Selamat Datang Di Kampus Ceria.. MADRASAH IBTIDAIYAH MUHAMMADIYAH KAYUTREJO " Mandiri Santun Cerdas " (Mimka MSc) Status Terakreditasi ~ Terimalah Salam Kami Asalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarokaatuh, Mimka Selalu ada yang baru. "Silaturrohmi Alumni, Menjalin Ukhuwah Dunia Akhirat; Mempersiapkan Siswa - Siswi Madrasah yang Mandiri, Santun dan Cerdas

Rabu, 02 Mei 2012

Sejarah Hari Pendidikan Nasional



Kita selama ini mengenal bahwa hari pendidikan nasional kita itu berdasarkan awal adanya sekolah Taman Siswa yang dianggap sebagai tempat pendidikan pertama di Indonesia, sehingga tanggal lahir pendirinya, Ki Hadjar Dewantara, pun ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional. Mengapa itu bisa terjadi. Bukankah jauh-jauh hari sebelum adanya Taman Siswa sudah ada berbagai pondok pesantren yang mengajarkan pendidikan di tengah-tengah masyarakat kecil.

Okelah kalo misalnya pondok pesantren yang merupakan tempat pendidikan tidak dianggap, mungkin karena identik dengan Islam. Terus, sebelumnya juga apa tidak ada sekolah yang didirikan pertama kali. Padahal jika kita mau melihat sejarah kembali KH. Achmad Dahlan dengan Persyarikatan Muhammadiyahnya, telah mendirikan sekolah yang berada di mana-mana, bahkan plus panti asuhan yatim piatu. Tidak pilih-pilih murid pula.

Terus atas dasar apa hari pendidikan nasional kita ditetapkan? 

Persyarikatan Muhammadiyah merupakan gerakan anti imperialisme yang dipengaruhi oleh ide Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani. Persyarikatan Muhammadiyah pun telah dicurigai oleh pemerintah kolonial Belanda karena mempunyai sifat anti penjajah yang sudah barang tentu membahayakan eksistensi penjajah manapun, Berdiri pada tanggal 18 November 1912, Persyarikatan Muhammadiyah menunjukkan diri sebagai gerakan sosial pendidikan.

Ini merupakan hasil pemikiran KH. Achmad Dahlan berdasarkan uraian al-Qur’an dalam surat al-Ma’uun. Dengan melihat kondisi umat Muslim yang menyedihkan akibat kejamnya Tanam Paksa serta bertepatan dengan diskriminasinya pemerintah kolonial Belanda dalam bidang pendidikan yang mana mendirikan Sekolah Rendah Desa hanya dalam jumlah sedikit dan tidak seimbang dengan jumlah penduduk asli pribumi.

Kemudian di tengah kondisi pendangkalan agama dan pemiskinan secara sosial ekonomi, serta untuk mengangkat harkat martabat anak yatim dan dhuafa, maka tantangan ini dijawab oleh KH. Achmad Dahlan dengan memperbanyak membangun sekolah dan mengaktifkan Majelis Penolong Kesengsaraan Umum.

Dalam kurikulum sekolahnya , Persyarikatan Muhammadiyah mempunyai tambahan mata pelajaran al-Qur’an. Walaupun dalam sistemnya tetap mengikuti sistem sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda. Yaitu selain didirikan Sekolah Desa atau Sekolah Rendah Angka Dua (Tweede Klasse) atau Sekolah Boemiputra (Inlandsche School), sudah dimulai juga didirikan Sekolah Rendah Kelas Satu yang disebut Hollandsch Indische School (HIS) pada tahun 1914.

Kadang sekolah HIS Belanda ini juga disebut dengan Sekolah Boemiputra-Belanda, yaitu hanya khusus buat anak-anak bangsawan, pegawai Belanda, dan tokoh-tokoh terkemuka. Ana rakyat jelata terus bagaimana?

Rata-rata masa studi di sekolah-sekolah Belanda itu 7 tahun. Maka dari uraian tadi sudah nampaklah bahwa dari fakta sejarah ini kelihatan sekali diskriminasi politik etis penjajah di bidang pendidikan. Tujuan penjajah kolonial protestan Belanda ini pun jelas yaitu untuk menegakkan superioritas penjajahannya di atas dasar kebodohan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, Persyarikatan Muhammadiyah mengimbangi sekolah-sekolah Belanda tersebut dengan Hollandsch Indische School Muhammadiyah atau lebih dikenal dengan HIS me de Quran.

Upaya ini pun sebenarnya juga ingin dilanjutkan dengan mendirikan perguruan tinggi, namun kondisi pada saat penjajahan Belanda waktu itu tidak memungkinkan. Baru pada masa pendudukan Balatentara Dai Nippon pada tahun 1942-1945, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta dengan Rektor Kahar Muzakkir.

Dengan perpindahan pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta, maka Sekolah Tinggi Islam pun berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Tidak berhenti sampai di situ, selanjutnya Persyarikatan Muhammadiyah juga mendirikan Universitas Muhammadiyah, di Bandung ikut serta juga mendirikan Universitas Islam Bandung (UNISBA) yang mana semula bernama Perguruan Islam Tinggi (PIT) Kian Santang.

Persyarikatan Muhammadiyah pun tidak hanya memikirkan bagaimana bangsa Indonesia yang terjajah ini dapat sekolah namun juga tidak mengabaikan akan adanya tenaga guru, maka dari itu didirikanlah Kweekschool. Nah setelah banyaknya tenaga guru atau pengajar, seiring dengan itu diperbanyaklah juga pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Rupanya kolonial Belanda pun mulai ketar-ketir dengan berbagai sekolah yang didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah ini. Persyarikatan Muhammadiyah ini juga tak tanggung-tanggung, sekolah-sekolah mereka didirikan tidak cuma di Pulau Jawa, namun juga d luar Pulau Jawa.

