yang mengandung huruf “x” seperti sex dan xylophone, huruf x diganti dengan “ks” ([ks] di tengah atau akhir kata) atau “z” ([z] di awal kata), sehingga dieja seks dan zilofon.
• Dalam bahasa Perancis, di akhir kata, X tidak diucapkan (atau dibaca [z] jika mengikuti bunyi vokal). Penggunaan ini timbul sebagai perubahan tulisan bagi akhiran -us. Terdapat dua pengecualian, yaitu x disebut [s] dalam six dan dix, namun dibaca [z] dalam sixième and dixième.
• Dalam bahasa Spanyol lama, X disebut seperti [ʃ] karena bahasa ini masih sebunyi dengan bahasa Iberia yang lain. Kemudian, bunyi ini berubah menjadi bunyi [x] yang keras. Dalam bahasa Spanyol modern, bunyi [x] dieja dengan j, atau dengan g sebelum e dan i, namun x dikekalkan bagi sesetengah nama (misalnya México, yang beralternasi dengan Méjico). Kini, X mewakili bunyi [s] (sebagai huruf pertama perkataan), atau gagasan konsonan [ks] dan [gs] (cth. oxígeno, examen). Lebih jarang lagi; seperti dalam bahasa Spanyol lama, huruf x boleh disebut sebagai [ʃ] di hari ini dalam kata-kata nama khas seperti Raxel (variasi Rachel) dan Xelajú. Dalam variasi bahasa Spanyol di Amerika dan seseo, digraf xc di excelente disebut sebagai [ks] tetapi di Spanyol, kombinasi konsonan tersebut disebut [ks-θ].
• Dalam bahasa Albania, x mewakili [dz], sementara digraf xh mewakili [dʒ].
• Dalam Hanyu Pinyin, sistem transkripsi resmi bagi bahasa Mandarin, huruf x mewakili bunyi konsonan desis pralangit-langit tidak bersuara (/ɕ/).
• Dalam bahasa Jerman dan bahasa Italia, X digunakan terutama dalam kata serapan.
Y
Y adalah huruf Latin modern yang ke-25. Dalam bahasa Indonesia disebut ye; dalam bahasa Inggris disebut wye atau wy (dibaca [ˈwaɪ], jamak: wyes).[1] Dalam berbagai bahasa, Y memiliki nilai bunyi yang berbeda-beda. Alfabet Fonetis Internasional memakai huruf Y kecil sebagai lambang bunyi vokal bulat depan tertutup.
Leluhur asal huruf Y merupakan huruf Yunani upsilon.
Penggunaan huruf Y dalam alfabet Latin berawal dari abad pertama SM. Huruf itu digunakan untuk menulis kata pinjaman dari bahasa Yunani, sehingga Y bukan huruf untuk menulis kosakata asli bahasa Latin dan biasanya dilafalkan /u/ atau /i/. Pelafalan yang kedua menjadi umum pada masa klasik dan digunakan oleh banyak orang kecuali kalangan terpelajar. Claudius, Kaisar Romawi memperkenalkan huruf baru ke dalam alfabet Latin untuk melambangkan apa yang disebut sonus medius (vokal pendek sebelum konsonan bibir), tetapi kadangkala dalam prasasti ditulis sebagai huruf upsilon dari Yunani.
Pada masa Yunani Kuno, huruf Υ (Upsilon) melambangkan [u], sebelum beralih ke [y]* (vokal depan tertutup bulat). Mulanya bangsa Romawi Kuno mengadaptasi huruf ini menjadi huruf V, untuk menandakan bunyi vokal /u/ dan konsonan /w/, tetapi tidak lama kemudian, oleh karena sebutan Ypsilon dalam bahasa Yunani beranjak ke vokal /y/, maka bangsa Romawi meminjam huruf Yunani tersebut sesuai bentuk asalnya termasuk garis vertikal di bawahnya, khususnya untuk menandai nama-nama dan kata-kata pinjaman bahasa Yunani. Y dinamakan Y Graeca, ‘Y Yunani’. Tak diragukan lagi bahwa pelafalannya I Graeca, ‘I Yunani’, karena penutur bahasa Latin sulit mengucapkan vokal depan [y]*, yang tidak terdapat dalam kosakata asli bahasa Latin. Dalam rumpun bahasa Roman, pelafalannya menjadi nama yang umum: i griega dalam bahasa Spanyol, i grec dalam bahasa Perancis, dsb.
Huruf Y digunakan dalam bahasa Inggris Kuno dan Latin untuk melambangkan fonem /y/; namun, ada yang menganalisa penggunaan ini merupakan kreasi tersendiri di Inggris dengan menggabungkan V ke atas I, tanpa menghubungkan penggunaan huruf ini dalam bahasa Latin. Mungkin juga bahwa huruf Y, meskipun dinamakan Y Græca (dibaca [u gre:ka]) atau ‘u Yunani’ agar dibedakan dari /u/ dalam bahasa Latin, tetap dianalisa sebagai huruf V (disebut /uː/) di atas huruf I (disebut /iː/). Maka huruf Y dipanggil [uː iː]; setelah /uː/ menjadi /w/ dan setelah pergeseran vokal besar-besaran dalam bahasa Inggris maka sebutannya menjadi /waɪ/.
Pada masa bahasa Inggris Pertengahan, kebundaran vokal /y/ (vokal depan tertutup “bulat”) memudar sehingga bunyinya mirip dengan vokal /iː/ (vokal depan tertutup “tak bulat”) dan /ɪ/. Maka dari itu, banyak kata yang awalnya dieja dengan I kemudian dieja dengan Y, dan demikian sebaliknya. Penggantian serupa terjadi dalam kosakata Latin: kata asli silva (“kayu”) dieja dengan Y dalam kata Pennsylvania.
Demikian pula, Y vokal dalam bahasa Inggris Modern dilafalkan mirip I, tetapi bahasa Inggris modern menggunakannya hanya dalam kata-kata tertentu, tidak seperti bahasa Inggris Pertengahan dan awal Modern. Huruf itu memiliki tiga kegunaan: pengganti upsilon dalam kata serapan dari bahasa Yunani (system; Yunani: σύστημα), di akhir kata (rye, city; bandingkan cities, yang huruf akhirnya adalah S), dan dalam kata dasar bersuku kata satu dengan akhir vokal (dy-ing).
Saat mesin cetak diperkenalkan dari daratan utama Eropa, William Caxton dan tukang cetak dari Inggris lainnya menggunakan Y sebagai pengganti Þ (thorn: setara dengan th dalam bahasa Inggris Modern), yang tidak tersedia dalam tipe huruf dari daratan utama Eropa. Dari cara ini munculah perubahan ejaan “the” menjadi “ye” dalam umpatan kuno “Ye Olde Shoppe”. Terlepas dari ejaan, pelafalannya tetap sama seperti “the” masa kini (/ðiː/ atau /ðə/). Ye (/jiː/) merupakan pelafalan ejaan modern asli.[2]
Penggunaan huruf Y untuk bunyi konsonan [j]* (year, Jahr, yang) kemungkinan tidak terkait dengan pengunaannya sebagai huruf vokal. Kemungkinan huruf itu merupakan pengganti huruf yogh (Ȝȝ) dalam bahasa Inggris Pertengahan yang melambangkan bunyi /j/. Yogh yang melambangkan bunyi lainnya, [ɣ]* (konsonan desis langit-langit belakang), kemudian ditulis dengan dwihuruf gh dalam bahasa Inggris Modern.
Dalam bahasa Spanyol, huruf Y disebut i/y griega, dalam bahasa Katalan i grega, dalam bahasa Perancis dan Romania i grec, dalam bahasa Polandia igrek yang semuanya berarti “I Yunani”; pada kebanyakan bahasa Eropa lainnya, nama Yunani asalnya masih dipakai; dalam bahasa Jerman, namanya Ypsilon (atau “Üpsilon”) dan dalam bahasa Portugis ípsilon atau ípsilo.[3] Mulanya huruf Y diciptakan sebagai huruf vokal, tetapi lama-kelamaan dijadikan konsonan dalam kebanyakan bahasa.
Jika tidak dibaca sebagai vokal kedua dalam diftong, huruf ini memiliki nilai bunyi /y/ dalam rumpun bahasa Skandinavia dan /ʏ/ dalam bahasa Jerman. Y tidak pernah dianggap sebagai konsonan (kecuali dalam kata serapan), namun dalam diftong, seperti pada nama Meyer, huruf itu berperan sebagai variasi “i”.
Dalam bahasa Belanda, Y hanya muncul pada kata serapan dan nama yang biasanya melambangkan bunyi /i/. Huruf ini biasanya diabaikan dalam alfabet bahasa Belanda dan digantikan oleh ligatur “IJ”. Dalam bahasa Afrikaans, perkembangan bahasa Belanda, Y melambangkan diftong [ɛi], kemungkinan karena percampuran huruf kecil i dan y atau mungkin berasal dari ligatur IJ.
Dalam bahasa Faroe dan Islandia, huruf itu selalu dilafalkan i. Dalam kedua bahasa tersebut, huruf itu juga menjadi bagian dari pengejaan diftong: ey (keduanya) dan oy (hanya bahasa Faroe).
Dalam bahasa Spanyol, Y digunakan sebagai inisial pengganti huruf I agar lebih mudah dibedakan (sedangkan Jerman menggunakan huruf J karena alasan yang sama). Maka dari itu “el yugo y las flechas” adalah simbol yang berbagi inisial Isabella I dari Castilla (Ysabel) dan Ferdinand II dari Aragon. Ejaan ini direformasi oleh Royal Spanish Academy dan kini hanya ditemukan pada nama diri yang dieja secara kuno, seperti Ybarra atau CYII, simbol Canal de Isabel II. X juga masih digunakan dalam bahasa Spanyol dengan pengucapan berbeda pada beberapa ejaan kuno.
Sebagai suatu kata, huruf Y merupakan kata penghubung yang berarti “dan” dalam bahasa Spanyol dan dilafalkan [i]*.
Dalam marga Spanyol, y dapat memisahkan marga ayah dengan marga ibu, contohnya “Santiago Ramón y Cajal”; contoh lainnya “Maturin y Domanova”, dari seri novel karya Jack Aubrey. Nama dalam bahasa Katalan menggunakan i untuk hal ini. Selain itu, Y melambangkan bunyi [ʝ]* (konsonan desis langit-langit bersuara) dalam bahasa Spanyol. Saat muncul sebelum bunyi vokal [i], Y digantikan oleh E, contoh: “español e inglés”. Hal ini untuk menghindari pelafalan [i] dua kali.
Dalam Finlandia dan Albania, Y biasanya dilafalkan [y]*.
Sebelum tahun 1972, bahasa Indonesia menggunakan huruf J sebagai lambang bunyi [j] (konsonan hampiran langit-langit). Meskipun demikian, huruf Y juga digunakan sebagai lambang bunyi yang sama namun jarang ditemui; contohnya pada nama Mohammad Yamin, dan Pramoedya Ananta Toer (untuk menghindari kekeliruan karena “dj” dilafalkan [d͡ʒ] atau [ɟ]). Setelah ditetapkannya Ejaan Yang Disempurnakan, maka huruf Y menggantikan posisi J. Demikian pula pada dwihuruf “nj” diganti dengan “ny”.
Dalam bahasa Italia, Y (i greca atau ipsilon) digunakan dalam beberapa kata serapan.
Dalam bahasa Polandia dan Guaraní, huruf itu melambangkan bunyi vokal [ɨ]* (vokal madya tertutup takbulat).
Dalam Lithuania, Y adalah huruf ke-15 dan merupakan huruf hidup. Huruf itu disebut i panjang dan dilafalkan [iː] seperti kata see dalam bahasa Inggris.
Dalam Welsh huruf itu dilafalkan [ə]* (vokal madya) dalam kata bersuku kata tunggal atau suku kata tak akhir, dan [ɨ] atau [i] (tergantung aksen) dalam suku kata akhir.
Saat digunakan sebagai huruf hidup dalam Vietnam, huruf y melambangkan vokal depan tertutup takbulat. Saat dipakai sebagai monoftong, fungsinya setara dengan huruf i dalam alfabet bahasa Vietnam. Ada upaya untuk mengganti penggunaan i seluruhnya, namun tampaknya sebagian besra gagal. Sebagai bunyi konsonan, huruf itu melambangkan bunyi hampiran langit-langit.
Dalam Aymara, Melayu, Turki, Quechua dan Romanisasi Jepang, huruf Y adalah konsonan langit-langit, khususnya [j]* (konsonan hampiran langit-langit).
Dalam Alfabet Fonetis Internasional, [y] mewakili bunyi vokal depan tertutup bulat, dan huruf yang agak berbeda yaitu [ʏ] melambangkan vokal hampir depan hampir tertutup bulat.
Merupakan indikasi kelangkaan vokal bulat depan karena [y] adalah suara paling langka dalam Alfabet Fonetis Internasional yang diwakili oleh huruf Latin, kurang dari setengah penggunaan [q] atau [c] dan hanya sekitar seperempat penggunaan [x].
Z
Z ialah huruf Latin modern yang ke-26 dan terakhir, disebut zed, dibaca [zɛd]. Di Amerika, Z disebut zi, dibaca [ziː].
Huruf Z berasal dari huruf Yunani zeta, yang diturunkan dari huruf Proto-Semitik (Semitik awal). Nama huruf Semitik asalnya adalah zayin, yang mungkin bermakna “senjata”, serta merupakan huruf ketujuh dalam abjad tersebut. Huruf itu seperti pelafalan z dalam bahasa Inggris dan Perancis, atau kemungkinan besar seperti bunyi konsonan gesek /d͡z/ dalam bahasa Italia.
Bentuk Z (huruf kecil: ζ) Yunani merupakan kerabat dekat huruf Fenisia I, dan bentuk hurufnya dalam prasasti-prasati tetap bertahan sepanjang zaman kuno. Orang Yunani memanggilnya zeta, dan nama baru dibuat berdasarkan huruf ini yaitu eta (η) dan theta (θ).
Pada bahasa Yunani awal di Athena dan Yunani Barat Laut, huruf itu melambangkan bunyi /dz/; dalam bahasa Yunani Attika, dari abad ke-4 SM hingga seterusnya, huruf itu dapat melambangkan /zd/ maupun /dz/, dan pada kenyataannya tidak ada konsensus yang memperhatikan masalah ini. Pada dialek lainnya, seperti Elea dan Kreta, simbol itu pernah digunakan untuk menandakan bunyi th bersuara dan nirsuara dalam bahasa Inggris (IPA: /ð/ dan /θ/). Pada dialek umum (bahasa Yunani Koine) yang menggantikan dialek terdahulu, ζ melambangkan bunyi /z/, dan bertahan hingga bahasa Yunani Modern.
Dalam alfabet Etruska, huruf Z munngkin menandakan bunyi konsonan gesek /ts/; dalam bahasa Latin pula, /dz/.
Dalam bahasa Latin awal, bunyi /z/ berubah menjadi /r/ karena rhotasisme sehingga huruf yang melambangkan bunyi /z/ menjadi tidak berguna. Maka sekitar tahun 300 SM, huruf Z disingkirkan oleh Censor Appius Claudius Caecus, lalu tempatnya semula digantikan oleh huruf baru, G.
Pada abad pertama SM, huruf Z diterapkan kembali ke dalam alfabet Latin agar menandakan bunyi zeta Yunani dengan lebih tepat daripada penulisan S di awal kata dan ss di tengah kata yang diterapkan sebelumnya, contoh: sona = ζωνη, “tali pinggang”; trapessita = τραπεζιτης, “bankir”. Huruf ini hanya muncul pada kata-kata pinjaman Yunani, dan Z bersama Y merupakan dua huruf yang dipinjam oleh bangsa Romawi dari Yunani.
Dalam Bahasa Latin Vulgar, huruf zeta Yunani nampaknya menandakan bunyi (/dj/), dan kemudian (/dz/); D dipakai untuk bunyi /z/ dalam kata-kata seperti baptidiare sebagai ganti baptizare (“baptis”); sebaliknya Z dijadikan tanda bunyi /d/ dalam bentuk-bentuk seperti zaconus bagi diaconus (“paderi”); dan zabulus untuk diabulus (“iblis”). Z juga sering ditulis sebagai pengganti konsonan I (yaitu, J, IPA: /j/) seperti zunior untuk junior, ‘lebih muda’.
Di masa sebelumnya, alfabet bahasa Inggris yang digunakan oleh anak-anak tidak diakhiri dengan Z, melainkan dengan & atau simbol tipografi yang menyerupainya.
Bentuk lain dari huruf Z yang berasal dari tipe huruf Goth dan Blackletter Modern Awal adalah “z berekor”. Bentuk huruf z berekor ini bergabung dengan bentuk huruf s panjang, menjadi ligatur ß dalam ejaan bahasa Jerman.
Suatu bentuk variasi Z berekor yaitu Ezh, dimasukkan dalam Alfabet Fonetik Internasional sebagai tanda bunyi konsonan desis pascarongga-gigi bersuara (IPA: [Ʒ]).
Z dalam tipe huruf Antiqua dapat mirip dengan karakter yang menggambarkan angka 3 dalam tipe huruf lainnya.
Unicode menetapkan titik kode untuk “BLACK-LETTER CAPITAL Z” dan “FRAKTUR SMALL Z” dalam lajur Letterlike Symbols dalam Mathematical alphanumeric symbols, masing-masing pada U+2128 ℨ dan U+1D537 𝖟.
Dalam bahasa Melayu, huruf “z” berbunyi konsonan desis rongga-gigi bersuara yang terdapat dalam kata-kata pinjaman bahasa Arab, Persia dan Eropa; misalnya: “ziarah”, “zapin” dan “zoo”, begitu juga dengan bahasa Inggris seperti dalam perkataan “zip”, “realize” dan sebagainya. Adakalanya dalam bahasa Inggris, “z” membawa bunyi konsonan desis pascarongga-gigi bersuara (IPA: [Ʒ]) seperti dalam kata “azure”.
Dalam bahasa Italia, huruf Z menandakan dua fonem, yaitu /ts/ dan /dz/; dalam bahasa Jerman, huruf Z melambangkan /ts/; dalam bahasa Spanyol Castellano /θ/ (yaitu th dalam kata thing bahasa Inggris), tetapi dalam dialek lain (Amerika Latin, Andalusia) bunyinya /s/.
Dalam sistem pinyin bahasa Mandarin “z” disebut [ts]. Dalam romanisasi bahasa Jepang pula, huruf z menandakan bunyi [z] dan [dz].
Sistem IPA memakai simbol [z] untuk konsonan desis rongga-gigi bersuara. Dalam bahasa Inggris, beberapa huruf S dilafalkan /z/, seperti dalam kata “closed”.