Akhirnya untuk mencegah lebih berkembangnya pendidikan buat anak-anak pribumi Muslim ini, dibuatlah peraturan tentang Wilde School Ordonnantie atau disebut juga Ordonansi Sekolah Liar pada tahun 1932 oleh pemerintah kolonial Belanda. Peraturan ini tentu saja dibuat untuk mempersulit sekola-sekolah atau lembaga pendidikan yang tidak dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda, maka lembaga pendidikan itu tidak dibenarkan untuk mengadakan aktivitas belajar mengajar. Dan hanya sekolah pemerintah atau sekolah swasta yang disubsidi pemerintah Belanda saja yang berhak mengadakan kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Ordonansi ini memang sengaja diperlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak hanya untuk berbagai sekolah yang didirikan oleh Persyarikatan Ulama (Jawa Barat), Persyarikatan Muhammadiyah, Nahdhatul Wathon (Jawa Timur) semata, namun juga ditujukan terhadap sekola Taman Siswa.

Dalam Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs, dijelaskan bahwa didirikannya Taman Siswa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 31 Desember 1922 di Yogyakarta merupakan bentuk penolakan terhadap adanya Islam pembaruan atau Persyarikatan Muhammadiyah. Sekadar untuk pengetahuan teman-teman semua, sekolah Taman Siswa menggunakan landasan kebudayaan Jawa sebagai landasan orientasi pendidikannya.

Nah, sekarang kita berpikir, mengapa sikap Taman Siswa seperti itu terhadap Persyarikatan Muhammadiyah?

Dalam karyanya yang berjudul Gerakan Taman Siswa, Delapan Tahun Pertama dan Latar Belakang Jawa Taman Siswa, Kenji Tsuchiya menjelaskan bahwa Taman Siswa merupakan lanjutan dari perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon. Dahulu kolonial Belanda itu sengaja menciptakan, membiarkan, bahkan mendukung semua perkumpulan kebatinan untuk mengimbangi berbagai gerakan Islam. Sekadar contoh di Yogyakarta, Persyarikatan Muhammadiyah (1912) diimbangi oleh perhimpunan Seloso Kliwon yang kemudian berubah menjadi Taman Siswa (1922).

Kemudian untuk mengimbangi Persyarikatan Ulama (1915) di Majalengka, Jawa Barat, dikembangkanlah Agama Jawa Sunda di Cigugur Kuningan (1920). Untuk daerah Jawa Barat memang tidak hanya Agama Jawa Sunda, namun juga didirikan berbagai organisasi kebatinan oleh kolonial Belanda seperti: Sarekat Hijau di Sumedang dan Cianjur, Tolak Bahla Towil Oemoer (TBTO) di Garut dan Tasikmalaya, Pamitran di Bandung, dan Sarekat Pompa di Cimahi.

Mengapa diciptakan berbagai perkumpulan kebatinan itu? Tentu saja merupakan bagian dari politik pecah belah. Misalnya dengan dipertentangkannya atau kasarnya diadu antara perbedaan ajaran Kejawen dan Kesundan dengan ajaran Islam, tak cukup sampai di situ, dikembangkanlah pertentangan prasangka etnis. Terus dibentukran juga Syarikat Islam dengan PKI. Ulama pun dijadikan objek perpecahan. Kalau ualamanya saja pecah atau berselisih, sudah pasti kaum Muslimin ikut pecah. Maka diangkatlah dan difokuskan saja perbedaan dan pertentangan masalah fusu’ atau khilafiyah antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan penganut Wahabi. Terus kalangan Jamiat Khoir dipecah belah juga terutama perbedaan antara golongan Sayid dan non-Sayid.

Balik lagi ke Kebatinan Seloso Kliwon atau Taman Siswa dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Jadi mengapa bangsa kita Indonesia menyatakan hari pendidikan nasional kita ini berdasarkan kelahiran Ki Hadjar Dewantara?

Kalau kita mau meninjau kembali, 10 tahun lebih dahulu sudah didirikan sekolah nasional Muhammadiyah, yang tidak membeda-bedakan siapa yang mau sekolah.

Apakah karena cuma Sekolah Muhammadiyah diidentikkan dengan Islam? Apa karena pemerintahan kita dahulu takut akan berkembangnya Islam? Apakah karena sekolah-sekolah itu mengajarkan pendidikan agama? Apa karena sekolah-sekolah itu hanya untuk kaum pribumi yang miskin? Apa karena tidak disubsidi oleh pemerintah kolonial Belanda? Apa karena tidak diajarkan rasa nasionalisme?

Terus yang mana yang disebut nasionalisme? Yang menentang penjajah kolonial Belanda atau yang menjadi kawan atau ‘kacung’ kolonial Belanda?

Sepertinya ada semacam ketakutan dan menampakkan ketidaksukaan jika umat Muslim ini mengalami kejayaan. Mereka sudah tahu benar umat Islam itu berjiwa patriot dan menolak kehadiran penjajah Kerajaan Protestan Belanda. Mengerti sekali bahwa kejayaan umat Muslim ini akan melemahkan kehadiran mereka yang takut dan tidak suka terhadap Islam.

(Sumber: Akhmad Jenggis P., “Kebangkitan Islam”, Yogyakarta: NFP Publishing, Cet. I, Mei 2011, hal. 150-158)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar